Sunday, May 5, 2024
spot_img

CITIZEN | Cara Seniman Aceh di Rantau Mengenang Cut Nyak Dhien

Wamulè …
… Allah ngoen Bismillah
Lah e jinoe …
… Lon lah lon lah lon peuphon

ALUNAN syair hikayat Wamulè membuka acara Balee Seni yang diadakan Seniman Perantauan Atjeh (Sepat) pada Sabtu (10/11) malam. Diiringi tepukan dasar rapai oleh Aulia yang mengajak para penonton yang masih berada di luar ruangan untuk bergegas masuk ke dalam Balee Gadeng, untuk memulai acara memperingati saat Cut Nyak Dhien ditangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa. Penonton pun satu persatu masuk dan duduk melingkari panggung seperti mengitari Ka’bah. Semua orang terdiam, hanyut dalam hikayat Aceh Wamulè yang pernah dipopulerkan kembali oleh grup band etnik Aceh Cupa dalam dengan judul yang sama.

“Meusyen,” sebut Sekretaris Jenderal Sepat Taufik Akbar dalam kata sambutannya, adalah tema acara Balee Seni malam itu. Meusyen maknanya kerinduan yang sangat mendalam kepada Tanoh Rincong. Bukan kerinduan pada tanah kelahiran semata, namun juga kerinduan pada sosok pejuang Aceh, Cut Nyak Dhien, yang di masa kini sulit ditemukan dalam sosok perempuan Aceh.

Pementasan Seni
Satu per satu peserta acara Balee Seni menunjukkan kebolehannya di atas panggung. Mayoritas yang ditampilkan adalah pembacaan puisi. Namun yang paling menarik perhatian adalah puisi yang dibacakan oleh Talkha, mahasiswi Aceh yang menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dia tidak membaca puisi tentang Cut Nyak Dien, tapi tentang Marsinah.

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
Ia hanya suka merebus kata
Sampai mendidih,
Lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“Itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
Ia hanya memutar jarum arloji
Agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

Talkha membacakan puisi “Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono kata per kata dengan ekspresi sendu. Ia tampak berhati-hati untuk mengubah bait-bait puisi itu ke dalam ekspresi dan bahasa tubuh yang cocok. Penonton seperti dihipnotis dan dibawa ke masa Orde Baru dan penonton juga seolah-olah merasa sangat dekat dengan Marsinah dan kehidupannya.

Selepas Talkha turun dari panggung, tepuk tangan membahana dalam Balee Gadeng, ruang aula yang biasanya menjadi tempat pelaksanaan acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat Aceh di Yogyakarta. Tepuk tangan dan sahutan tak henti-hentinya berderai bahkan sampai beberapa menit masih ada saja yang memuja-muji penampilan pembacaan puisinya. Setidaknya, pembacaan puisi itu telah menyelamatkan acara perdana Balee Seni yang persiapannya dalam waktu yang singkat dan secara sederhana.

Di tengah-tengah pembacaan puisi dan penampilan musik tradisional, tampil pula Rizki Alfi Syahril membacakan salah satu cerita rakyat Aceh yang termaktub dalam buku cerita rakyat Aceh “Rangman yang Menjadi Batu”. Buku yang dieditori Azhari itu merupakan kumpulan karya Rizki dan beberapa temannya yang merangkum cerita-cerita rakyat Aceh yang berkembang di pesisir Aceh. Rizki yang juga aktif di salah satu organisasi kebudayaan di Aceh, sebelum membaca cerita, terlebih dahulu menyampaikan prolog yang mengisahkan bagaimana saat ini terjadi kelangkaan penulis dan peneliti sejarah lokal Aceh.

Hal ini jika dibiarkan akan semakin mengikis budaya Aceh. Dia juga menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya dua orang intelektual besar Aceh, Prof. T. Iskandar di Belanda dan Prof. Imran di Yogyakarta. Di akhir prolognya, Rizki mengajak teman-teman Aceh di Yogyakarta untuk semakin menggalakkan budaya membaca dan menulis, terutama yang berkaitan dengan Aceh. Acara Balee Seni ini juga diramaikan dengan penampilan Teater 42 dari Universitas Achmad Dahlan.

Walau bukan orang Aceh, Ilham, salah seorang personil Teater 42 berusaha keras untuk menyanyikan lagu Aceh. Ditemani oleh Dian, pemain biola, mereka berhasil memainkan emosi penonton dengan membawakan beberapa lagu Aceh. Liukan biola Dian juga semakin menambah rindu penonton terhadap Aceh setelah mereka memainkan lagu Saleum dari Nyawoeng.

Apresiasi
Menuntut ilmu di Yogyakarta membuat para mahasiswa Aceh semakin mengenal karakter Aceh itu sendiri. Di sini, Aceh tidak hanya dikenal melalui ganja, pemberontakan, kepahlawanan, maupun tsunami. Di Yogyakarta Aceh juga dikenal melalui kekayaan seni dan budayanya. Seni Aceh membuat penonton bergidik dan takjub. Syair-syairnya yang dalam makna dan membangkitkan semangat mengajak pemuda memerangi Belanda pada masanya dulu. Tepukan rapa’i hingga cepatnya gerakan tari Saman, Ratoeh Duek hingga Rapa’i Geleng begitu mendebarkan setiap penonton yang menonton. Belum lagi suntikan sastra bernafas Islam dalam syair-syairnya sehingga menambah kekaguman banyak orang terhadap leluhur Aceh yang menciptakannya. Itulah pengakuan beberapa orang penonton yang saya temui.

Untuk Balee Seni yang digagas Seniman Perantauan Atjeh, ini adalah salah satu lompatan besar untuk mempromosikan kesenian dan kebudayaan Aceh dalam cakupan yang lebih luas di tanah Jawa. Apalagi Aceh segera merealisasikan program Visit Aceh 2013, jelas Balee Seni adalah salah satu pemantik awal turis di Yogyakarta untuk mengunjungi tanah Teuku Umar. Ditambah lagi Yogyakarta bersanding dengan Bali adalah daerah tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan asing maupun lokal. Maka Balee Seni adalah potensi yang sangat menjanjikan untuk dikemas secara profesional dan rutin dilaksanakan sehingga dapat menarik wisatawan yang singgah di Yogyakarta untuk sudi melirik dan mengunjungi Aceh suatu waktu di masa depan nantinya.

Gebrakan Sepat ini layak diapresiasi, terlebih mereka berencana membuat agenda serupa setiap bulan dengan tema yang berbeda.Walaupun tidak memperoleh dana langsung dari Pemerintah Aceh, selama ini Sepat cukup mandiri dan mampu berdaya karena mereka mengelola uang dari hasil pertunjukan seni komersial anggotanya di banyak tempat dan acara di Yogyakarta. Semestinya Pemerintah Aceh juga mampu mendukung kegiatan ini sehingga lebih berkembang dan mapan, yang nantinya akan berdampak positif terhadap citra Aceh di mata wisatawan lokal maupun internasional.

Pada akhir acara, Balee Seni ditutup dengan do’a bersama kemudian sayup-sayup sosok W.S. Rendra kembali hidup lewat puisi “Balada Cut Nyak Dhien” yang dibacakan lantang oleh Muhammad Iqbal, mahasiswa Sastra Inggris Universitas Ahmad Dahlan, yang juga penggagas acara Balee Seni seri kesatu ini.

Cut Nyak Dhien adalah harimau
yang tabah dan jelita
yang mengintip di antara rerumpun ilalang
di daerah sepanjang Sungai Woyla
yang mengembara dengan dendam yang mulia.
Menumpas kaphe dan penjajah.

Apabila suara rateb sudah menggema
di seluruh rimba
dan rencong serta pedang daun tebu
telah mulai gemerlapan
memantulkan kembali
cahaya bulan dan bintang-bintang
gemetarlah para kaphe dan penjajah
karena tahu bahwa api di tiap dada rakyat Aceh
takkan bisa dipadamkan!!!
[c]

ZAKIUL FAHMI JAILANI, Pengurus Keluarga Aceh Besar Yogyakarta

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU