Friday, March 29, 2024
spot_img

Ada yang Salah Ajak

“UNTUK melipat ganda kecerdasan berpikir, kita sering minta tolong pada alat reproduksi, napsu tampil beda, dan perut, kenapa begitu, Abu?” tanya anak muda itu pada sahabat tuanya.

Saat itu mereka baru menempati meja sudut di warung kopi terbuka langganan mereka yang letaknya di tepi areal persawahan di persisian desa.

Ditanya begitu oleh pemuda teman dialog hariannya, lalu meluncurlah jawaban panjang dari orang tua bijak itu. “Ya,” katanya. “Itu lantaran terlalu sedikit yang mampu kita pikirkan dengan otak sendiri.

Di sisi lain, adalah juga terlalu mahal jika harus meminta Ulama, Guru Besar, Akademisi, Guru, Motivator untuk menolong mengembangkan pikiran kita.

Jalan keluarnya adalah dengan banyak membaca buku. Namun menurut kita, buku-buku yang baik itu, mahal-mahal.

Memang banyak buku bagus yang dapat dibaca gratis, yakni di perpustakaan daerah. Tapi itu letaknya di ibu kota kabupaten. Kita di kampung merasa kejauhan pergi ke sana tiap hari.

Agaknya sekarang, yang namanya perpustakaan itu, juga ada di tiap kampung, namanya Perpustakaan Gampong. Tetapi kita selalu merasa, duduk di warung kopi pinggir kampung—sambil ngobrol dengan teman-teman, atau sambil memelototi smartphone sepanjang hari—jauh lebih asyik.

Jadi, akhirnya, apa pun yang harus kita pikirkan, selalu harus mengandalkan otak sendiri. Padahal sejak di awal percakapan ini kita sudah sepakat, bahwa pikiran satu orang itu terbatas.

Setiap orang harus menolong pikirannya dengan pikiran-pikiran orang lain. Jalannya, ya, dengan meminta Ulama, Guru Besar, Akademisi, Guru, Motivator untuk menolong mengembangkan pikiran kita. Tetapi itu terlalu mahal.

Jalan keluar lainnya adalah dengan banyak membaca buku. Namun menurut kita, buku-buku yang baik itu, mahal-mahal.

Memang banyak buku bagus yang dapat dibaca gratis, yakni di perpustakaan daerah. Tapi itu letaknya di ibu kota kabupaten. Kita di kampung merasa kejauhan pergi ke sana tiap hari.

Agaknya sekarang, yang namanya perpustakaan itu, juga ada di tiap kampung, namanya Perpustakaan Gampong. Tetapi kita selalu merasa, duduk di warung kopi pinggir kampung—sambil ngobrol dengan teman-teman, atau sambil memelototi smartphone sepanjang hari—jauh lebih asyik.

Jadi, akhirnya, apa pun yang harus kita pikirkan, selalu harus mengandalkan otak sendiri. Padahal sejak di awal percakapan ini kita sudah sepakat, bahwa pikiran satu orang itu terbatas­—”

“Stop, stop! Sorry, Abu. Kalau tidak salah, Abu sudah mengulang deskripsi yang sama dua kali. Daripada Abu mengulangnya berkali-kali sampai pingsan, lebih baik saya interupsi.”

“Oh, sorry, saking bersemangatnya saya.”

“Baik, Abu. Lanjutkan.”

“Baik. Begitulah. Bahwa, setiap orang harus menolong pikirannya dengan pikiran-pikiran orang lain. Jalannya, ya, dengan meminta Ulama, Guru Besar, Akademisi, Guru, Motivator. Jika semua itu terhitung mahal dan merepotkan, ya, hanya dengan masuk ke ruang Pustaka Gampong. Baca buku. Tanpa harus beli. Tanpa dipungut biaya. Gratis.

Bahkan di ruang Pustaka Gampong, kita bisa baca buku sambil update status di Facebook dan Twitter. Bisa sambil balas WA kekasih.

Dan, yang terpenting, kalau pengunjung Pustaka Gampong kebetulan ada lelaki dan perempuan, kita tak bakal kena Pasal Larangan Campur Nonmuhrim. Karena, larangan itu baru hanya sebatas berlaku di warung kopi. Belum di kantor, belum di kampus, belum di pustaka, belum juga di halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Sedangkan Larangan Campur Nonmuhrim di warung kopi, itu pun masih sebatas di Kabupaten Bireuen—sepertinya tak bakal merembes ke kabupaten-kabupaten lain, apalagi ke ibu kota provinsi. Jikapun merembes, area kantor, kampus, halaman masjid, tak bakal kena. Apalagi ruang baca perpustakaan.

Kita di sini memang banyak sekali diintimidasi oleh berbagai larangan: larangan membaca sejumlah kitab dan buku, larangan duduk ngangkang di sandel sepeda motor bagi perempuan, larangan mengakses area-area wisata lokal, bahkan sampai ke larangan imunisasi virus rubella yang bakal membuat generasi masa depan Aceh roboh dalam sekali embusan napas epidemi.

Atau, minimal, sebelum segalanya dilarang, mari kita tolong otak sendiri dengan banyak membaca dan bertafakur di ruang perpustakaan. Karena, jika nanti kita kewalahan dengan kemampuan otak sendiri [dan pada saat itu pikiran orang lain pun sudah tak punya waktu untuk kita adopsi], kita pasti akan kalang-kabut sampai-sampai selalu terlanjur mengajak alat reproduksi, napsu tampil beda dan perut untuk berpikir. Oya, sorry, tadi apa pertanyaanmu?”

“Tadi pertanyaan saya adalah: untuk melipat ganda kecerdasan berpikir, kita sering minta tolong pada alat reproduksi, napsu tampil beda, dan perut, kenapa begitu?” ulang tanya pemuda itu.

Dan orang tua itu memungkas, “Ya, jawabannya itu tadi. Kita selalu lebih mengandalkan perut, napsu tampil beda, dan alat reproduksi untuk diajak berpikir, dibandingkan pikiran-pikiran orang lain [yang sudah diabadikan di dalam buku-buku] yang terbukti telah mengubah peradaban, juga baik untuk keduniaan dan keakhiratan.”[]

Musmarwan Abdullah, sastrawan kelahiran Pidie. Buku kumpulan ceritanya yang terbaru berjudul: Dijamin Bukan Mimpi, terbitan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2016. Saat ini sedang menulis naskah kedua Dijamin Bukan Mimpi.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU