Wednesday, April 24, 2024
spot_img

Ironi Meugang Kini

Oleh Nanda Muliana

Meugang, sebuah tradisi sejak ratusan tahun silam yang masih terjaga hingga kini di tanah Serambi Mekkah, Aceh. Tradisi ini dilaksanakan setahun tiga kali, yakni sehari sebelum Ramadhan, Idul Adha, dan Idul Fitri. Warga akan membeli daging sapi atau lembu yang dijual hampir di setiap pasar. Daging meugang sering disebut sie meugang.

Setiap perayaan Meugang, seluruh keluarga atau rumah tangga memasak daging yang akan disantap oleh seisi rumah. Pantang jika keluarga tidak memasak daging pada hari meugang, terutama bagi suami yang masih tergolong pengantin baru. Suami tersebut wajib mengantarkan daging meugang ke rumah keluarga mempelai perempuan. Jika tidak, maka sang suami pasti lah belum merasa nyaman kalau hendak tidur malam.

Meugang memang memiliki nilai religius tersendiri karena dilakukan di hari-hari suci umat Islam. Masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi meugang menjelang hari-hari besar umat Islam.

Tradisi meugang memang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Meugang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. Kala itu (1607-1636 Masehi), Sultan Iskandar Muda memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya.

Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi inijuga dimanfaatkan oleh pahalawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.

Dulu dan Sekarang
Masa kesultanan Aceh, meugang memang seperti namanya. Sebulan menjelang hari besar itu, warga Aceh sudah menanti-nantinya. Bagaimana tidak, hari itu warga yang tidak pernah makan daging sepanjang tahun akan dikirim jatah daging sapi atau kerbau oleh pihak kerajaan. Jadi, sehari menjelang hari besar islam, tidak ada lagi warga yang duka perasaan dan kelaparan.

Hal itulah, yang membuat tradisi ini memang disebut hari warga makan daging secara bersama-sama dengan berbagai macam masakan. Pada hari itu juga, istilah meuramien muncul untuk warga bersuka cita karena dapat memakan makanan mewah secara bersama-sama tanpa memandang kaya maupun miskin.

Dibanding dengan ratusan tahun silam, meugang kini sangat jauh berbeda. Meskipun namanya tetap sama dan merupakan sebuah kebudayaan masa kesultanan, kini meugang mungkin bukan lagi sebuah hari yang sangat dinanti-nanti kedatangannya. Tak jarang, tradisi santap daging ini bahkan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kalangan menengah ke bawah. Apalagi sepekan menjelang hari H, harga daging di Aceh melonjak drastis dari hari biasanya. Ada kalangan warga menganggap, daging meugang adalah jati diri dan harga terbesar untuk seorang lelaki yang mampu membawa pulang minimal sekilo daging ke rumah. Seandainya gagal, maka pasti pria itu gagal menjadi lekaki sejati.

Wacana Penghapusan
16 Juni 2015, seorang mahasiswa asal Aceh di Jakarta, Teuku Azril, meminta agar masyarakat menghapus tradisi meugang di Aceh. Permintaannya itu dikirim dan dimuat di media Portalsatu.com di hari yang sama. Azril mengatakan bahwa masyarakat Aceh harus membiasakan yang benar dan jangan membenarkan yang biasa. Ia menekankan euforia meugang harus ditiadakan di Aceh, bila perlu hapus tradisi itu.

Azril juga menilai tradisi tersebut tidak ada yang istimewa dan menganggapnya merupakan hal yang biasa ketika warga membeli daging di pasar, kemudian membawa pulang ke rumah untuk dimasak. Sungguh akan bermakna apabila masyarakat Aceh punya tradisi menyantuni anak yatim menyambut Ramadhan.

Lebih lanjut ia bahkan mengatakan tradisi meugang telah melukai hati kaum miskin dan anak yatim di Aceh. Seolah kalau mereka tidak ikut, mereka akan menyambut bulan puasa dengan tidak lengkap. Pemikiran rakyat Aceh, katanya, sudah sepatutnya diubah.

Menurutnya, pemerintah Aceh harus memikirkan cara agar rakyat yang miskin setiap satu minggu bisa makan daging lembu 2 kali. Tujuannya agar di saat meugang tidak ada yang sedih karena tidak mampu membeli daging.

Bagaimana tidak menggemparkan dunia, dengan meugang Aceh, seolah orang Aceh tidak pernah makan daging lembu, ada yang mengira rakyat Aceh makan daging disaat meugang saja. Azril mengecap meugang meupakan tradisi gila.

Uang Meugang
Beberapa tahun terakhir meugang bagaikan senjata yang begitu menakutkan juga bagi seorang pejabat. Belakangan muncul sekelompok orang yang mendatangi rumah pejabat pemerintahan untuk meminta uang meugang. Seperti yang sempat heboh ketika ratusan warga Aceh mengantri uang meugang di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf.

Apalagi sebagian di antaranya sempat diboyong ke rumah sakit karena lelah berdesak-desakan. Ironis memang, meugang yang sejatinya jadi hari warga makan daging serta bersuka ria menyambut hari besar umat Islam, kini berubah menjadi momok yang menakutkan dan sekaligus memalukan bagi warga yang kurang mampu.

Menjamin Harga
Mengantisipasi terulang kembali kejadian serupa di meugang tahun ini, sudah sepatutnya pemerintah Aceh menyiapkan kebutuhan pasokan sapi untuk membendung kenaikan harga daging di hari meugang. Hal ini tentu bukan hanya mengeluarkan kata-kata manis di media, tetapi harus merealisasikan seutuhnya. Sehingga, warga tidak terlalu terbebani dengan harga daging yang melonjak drastis.

Tentunya juga akan menghindari warga yang mengantri di rumah pejabat untuk meminta uang meugang. Nyaris, negeri Aceh yang kaya sumber daya alamnya ini, agaknya mulai mengikuti kebiasaan orang pulau seberang sana yang rela antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan zakat sebanyak Rp 10.000.

Menjamin harga daging menjelang meugang setidaknya merupakan sebuah solusi yang tepat jika pemerintah Aceh tidak sanggup membagikan daging secara gratis dan merata ke seluruh warga seperti yang dilakukan zaman kesultanan Aceh dahulu. Itu pun andai pemerintah mau menjaga marwah dan budaya Meugang ini dikemudian hari nanti. Nah!

*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU