Tuesday, April 30, 2024
spot_img

Ketika Malahayati Kalah Pamor dari Belawan

DI ATAS geladak kapal, Zulkifli tengah bersantai bersama sejumlah temannya. Ia bukan baru saja membongkar muatan kapal yang bersandar di sana. Bukan pula kecapaian karena membereskan kapal yang hendak mengangkut barang. Bukan sama sekali.

Ia bisa santai, karena sudah sepekan lebih tak ada kapal yang berlabuh di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya. Ia petugas crane pelabuhan yang bertugas mengatur arus lalulintas keluar-masuk kapal di dermaga Malahayati.

Kapal yang terparkir di sana sore itu, TB Krueng Raya, pun sudah sebulan lebih tak bisa berlayar ke Penang, Malaysia. Padahal, sejatinya kapal itu akan membawa hasil rempah-rempah dari Aceh untuk diekspor ke negara tetangga.

Sore itu, kapal TB Krueng Raya merupakan satu-satunya kapal yang terlihat di dermaga pelabuhan yang dibangun ulang oleh Belanda setelah dihantam gelombang tsunami tujuh tahun silam. Agak menjauh dari dermaga, puluhan perahu nelayan tengah melempar sauh. Selebihnya, beberapa warga disibukkan dengan alat pancing. Sambil menghabiskan sore di dermaga Krueng Raya, mereka mencoba peruntungan mengail ikan.

Meski pelabuhan sepi aktivitas, Zulkifli tetap standby di Pelabuhan Malahayati. “Kami menunggu dan siaga untuk membantu kapal yang masuk ke Malahayati,” kata Zulkifli.

Aktivitas di terminal sama sepinya dengan dermaga. Puluhan container merah-buram tersusun di dekat tenda ukuran besar. Kontainer itu milik Djakarta Llyod. Tiba di Malahayati dua tahun silam, kontainer itu terbengkalai. Pada awalnya, kontainer itu didatangkan ke Malahayati untuk mengangkut barang dari Aceh. Seperti halnya kapal TB Krueng Raya, kontainer itu juga tak kunjung terisi.

“Tidak ada barang yang mau diekspor ke luar Aceh,” kata Zulkifli.

Memaling ke kiri, terminal barang tengah dikerjakan. Diharapkan terminal ini akan jadi tempat menampung barang masuk dan keluar Aceh. Tak jauh dari terminal itu, tiga gudang barang sudah porak-poranda. Atapnya telah diterbangkan angin, dindingnya yang terbuat dari kain tebal juga tidak tampak lagi bentuknya. Di depannya juga tampak parkir beberapa truk semen curah menanti giliran. Nyaris tak ada aktivitas lain di pelabuhan yang pernah menjadi urat nadi perhubungan laut Aceh itu.

Memang, sesekali ada kapal yang singgah di dermaga: mengangkut semen, mendatangkan alat bangunan. Tapi, aktivitas kapal-kapal itu bisa dihitung jari tangan.

Dermaga Pelabuhan Malahayati dibangun kembali setelah tsunami. Selain mempertahankan dermaga lama, Belanda yang mendanai rehabilitasi Malahayati, ikut membangun landasan dermaga baru. Pelabuhan ini disiapkan menjadi pelabuhan barang membantu ekspor impor di Serambi Mekkah.

Luas dermaga beton Malahayati yang sebelumnya 1.600 meter persegi menjadi 6.800 meter persegi. Demikian juga dengan kapasitas sandar kapal sebelumnya, 7.000 DWT (Deadweight tonnage) menjadi 10.000 DWT. Perbaikan dan pengembangan dermaga merupakan bantuan pihak pemerintah Belanda dan proyek Multi Donor Fund (MDF-BRR) yang dikerjakan pascatsunami. Kedalaman depan dermaga juga ditingkatkan dari 7-8 meter mnjadi 8-9 meter. Pada proyek MDF-BRR, dermaga Malahayati juga ditambah dengan reklamasi lapangan seluas, 4,2 hektare. Namun, pengembangan Malahayati nyaris mubazir karena tidak ad aktivitas (malahayati.inaport.co.id)

Zulkifli bercerita panjang soal pelabuhan Malahayati. Pelabuhan kontainer dan penyeberangan ini makin sepi. Sejak kegiatan penyeberangan dipindahkan ke Ulee Lheue, Banda Aceh, pelabuhan yang jaraknya 32,5 kilometer dari Banda Aceh ini nyaris mati. Dermaga kosong melompong. Padahal pelabuhan laut ini baru saja diperluas dengan menambah panjang dermaga yang bisa dilabuhkan kontainer.

“Kapal malas masuk ke Aceh, soalnya tak ada barang yang diangkut ke luar,” tambah Zulkifli.

Zulkifli yang telah 17 tahun menjadi pegawai Pelindo II tengah libur tugas. Biasanya Zulkifli mengoperasikan crane untuk kebutuhan bongkar muat. Namun, bongkar muat yang dilakoni Zulkifli tidak seperti di pelabuhan lain, semisal Belawan, Sumatera Utara.

“Saya hanya kerja dua hingga tiga jam menjalankan alat berat, selebihnya kumpul bersama teman-teman di kapal dan kantor,” ujar pegawai Pelindo ini.

Malahayati kalah elok dan juga kalah pamor dengan Belawan. Tak mengherankan jika pengusaha Aceh lebih tertarik menggunakan jasa Belawan untuk memasok dan mengangkut barangnya dari dan ke Aceh. Inilah yang kemudian Malahayati tak menggeliat.

Pelabuhan Malahayati di Krueng Raya, Aceh Besar, sejak awal 2011 telah berstatus sebagai Pelabuhan Internasional (Internasional Port), dan sudah bisa disinggahi kapal berbobot 8.000 ton. Pelabuhan Malahayati sudah menjadi pintu masuk beberapa barang impor, seperti aspal drum yang dipasok dari Singapura, beras dan gula dari Thailand.

Selain itu, potensi lain yang bisa yang bisa diharapkan adalah menjadikan Malahayati sebagai pintu masuk barang-barang kebutuhan yang dipasok dari Medan dan Pulau Jawa. Imran, seorang pengusaha, menyebutkan dari seluruh barang yang masuk ke Pelabuhan Belawan, 40 persennya merupakan barang untuk Aceh.

Persoalan cost menjadi alasan para pengusaha ekspor impor enggan memasok barang melalui Malahayati. Perbedaan harga hingga Rp 3.000 per kilogram sangat tidak menguntungkan bagi mereka. Belum lagi fasilitas pelabuhan yang masih pas-pasan. Wajar, jika Malahayati hanya bisa disebut pelabuhan internasional, tapi belum menunjukkan kesibukannya sebagai tipe pelabuhan hebat.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh Firmandez tidak yakin ongkos laut lebih mahal dari jalur darat. Apalagi, jalur laut bebas pungutan yang selama ini menghantui awak truk dan pemilik barang. Persoalannya adalah memberdayakan armada truk pengusaha jika lalulintas barang dialihkan melalui Malahayati.

Terobosan

Sebelum terjadi tsunami pelabuhan ini menghubungkan jalur penyeberangan dari Malahayati ke Balohan, Sabang, setiap harinya. Setelah tsunami Pelabuhan Krueng Raya hanya dikhususkan pada perkembangan hinterland yang mengarah pada sektor industri, perkebunan, dan perikanan.

Perkembangan Malahayati yang jauh mundur ke belakang. Pelabuhan yang dipersiapkan menjadi pelabuhan barang seperti mati suri. Selama ini dermaganya cuma digunakan untuk bongkar semen curah dan gula sebulan sekali serta BBM Pertamina, sehingga masih tampak Malahayati sebagai sebuah pelabuhan. Demikian juga antrean beberapa truk gandeng di pelataran parkir, Krueng Raya masih ada denyut kehidupan. Selebihnya, bagaikan pelabuhan yang ditinggal majikannya.

Firmandez menampik anggapan keengganan pengusaha memanfaatkan Malahayati. Fasilitas yang belum memadai mendorong pengusaha beralih ke Belawan. Belum lagi, masalah internal pengusaha yang terlanjur memiliki armada angkutan darat, sehingga tidak ingin merugi dengan mengalihkan lalulintas barang ke Malahayati.

“Saya rasa perlu pemikiran semua pihak untuk menghidupkan kembali Malahayati,” ujar Firmandez.

Persoalan lain adalah jadwal kapal yang tidak tepat waktu. Ketidakpastian kapal berangkat dari Malahayati, membuat kepercayaan pengusaha menurun. Kondisi ini membutuhkan pemikiran semua stakeholder agar satu kata dalam tindakan.

“Pemerintah tidak sekadar mendatang kapal, tapi juga harus mencari solusi,” tambah anggota Komisi C yang menangani bidang keuangan di DPR Aceh.

Malahayati yang masuk dalam gugusan Pelindo I memang masih kalah kelas dengan Lhokseumawe. Malahayati tergolong pelabuhan Kelas III, sedangkan Lhokseumawe Kelas II. Pelabuhan Belawan satu-satunya Kelas Utama di lingkungan Pelindo I yang berpusat di Medan, Sumatera Utara. Selain Malahayati, Lhokseumawe, dan Belawan, Pelindo I juga mengawal 9 pelabuhan berbagai kelas. Perlu terobosan khusus untuk menghidupkan kembali Malahayati.

Pemerintah melalui Pelindo I sebenarnya telah menyiapkan sarana pendaratan kontainer. Kenyataannya, dari 250 kontainer miliki Djakarta Llyod yang pernah berlabuh dua tahun silam, masih belum bisa dibawa ke luar karena tidak ada barang. Demikian juga dengan 200 buruh pelabuhan harus banting stir mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan dapurnya.

Malahayati praktis dijadikan pelabuhan bulanan. Karena bongkar muat gula dan beras Bulog hanya berlangsung sebulan sekali. Demikian juga dengan semen curah yang datangnya bulanan. Selebihnya, aktivitas Malahayati sepi tak pasti. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU