Monday, April 29, 2024
spot_img

Kisah Nelayan Aceh yang Terdampar di India

MESIN boat itu tiba-tiba mati setelah berlayar selama enam jam dari daratan Lampulo Banda Aceh. Kedua nelayan yang menumpangi boat seketika panik. Di tengah kepanikan itu, yang terpikirkan hanya menghubungi keluarga di daratan Aceh. Seketika, mereka memencet nomor di telepon. Namun, usaha mereka sia-sia. “Kami tidak bisa hubungi keluarga,” kenang Ridwan, penumpang boat naas itu.

Agus Setyadi/ACEHKITA.COM
Agus Setyadi/ACEHKITA.COM

Pada Oktober 2012 lalu, Ridwan bersama Musri hendak berlayar mencari ikan di lautan lepas. Boat yang mereka tumpangi dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan mesin. “Baru enam jam kami berlayar ketika mesin boat mati,” jelas Ridwan ketika tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, Jumat (8/2/2013).

Setelah mesin boat itu mati, keduanya terombang ambing di tengah lautan lepas selama enam hari. Semakin hari, boat mereka semakin jauh diseret arus. Keduanya mulai pasrah. Sekonyong-konyong, mereka melihat sebuah boat nelayan di lautan Andaman, India. Musri melepas baju di tubuhnya dan memberi kode kepada boat yang mereka lihat itu.

Sejurus kemudian, boat itu mendekati mereka. “Kami kemudian ditolong oleh boat dari India,” ujar Ridwan.

Kedua nelayan Aceh ini dibawa ke kepolisian India untuk pemeriksaan lanjutan. Di Markas kepolisian India, keduanya dituduh terlibat illegal fishing (penangkapan ikan secara tidak sah). Namun tuduhan itu tidak terbukti.

Selama di India, Musri dan Ridwan di karantina di Camp Port Blair, Kepulauan Andaman, selama empat bulan. Inspektur Mossad, komandan di Camp itu, memperlakukan keduanya dengan baik. Tak ada kekerasan yang mereka terima selama di sana.

“Kami berdua ditahan di Camp Port Blair di room tiga,” jelas Ridwan.

Tiga pekan berselang pascaterdampar, keduanya menghubungi keluarga untuk memberitahu keadaan mereka di India setelah lama hilang kontak.

Selama di Andaman, Ridwan ditempatkan satu kamp bersama delapan nelayan Aceh lainnya yang ditangkap polisi India karena melanggar perbatasan perairan. Namun, mereka ditangkap di waktu yang terpisah.

“Ada delapan lagi yang ditahan di sana. Tiga orang sedang menunggu pemulangan karena tidak terbukti melakukan pencurian ikan sementara lima lagi terjerat kasus pencurian ikan,” ungkap Ridwan di rumahnya.

Tiga nelayan yang sedang menunggu pemulangan yaitu, Basri (warga Kampung Jawa, Banda Aceh), Safari (warga Meulaboh), dan Muhibuddin (warga Blang Pidie) yang terdampar ke kepulauan Andaman akhir 2012 lalu. Ketiga nelayan itu kemudian dievakuasi ke daratan oleh petugas penjaga pantai Andaman (Coast Guard of Andaman and Nicobar Island) pada 8 Januari 2013.

“Mereka menunggu pemulangan. Karena untuk pemulangan membutuhkan biaya sebesar Rp35 juta. Mereka belum ada yang biayai untuk pemulangan,” jelas Ridwan.

Sementara lima nelayan lain yang masih di tahan di India merupakan warga Meulaboh. kelimanya ditangkap polisi India karena terbukti melakukan pencurian ikan. “Mereka belum bisa dipulangkan. Mereka terbukti mencuri ikan,” jelasnya.

***

PENANTIAN panjang itu membuahkan hasil. Hari itu, 6 Februari 2013, Musri dan Ridwan mengenakan pakaian kemeja dengan celana jeans. Sejurus kemudian, pihak Kedutaan Besar Indonesia di India datang ke penjara menemui mereka untuk membawa pulang keduanya ke Tanah Air.

“Kami keluar dari penjara pada tanggal 6 Februari. Setelah itu, kami dibawa ke Kedubes Indonesia di India,” kata Ridwan.

Dua hari berselang, Ridwan dan Musri dipulangkan ke Aceh. Keduanya tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar sekitar pukul 12.00 WIB.

Tangis haru keluarga pecah ketika dua nelayan asal Banda Aceh kembali menginjakkan kaki di Bumi Serambi Mekkah setelah dikarantina selama empat bulan di Camp Port Blair, India.

“Akhirnya kami bisa kembali berkumpul setelah lama berpisah,” ungkap Ridwan.

Setelah tiba di Bandara, Musri langsung dibawa ke rumahnya di Peukan Bada, Aceh Besar. Sedangkan Ridwan kembali ke rumah istrinya di Desa Lamru Dayah, Kec. Kuta Baro, Aceh Besar.

Tiba di rumah, Ridwan dipeusijuek (tepung tawari) oleh warga desa setempat. Ini adalah prosesi adat masyarakat Aceh sebagai wujud kegembiraan dan syukur.

Istri Ridwan, Rahmati, menceritakan, saat sang suami terdampar di laut lepas, ia baru melahirkan anak kedua mereka selama 15 hari. “Susah waktu dengar pertama dengar berita itu. Tapi sekarang sudah senang kembali setelah abang pulang,” kata Rahmati.

Ridwan jelas terlihat senang kembali ke tengah-tengah keluarga. Ia tak henti-hentinya memeluk dan menciumi si buah hatinya. “Alhamdulillah, saya bisa berkumpul lagi dengan keluarga di sini,” tutupnya.[]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU