Tuesday, April 23, 2024
spot_img

Larangan Sambut Tahun Baru, Kontraproduktif & Paranoia Berlebihan

LARANGAN menyambut Tahun Baru adalah suatu kebijakan kontraproduktif dan paranoia yang berlebihan. Seharusnya negara tidak perlu hadir sampai ke tahap seperti itu, karena seolah-olah Aceh ini dalam kondisi perang salib jaman dahulu.

Aceh seperti dalam kondisi perang dan darurat militer, dimana masyarakat diminta tidak keluar ke jalan-jalan, berkumpul beramai-ramai. Ini menandakan bahwa Pemerintah Aceh tak sensitif terhadap kondisi masyarakat saat ini.

Ada banyak tafsir dalam memahami bahwa merayakan Tahun Baru adalah meniru-niru ritual agama dan kebudayaan lain. Bagaimana dengan di tempat-tempat lain di luar Aceh yang juga Muslim yang mengadakan zikir, tausiah menyambut pergantian tahun, dihadiri dan diisi oleh ulama-ulama.

Ini menandakan bahwa ada banyak pemahaman, tafsir terkait dengan memaknakan pergantian tahun. Seharusnya pemerintah menegosiasikan hal ini sebelum membuat peraturan dengan memakai kekuatan memaksa. Di sini juga muncul pertanyaan, bagaimana dengan masyarakat Aceh yang sebelumnya melakukan perayaan malam pergantian tahun?.

Kita yakin dan percaya, bahwa manusia-manusia Aceh adalah manusia yang tahu pertimbangan etis, batasan etis perayaan yang ingin mereka rayakan terkait pergantian tahun.

Warga Aceh juga sudah sangat arif melihat kondisi realitas dirinya dan daerahnya, di tengah kemiskinan, pengangguran, ingatan bencana dan di tengah segala kesulitan ekonomi yang dihadapi akibat ketidakberesan manajemen pemimpin.

Manusia-manusia Aceh pasti tahu diri untuk tidak berfoya-foya, tidak mungkin menghabiskan uang ratusan juta bahkan milyaran hanya untuk merayakan tahun baru, berlebih-lebihan. Jelas tidak mungkin itu.

Justru sebaliknya, pemerintahlah yang selama ini berfoya-foya menghamburkan uang secara besar-besaran pada hal-hal yang tak perlu dan tidak bermanfaat sedikitpun bagi kesejahteraan warganya.

Wajarlah adanya, bagi warga sekadar turun ke jalan bersama keluarga, bersama sahabat. Itulah sedikit hiburan berdasarkan keadaan yang ada, mau hiburan apa lagi, bioskop tidak ada, ruang-ruang publik seperti di Bandung, kita tidak punya banyak dan representatif.

Kehadiran negara melarang perayaan tahun baru adalah sangat berlebihan, kontraproduktif dan paranoid yang berlebihan.

Larangan seperti ini, justru menciderai eksistensi negara yang punya tujuan untuk memberikan kebebasan kepada warganya, menghormati ekspresi keagamaan, kebebasan berkumpul.

Larangan ini kontraproduktif, dengan keadaan pemerintah yang sampai hari ini masih gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya, tetapi justru malah mengekang warganya, pemerintah tidak pernah merayakan perayaan yang bisa membahagiakan warganya.

Lucu, ketika pemerintah terlalu paranoid menolak perayaan tahun baru, yang menggunakan penanggalan Masehi, sementara sampai hari ini, pemerintah masih menggunakan penanggalan Masehi untuk pembayaran gaji, penganggaran, merayakan ulang tahun daerah.

Kalau mau konsisten, tidak usah pakai semua itu. Pakai kalender sendiri yang sudah diluncurkan oleh wali nanggroe. Dengan begitu kita tak tanggung-tanggung kalau ingin menunjukkan bahwa kita Aceh, bansa tseuneubeh ateuh rhueng donya.

Larangan ini juga menghambat pendapatan warga secara ekonomis. Misal, larangan menutup kedai-kedai kopi mulai jam 11.00 malam. Saya pikir wajar saja jika orang Aceh menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, sahabat di kedai kopi, karena bioskop juga tidak ada dan ruang publik lainnya juga belum representatif.

Pemerintah menolak tahun baru, tapi tidak menolak liburan, ini kan kontraproduktif. Seruan Pemerintah Aceh juga sangat berlebihan. Ketika kanal-kanal kebebasan dikekang, maka dalam jangka panjang akan bermasalah dalam relasi sosial masyarakat Aceh.

Jika kecendrungan untuk tumbuh dan berkembang dihalangi, energi yang terhalang itu akan mengalami proses perubahan dan beralih menjadi energi yang bersifat merusak. Sifat merusak (destruktif) merupakan konsekuensi dari tidak dihidupinya kehidupan seperti kebebasan dan kebahagiaan.

Jadi kondisi-kondisi individu dan sosial yang menghalangi energi untuk memajukan hidup itulah yang menghasilkan sifat perusakan yang pada gilirannya merupakan sumber daripadanya akan memancar berbagai bentuk kekerasan. []

TEUKU MUHAMMAD JAFAR SULAIMAN, Penulis adalah Koordinator Forum Islam Rahmatan Lil’alamin

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU