Thursday, April 25, 2024
spot_img

Bertani di Balik Kabut

Desa Tengger terakhir sebelum puncak Mahameru yang menghadapi komoditas impor, ancaman hama, dan erosi.

Kabut putih berarak menuruni lembah. Pekatnya seketika menelan perbukitan di kaki Semeru dari pandangan mata. Di dasar lembah, 22 pria sedang berpacu mendahului turunnya hujan untuk memanen kentang.

Mereka baru menyelesaikan seperempat dari 2.500 meter persegi tanah yang harus dibongkar. Padahal ini sudah tengah hari. Bila hujan yang menang, pedagang kentang seperti Yonathan (44) harus memperpanjang hari kerja buruh taninya.

Hari itu, 9 Februari 2015, dua mobil bak terbuka diparkir di pinggir ladang. Salah satunya telah terisi selusinan karung kentang.

“Ini akan langsung kami setor ke Pasar Porong. Saya perkirakan satu petak ini dapat lima ton,” terang Yonathan.

Sudah 14 tahun ia menjadi pedagang kentang yang memborong hasil panen petani di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Desa yang dihuni masyarakat Tengger di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Di desa ini, tahun lalu ada 45 ribu pendaki Semeru yang melintas. Desa terakhir sebelum puncak Mahameru.

Secara administrasi, desa seluas 500 hektar ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Inilah desa yang berada di dalam kantong (enclave) sebuah kawasan konservasi seluas 50.200 hektar yang beririsan dengan empat kabupaten: Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan.

Untuk seperempat hektar yang dipanen hari itu, Yonathan dan petani pemilik tanah sepakat di harga 25 juta rupiah, dengan asumsi panen akan menghasilkan 5 ton kentang. Itu berarti satu kilo kentang di dalam tanah dihargai 5.000 rupiah per kilo. Bila hasil panen lebih besar dari angka asumsi, Yon lebih untung.

“Ke pengepul nanti saya oper dengan harga 6.500 per kilo.”

Bila matematika Yon tepat, ia akan mengantongi margin 7,5 juta rupiah sebelum dipotong transpor dan ongkos buruh tani.

“Kadang kalau petani kesulitan pupuk atau pestisida, saya memberikan pinjaman dan dibayar saat panen,” katanya enteng, seolah tak risau dengan julukan tengkulak atau ijon.

Ia memang sudah dekat dengan masyarakat Tengger di Ranu Pani. Selama enam tahun antara 1989-1995, Yonathan pernah menetap dan bertani di Ranu Pani. Seperti petani lainnya, di masa itu, ia menanam bawang putih.

“Setelah bawang putih hancur, saya kembali ke Tosari (Pasuruan).”

Peristiwa yang dimaksudnya terjadi antara 1995-1996, saat pemerintah Orde Baru mulai memasuki pasar bebas dunia. Setahun sebelumnya, Indonesia menjadi tuan rumah pakta perdagangan bebas Asia-Pasifik, APEC.

Tahun 1995, luas lahan bawang putih nasional mencapai 22 ribu hektar dengan total produksi lebih dari 279 ribu ton. Dengan volume sebesar itu, bawang putih lokal mampu memenuhi 95 persen kebutuhan dalam negeri.

Para petani di Ranu Pani seperti Yonathan menikmati harga 6.000 rupiah/kg. Tak terpikir untuk menanam kentang yang kala itu harganya hanya 350 rupiah.

“Setelah bawang impor dari Tiongkok masuk, harga di konsumen sudah 2.250. Padahal di lahan saja harganya masih 6.000 rupiah. Bagaimana konsumen tidak berpindah ke bawang impor,” kenangnya.

Sejak saat itu, petani Ranu Pani beralih ke kentang, kubis, atau bawang daun. Bawang putih sendiri tak pernah kembali. Volume impornya telah menembus setengah juta ton per tahun dan menghapus bawang lokal dari sejarah dengan menyisakan lima persen saja pangsa pasar domestik.

Tapi tak semua petani sependapat dengan Yonathan ihwal penyebab tunggal runtuhnya kejayaan bawang putih di desa Ranu Pani.

Joko (62), petani yang lebih senior, mengenang peristiwa itu akibat datangnya hama tanaman yang tak ada obatnya.

“Tanaman yang harusnya sudah berbuah, tiba-tiba layu dan busuk dari batang sampai daun. Tim dari Universitas Brawijaya sampai naik ke sini tapi tidak bisa menyembuhkan,” kenang Joko sembari duduk di depan tungku perapian.

Satu meter di atasnya, masih terpasang rak bambu yang gosong menghitam, bekas menjemur bawang putih. Saksi kejayaan ekonomi era 1990-an.

Di masa itu, seperempat hektar lahan mampu menghasilkan dua ton bawang. Dengan harga 6.000 rupiah per kilo, Joko mengalami masa keemasan dan menikmati hidup sebagai petani.

“Padahal saat itu uang 100 ribu saja sudah bisa untuk modal satu kali masa tanam. Jadi bayangkan kalau sekali panen bisa 12 juta rupiah. Sekarang uang 100 ribu tidak ada harganya.

Menggratiskan yang Bisa Dijual

Sebagai warga Tengger yang mulai menetap di Ranu Pani sejak 1960-an, Joko mengalami siklus jatuh-bangunnya komoditas pertanian.

“Dulu ayah saya menanam jagung dan kentang merah. Tapi hanya untuk dimakan sendiri. Setelah ada bawang putih, kami pindah. Setelah tanah ini tak mau lagi menumbuhkan bawang, kami beralih ke kentang. Sekarang kami menikmati kejayaan kentang. Entah sampai kapan tanah ini mau menumbuhkan kentang,” paparnya.

Di seberang perapian, Sukodono (46) ikut duduk menghangatkan badan. Suhu terendah di Ranu Pani bisa mencapai minus empat derajat Celcius dan paling hangat 21 derajat. Keponakan Joko ini juga bertanam kentang dan telah membangun rumah permanen serta membeli sepeda motor 250 cc. Transportasi roda dua paling mentereng di desanya, meski tanahnya tak lebih dari 1,5 hektar.

“Kami cukup sejahtera dari kentang. Meski tak ada petugas pertanian dari pemerintah, di sini seperempat hektar bisa menghasilkan 40 juta karena kami mengembangkan bibit sendiri,” Suko menimpali.

Semula petani Ranu Pani membeli bibit kentang dari luar, termasuk jenis Granola L atau Lembang. Tapi setelah mengembangkan bibit sendiri dengan jenis Granola Kembang, kualitas buahnya lebih maksimal.

Suko hanya perlu memanfaatkan atap rumahnya untuk lokasi pembibitan di dalam deretan polybag. Sedangkan Joko memanfaatkan lahan di belakang rumahnya untuk menyemai bibit.

“Saya menjual bibit 300 ribu per kilo. Banyak yang mau. Terutama orang dari luar. Tapi kalau ada yang mau tahu bagaimana caranya, juga saya ajari,” sambung Joko.

“Mengapa menggratiskan sesuatu yang justru bisa Bapak jual?” tanya kami.

“Kalau saya mau membuat pagar yang rapat agar orang tak bisa melihat, bisa juga. Tapi apa iya seperti itu yang disebut hidup?” tukasnya sembari tertawa.

“Padahal di tempat lain, kalau mau belajar pertanian harus bayar,” sambung Suko yang pernah diajak studi banding oleh sebuah lembaga konservasi internasional ke Lembang dan pegunungan Dieng.

Ancaman Bencana Kedua

Di luar, hujan masih turun. Yonathan dan ke-22 buruh taninya terpaksa jeda bekerja. Joko dan Suko masih duduk di depan perapian. Mereka mengkhawatirkan hilangnya masa-masa kejayaan kentang, sebagaimana halnya bawang putih.

Tapi kali ini bukan oleh penyakit atau ancaman kentang impor. Melainkan proses erosi lahan pertanian.

Sejak menanam kentang, warga Ranu Pani meninggalkan sistem pertanian teras iring, meski lahan mereka berada di punggung-punggung bukit yang curam. Akibatnya, bila hujan, aliran air membawa serta unsur hara tanah tanpa ada penghalang. Termasuk pupuk-pupuk yang ditabur di atasnya.

Salah satu indikatornya adalah terjadinya pendangkalan dan penyuburan danau Pani yang terletak di ujung terendah Desa Ranu Pani. Sepuluh tahun lalu, pihak Taman Nasional mengukur kedalaman danau masih puluhan meter. Tapi tahun lalu, di titik yang sama, dalamnya hanya tiga meter.

“Mereka tahu lapisan tanah yang subur tinggal 20 centimeter. Dan nenek moyangnya dulu mengenal sistem pertanian teras-iring untuk menahan erosi. Tapi keuntungan kentang terlalu menggiurkan,” sesal Toni Artaka, Kepala Resort TNBTS Ranu Pani.

Suko sendiri menyadari bahwa para petani enggan menggunakan teras-iring karena akan mengurangi luas lahan yang bisa ditanami. Tanaman keras pun dihindari karena tutupannya akan mengurangi daya tembus sinar matahari.

Tapi mereka sendiri mengaku punya solusi, meski perlu bantuan pemerintah.

“Kami akan membuat semi teras-iring dan menanam rumput gajah untuk menahan erosi. Tapi perlu bantuan bibit ternak untuk menampung rumput-rumput itu bila sudah besar dan pertumbuhannya tidak terkendali,” paparnya.

Tanpa ternak, warga tak punya motivasi untuk memotong rumput dan hanya menyita waktu bertani mereka. Bila rumput tak dipotong, pertumbuhannya akan mengganggu tanaman kentang.

“Jangan sampai danau Pani tinggal sejarah. Nama desa ini diambil dari danau itu. Tapi yang lebih penting, kalau tanah terus-menerus terbawa hujan, anak cucu kita nanti kita warisi bukit berbatu,” kata Bambang, yang dikenal sebagai dukun desa.

Ia mengucapkan itu di depan Suko yang pada suatu malam berkunjung ke rumahnya.

Kegelisahan yang sama juga dirasakan Joko yang pernah mengalami jatuh bangun bertani bawang putih.

“Kalau tanah ini sudah tak mau lagi menumbuhkan kentang, lalu kami ini apa?” pungkasnya sembari mengantar kami beranjak dari perapian.

Hujan sedikit reda. Tapi kabut masih bergelayut di tebing-tebing curam lahan pertanian yang terancam. (bersambung)

DANDHY LAKSONO | UCOK PARTA

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU