Asep Setiabangga sedang membuat miniatur masjid. FOTO NH/ACEHKITA

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Pria berambut gimbal 37 tahun itu lebih menyukai bekerja saat orang-orang sedang terlelap. Dalam kesunyian malam diterangi siraman lampu, dia dapat mengeluarkan semua imagi untuk menghasilkan karya sempurna, mengukir aneka jenis suvenir batu giok.

Tubuhnya agak kurus. Bibirnya kerap mengumbar senyum ketika bicara. Dia terkesan pemalu. Asep Setiabangga namanya. Dialah pengukir giok Nagan. Berbagai suvenir giok aneka bentuk telah dikerjakan lelaki yang lebih akrab disapa Bembeng.

Suvenir giok berbentuk binatang, bunga, mobil-mobilan, granat manggis, mata cincin wujud hewan, papan nama pejabat, liontin dedaunan hingga cincin siap pakai adalah di antara sederetan karya Bembeng. Tongkat komando yang banyak dipakai pejabat baik militer mapun sipil diukir pria brewokan berkumis tebal itu. Bahannya giok jenis black jade dan nefrite.

“Saya lebih senang bekerja dari pukul 10:00 malam hingga pukul 3:00 dinihari karena kalau sudah larut malam tak ada gangguan sehingga konsentrasi bisa fokus,” katanya saat ditemui acehkita.com di tempat kerjanya Kato Gemstone, kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Nagan Raya di Suka Makmue, akhir Maret lalu.

Bembeng mulai bekerja di tempat milik Fera Buanto, 25 tahun, sejak November 2013 silam. Sebelumnya, dia bekerja di bagian perbengkelan Balai Latihan Kerja (BLK) Kota Sukabumi, Jawa Barat. Selama bekerja di BLK itu, Bembeng juga aktif mengukir kayu. Dia juga sering dikirim ke beberapa daerah di Sumatera untuk memberi pelatihan.

Ketika Fera ikut pameran batu cincin di Tangerang, Provinsi Banten, pada September 2013, dia bertemu Bembeng yang kebetulan datang untuk melihat event itu. Setelah terjadi pembicaraan singkat, akhirnya Bembeng memutuskan bersedia untuk datang ke Aceh. Lalu, lelaki itu segera mengurus permintaan berhenti di tempatnya bekerja.

Bembeng pun datang ke Aceh. Ia langsung dibawa ke tempat usaha Kato Gemstone. Istrinya, Susanti, 34 tahun, diboyong serta. Pasangan ini belum dikarunia anak. Sejak pertama datang, Bembeng mengaku tidak pernah keluar dari tempat itu dan memilih untuk berkarya: mengukir giok.

“Saya suka seni karena itu memang jiwa dan panggilan hidup saya. Saya tidak terlalu suka pergi-pergi. Makanya sejak pertama datang, saya enggan keluar dari sini. Meski Fera beberapa kali mengajak jalan-jalan, tapi saya lebih suka di sini,” tutur Bembeng, sambil tersenyum.

Aceh ternyata tidak asing bagi Bembeng. Beberapa bulan setelah tsunami menerjang pesisir Aceh, pada 26 Desember 2004 silam, ia datang ke Meulaboh sebagai relawan. Waktu itu, dia membantu korban tsunami dalam pemberdayaan penyulingan minyak kelapa dan berbagai kegiatan lain. Setelah dua tahun berada di Meulaboh, ia pulang ke Sukabumi.

Mengukir giok tidak begitu menjadi kendala bagi Bembeng. Dia hanya butuh waktu seminggu untuk belajar. “Yang paling penting bahannya harus giok betul-betul bagus dan tak retak sebab pada awal-awal kami mengandalkan mesin grinder,” katanya.

Saat mengukir giok, Bembeng mengaku pernah beberapa kali patah ketika karyanya hampir jadi. Perasaan tentu saja kecewa, tapi dia terus berkarya untuk mendapatkan hasil terbaik.

Seiring banyaknya pelanggan yang membutuhkan jasa ukiran Bembeng, pemilik Kato Gemstone membelikan seperangkat mesin khusus dari Australia. Saat ditanya harga mesin itu, Fera mengaku tidak tahu karena dibelikan sang ayah, Edi Masri, seorang pengusaha di Nagan Raya berusia 60 tahun. Edi juga enggan mengungkapkan harga mesin itu. Mesin itu untuk membuat boh meusabah (biji tasbih).

Saat acehkita.com menyambangi tempat usaha Fera, Bembeng sedang menyiapkan sebuah miniatur masjid. Targetnya harus selesai pada 10 April mendatang karena itu akan diikutsertakan dalam pameran di Meulaboh yang digelar sejak 14 April. Bahan yang dipakai: black jade dan nefrite. Bagi kalangan pencinta batu di Aceh, black jade sering disebut “blekjet.”

“Saya tidak membuat miniatur masjid yang telah ada karena khawatir nanti tak sama persis. Makanya saya membuat miniatur masjid dari imagi saya saja,” kata Bembeng, seraya menambahkan, membuat miniatur masjid itu hanya pekerjaan sambilan.

Ditanya bila ada orang yang meminta membuat miniatur Masjid Raya Baiturrahman atau masjid lain, dia mengaku mampu. Apalagi, selama ini, Bembeng telah mengukir berbagai suvenir yang dipesan pelanggan mulai dari masyarakat biasa pencinta batu hingga kalangan pejabat.[]

NH

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.