Friday, April 19, 2024
spot_img

Kaya Tapi Miskin

Saya tidak tahu tahu nama lengkapnya, tapi panggilannya adalah Bang Do. Dia pelanggan setia Warkop Cek Pan, yang boleh dibilang paling setia “stand by.” Walau hanya pesan secangkir kopi, tapi ia bisa duduk dan poh cakra selama berjam-jam. Layaknya menjalankan tugas customer service atau public relation, Bang Do pindah dari satu meja ke meja lain dan dengan penuh percaya diri ikut bergabung dan nimbrung dengan pembicaraan orang lain. Sebagian pelanggan warkop sudah maklum dengan perangai Bang Do, tapi yang sering bikin kesal adalah caranya membual. Dalam diskusi di meja warkop, ia paling jago ngomong politik, ekonomi hingga teknologi, karena sebelumnya ia sudah melahab habis berita koran hingga iklan. Ada yang jengah dengan perilakunya, ada yang memaklumi, ada pula yang menikmati dengan menganggapnya sebagai hiburan. Bang Do adalah penghibur di warung kopi dengan “imbalan” sebatang rokok.

Gaya ngopi pelanggan warkop ini biasanya bersifat komunal, satu meja bisa dipenuhi tiga sampai empat orang atau lebih, jika perlu tambah meja lagi untuk mengakomodir jamaah pengopi yang bertambah. Hanya sedikit yang duduk sendirian, biasanya anak-anak muda atau mahasiswa yang ditemani laptop dan headset lebih memilih posisi seperti ini. Untuk kalangan komunitas pengopi ada semacam aturan tidak tertulis, jika seseorang merasa punya rezeki berlebih atau baru dapat proyek, ia memikul tanggung jawab untuk membayar tagihan di meja tersebut. Ada satu kebanggaan bagi “pemodal” yang bisa membayar transaksi ngopi. Ciri-cirinya, sesaat sebelum bubar, ia memanggil Cek Pan atau pelayan untuk mengkalkulasi.

Cek, cie neu kira, padup peng meja nyoe.”

Peserta ngopi lain tingkahnya bervariasi, ada yang memegang (maaf) bokong maksud hati merogoh dompet, ada yang mengucapkan basa-basi merasa tidak enak ada yang membayarkan kopinya, ada pula yang melanjutkan tegukan kopi hingga tetes terakhir, juga ada yang terus menuntaskan sebatang rokok dengan tarikan yang dalam. Bang Do paham betul di meja mana ia bisa bergabung untuk menikmati kopi dan rokok secara “free”. Jika lagi apes, pengunjung warkop sepi, ia terpaksa duduk sendiri, pada akhir transaksi ia memanggil Cek Pan, sambil memberi isyarat seperti orang sedang menulis lalu berkata.

“Catat beh.”

“Catat” berarti tagihan kopi dan rokoknya agar dimasukkan ke dalam buku hutang warkop.

Cek Pan cukup maklum dengan pola ngopi Bang Do. Menurut Cek Pan, dulunya Bang Do pernah kuliah, namun tidak selesai alias DO (drop out). Sempat melamar kerja di beberapa perusahaan, tapi siapa yang mau menggaji orang tanpa pengalaman, plus tidak lulus sekolah. Lama-kelamaan ia mulai malas mencari kerja dan nongkrong di warkop sebagai pelampiasan. Karena jika hanya duduk di rumah ia tak tahan mendengar omelan sang ibu yang bekerja sebagai buruh cuci. Sedangkan ayahnya katanya bekerja sebagai TKI di luar negeri, yang hampir lima tahun tak terdengar kabar beritanya, apalagi mengirimkan uang untuk biaya hidup keluarga.

Bang Do bisa jadi salah satu contoh dan potret model pengangguran di Aceh. Ia tidak sendiri, boleh jadi ia termasuk ke dalam data versi pemerintah melalui BPS yang menyebutkan 7,39% angka pengangguran di Aceh dan 16,89% untuk orang miskin. Bahkan menurut data pemerintah daerah, di Aceh terdapat 15.353 rumah masih berlantai tanah, beratap rumbia serta berdinding jerami, yang dianggap sebagai salah satu faktor bertambahnya orang miskin. Atau malah Bang Do tidak masuk ke dalam data resmi pemerintah itu, karena ia merasa tidak pernah didatangi petugas yang bertugas mendata penganggur seperti dirinya.

Untuk angka pengangguran dan kemiskian Aceh sering mendapat “rangking.” Berlimpahnya dana yang mengalir ke Aceh melalui anggaran tahunan, seperti APBA, hingga dana Otsus yang jumlahnya puluhan trilyun bukan obat mujarab bagi pengentasan masalah sosial dan ekonomi ini. Masalah Aceh bukan karena tidak ada uang. Uang justru menjadi masalah baru bagi mereka yang berkepentingan untuk merebut bagian masing-masing.

Peng leupah that jai, tapi uang itu tidak terdistribusi secara merata. Ia hanya mengalir kepada orang-orang dan golongan tertentu.”

Nyoe, menurot haba di koran, Aceh mantong gasien karna salah tata kelola.”

Lemahnya tata kelola pemerintahan pasca-bencana dan konflik sering dianggap sebagai sumber masalah di Aceh. Pemerintahan yang kaku dengan birokrasi super rumit juga ikut memperparah. Penggunaan anggaran negara yang melimpah harus melewati mekanisme anggaran yang bikin frustasi, ditambah dengan adanya kepentingan atau politik anggaran yang masih sangat kuat. Oleh karena uang negara melalui APBA dapat disahkan setelah melalui deal-deal pihak yang berkepentingan, maka setelah ketok palu, pos-pos dananya akan mengalir kepada pihak-pihak tertentu, golongan tertentu hingga kontraktor tertentu. Teramat sedikit uang negara menetes kepada masyarakat yang benar-benar butuh.

Lon pikee, pemerintah lempar handuk sajalah.”

Kali ini, saya tidak sepakat dengan Cek Pan. Masak pemerintah menyerah, lalu untuk apa kita pilih mereka?

Cek Pan mulai buka-bukaan berdasarkan pengalamannya beberapa tahun ini. Ia bercerita betapa susah untuk seorang pengusaha warkop level sedang seperti dirinya mendapatkan bantuan modal dari pemerintah. Bukan tidak ada, tapi ia tidak mau terlibat dengan bantuan berbau “tahu sama tahu.” Pernah suatu waktu ada tawaran bantuan modal usaha dari pemerintah. Tapi sebelum mendapat uang, Cek Pan harus sepakat untuk memberikan “uang kopi” sekian persen untuk orang-orang di lembaga tersebut. Atau ada harapan melalui dana aspirasi, namun Cek Pan harus siap jika anggarannya untuk “disunat” dengan berbagai alasan.

Lon hireun, aparat nyang ka na gaji tetap nyan pakon mantong meurasa ‘gasien‘. Buktinya, masih doyan mark up atau potong dana bantuan hak kita.”

Akhirnya Cek Pan memilih menolak semua tawaran tersebut. Ia lebih memilih terus bertahan dengan modal seadanya. Sementara untuk mengambil kredit di bank ia takut pada riba atau dikejar hutang yang tak mampu dilunasi.

“Jadi kiban, meunyo meunan?”

“Selama orang-orang di pemerintahan masih didominasi aparatur bermental korup, jangan harap masalah Aceh atau masalah kemiskinan dan pengangguran bisa diselesaikan. Bereskan dulu orang-orang di pemerintahan yang berperilaku seperti itu.”

“Wah, kalo semua orang seperti itu “dibereskan” bakal gak ada lagi orang yang bekerja di kantor pemerintah nanti.”

Cek Pan cuma tersenyum menjawab pertanyaan saya.

Saya melihat Bang Do berjalan ke arah kami, ia mendekati Cek Pan sambil membisikkan sesuatu yang terdengar samar oleh saya.

“Catat, beh.”[]

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU