AKU INGIN bercerita kepadamu tentang kisah penggali sumur. Kebetulan sekali, kisah ini tidak terjadi di kampung kita yang katanya besar ini. Jadi kuharap, jangan mencari hubungan apapun antara kisah yang kutulis ini dengan kejadian yang terjadi di kampung kita akhir-akhir ini. Pasti kau tidak akan menemukan hubungannya. Percaya deh!
Anggap saja, kisah yang aku tulis terjadi jauh di negeri, katakanlah, negeri antah-berantah. Jangan pernah kau tanyakan padaku di mana negeri antah-berantah itu, karena aku hanya mendengar saja dari mulut-ke-mulut. Tapi aku yakin, kisah ini sudah pernah ditulis dalam sebuah kitab, yang tak bernama. Jadi, jangan pernah bertanya sama aku apa nama kitab itu. Sebab, aku pun sebenarnya tidak tahu. Percayalah, tak penting soal nama kitab itu. Karena kita tak hendak bercerita soal kitab, melainkan apa yang pernah ditulis di kitab itu.
Syahdan, tersebutlah dalam kitab itu sebuah kerajaan yang sangat makmur. Rakyatnya hidup sejahtera. Jangankan manusia, hewan-hewan yang mendiami kerajaan itu ikut menikmati kemakmuran kerajaan itu. Saking makmurnya negeri itu, hewan-hewan tak perlu mencari rumput, karena semua kebutuhan mereka sudah disediakan oleh kerajaan. Jadi, sudah bisa kau bayangkan betapa makmurnya negeri ini, bukan?
Saat itu, seperti ditulis dalam kitab yang tak bernama itu, hanya ada lima kerajaan yang mampu menggetarkan langit dan membuat takjub para penghuni bumi. Jika ada lima bintang yang bercahaya, maka negeri antah-berantah itulah cahaya yang paling terang. Hampir tak ada kerajaan lain yang sebanding dengannya. Kerajaan itu pun aman dan damai, karena tak ada yang coba-coba mengusik kedamaian dan kedaulatan kerajaan itu. Armada perang lautnya termasuk yang paling hebat saat itu. Tak hanya memiliki tentara berjenis kelamin laki-laki, karena kerajaan itu juga memiliki angkatan perang wanita. Aku lupa, siapa yang memimpin pasukan perempuan itu, karena aku lupa mencatatnya. Mohon dimaklumi kealpaanku ini.
Hingga suatu ketika, sebuah prahara menimpa kerajaan itu. Prahara itu bukan bersebab perebutan tahta seperti sering terjadi di kerajaan-kerajaan konvensional lain, melainkan karena abai untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan. Kejadian itu memang sama sekali bukan kesalahan abdi kerajaan, melainkan karena sang anjing menderita penyakit kulit, kurap. Ya…anjing kurap (asee meukurap dalam bahasa Aceh). Gara-gara penyakit itu, sang anjing malu untuk mengantri makanan dan minuman yang disediakan pihak kerajaan. Singkat cerita, anjing itu pun mati (untung bukan mati karena bunuh diri).
Sang anjing sebenarnya bisa mencari air sendiri, di sawah, di sungai atau di tempat penampungan air. Tetapi, itu sama sekali tak lazim terjadi di sebuah kerajaan yang cukup makmur seperti kerajaan antah-berantah. Sebab, mencuri air yang sepenuhnya dalam penguasaan kerajaan adalah perbuatan tercela dan sangat tidak dianjurkan, sekalipun sekadar meminum untuk menyelamatkan nyawa. Anjing ini pun taat pada hukum yang tak tertulis itu. Dia pun memilih mati dengan menahan rasa haus yang luar biasa.
Entah karena faktor anjing haus itu atau ada skandal pengelolaan air kerajaan yang tak transparan, kerajaan antah-berantah perlahan-lahan mulai menerima kutukan: hujan tak lagi turun, tanah menjadi gersang, dan warga mulai dilanda kepanikan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Air di penampungan mulai menipis. Kerajaan melakukan penghematan secara ketat. Jika sebelumnya, jangankan manusia, hewan pun mendapat jatah air, kini menjadi terbalik. Air hanya untuk manusia, dan tentu saja, hanya orang-orang yang dekat dengan kekuasaan.
Sumpah serapah rakyat mulai terdengar di mana-mana. Mimbar khutbah menjadi sarana menghujat pengelola kerajaan. Di warung-warung yang sebelumnya rakyat memuji sang raja yang baik hati itu kini menjadi terbalik: mereka menghujat penguasa. Tak bisa kubayangkan jika saat itu ada sosial media seperti facebook atau twitter. Pasti status dan timeline penggunanya lebih banyak berisi kecaman terhadap pihak kerajaan atau para abdinya. Ketika itu pula belum dikenal seni mural, sehingga kita tak melihat ada grafiti atau coretan di dinding kota yang memaki-maki penguasa. Setidaknya begitu yang kubaca dalam kitab yang tak bernama itu.
Semakin hari, kehidupan rakyat makin parah. Kerajaan itu di ambang perang saudara. Persediaan air terus menipis dan menipis. Kini air hanya cukup untuk menghidupi para abdi kerajaan dan orang di lingkaran dekat penguasa. Jika rakyat hidup dalam kehausan, maka orang-orang yang dekat dengan lingkaran dalam kerajaan hidup dengan air yang melimpah, sebagian malah berfoya-foya. Sepertinya, kehancuran hanya menunggu waktu saja.
Benar saja, tak lebih dari enam bulan hidup dalam ketidakpastian, air benar-benar habis. Apalagi hujan sudah lama tak menjamah kerajaan yang dulu terkenal sangat makmur itu. Pihak kerajaan tak mungkin meminta pada kerajaan lain yang berada di 4 penjuru mata angin itu. Di samping tak lazim juga untuk menjaga gengsi dan menutup peluang negeri itu diserang karena berada dalam kondisi tak berdaya. Jadi, pihak kerajaan memilih bungkam sambil berharap keajaiban. Tapi keajaiban yang ditunggu itu tak pernah datang.
Kini raja sendiri merasakan bagaimana hidup dalam kondisi kehausan, kondisi yang sudah cukup lama dirasakan oleh rakyatnya. Berbagai upaya dilakukan, seperti menggali sumur secara lebih dalam dan juga melakukan shalat minta hujan (istisqa). Sialnya, langkah itu sama sekali belum membuahkan hasil. Boleh dibilang, kerajaan itu sedang dikutuk! Ini menjadi pendapat umum rakyat yang mendiami kerajaan itu. Beberapa yang tak tahan memilih mencari suaka ke kerajaan lain dengan alasan yang dibuat-buat.
Hingga suatu ketika, raja membuat rapat umum terbuka. Sesuatu yang sudah lama sekali tak dilakukan. Seingatku seperti tertulis dalam kitab tak bernama itu, ini menjadi rapat umum kedua setelah rapat umum pertama ketika sang raja memenangkan pertempuran yang membuat kerajaan antah-berantah itu tegak hingga hari ini.
Dalam rapat itu, raja membuat keputusan penting bahwa sumur yang lebih dalam dan besar akan digali di lokasi tempat anjing yang mati kehausan itu dikebumikan. Keputusan ini diambil setelah upaya penggalian sumur di semua lokasi yang diprediksi memiliki sumber air ternyata tak membuahkan hasil, termasuk di dekat kuburan seorang ulama besar nan tersohor yang dimiliki kerajaan itu.
Siang-malam upaya penggalian dilakukan dengan melibatkan lima ribu penggali serta ratusan jenis alat berat. Dari hari-ke-hari, minggu-ke-minggu hingga bulan berganti bulan, upaya penggalian sumur itu belum juga membuahkan hasil. Setelah semua orang nyaris frustasi, upaya penggalian itu pun hendak dihentikan. Tiba-tiba, dari dalam sumur itu terdengar kabar menggembirakan, bahwa upaya mereka menggali sumur bakal tak sia-sia. Dari sebuah timba besar yang ditarik dengan tali sebesar tali pengikat kapal, dinaikkan sebongkah emas plus beberapa jenis logam mulia lainnya. Tak hanya itu, sebuah batu besar yang indah juga terangkut dalam timba itu. Semua orang yang hadir menyunggingkan senyum tanda bahagia. Semua orang terlibat bergembira dan yakin bahwa setelah penemuan itu bakal muncul sumber mata air yang sangat mereka idam-idamkan.
Rupanya momen bahagia itu tak berlangsung lama. Setelah penemuan harta karun itu mulai muncul suara-suara sumbang untuk menjarah dan melarikan benda berharga itu. Sementara para petinggi kerajaan mulai memikirkan bagaimana caranya agar semua barang temuan itu menjadi miliknya. Mereka pun mulai bertengkar. Pertama-tama hanya adu mulut biasa, setelah itu berlanjut ke pertengkaran fisik. Karena harta yang didapat itu semakin banyak, masing-masing mereka mulai saling menyingkirkan termasuk dengan saling menumpahkan darah. Cukup banyak yang mati pada hari pertama penemuan itu. Pertumpahan darah kemudian berlanjut di hari kedua, ketiga, keempat hingga dua minggu lamanya. Areal penggalian sumur itu kini dipenuhi darah. Bau anyir dan amis menyebar kemana-mana. Semua rakyat kerajaan itu kini saling membunuh untuk memperebutkan harta karun itu.
Dalam buku tak bernama itu disebutkan, pertumpahan darah itu menjadi awal kehancuran kerajaan yang sempat menggetarkan langit dan membuat takjub penghuni bumi itu. Kehancuran kerajaan itu bukan karena serangan dari kerajaan lain yang mendiami empat penjuru mata angin. Melainkan ulah pihak pengelola kerajaan dan rakyat yang mendiami kerajaan itu. Kerajaan itu pun tamat untuk selama-lamanya.
Mereka bertengkar bukan karena memperebutkan sumber mata air yang menjadi tujuan awal mereka menggali sumur, melainkan karena memperebutkan harta karun yang ditemukan sebelum sumber mata air didapatkan. Membaca kitab yang tak bernama itu, kita hanya mampu mengernyitkan dahi sambil merenung, sembari berharap apa yang terjadi di kerajaan antah-berantah itu tak terjadi di tempat kita. Mudah-mudahan kita tak bertengkar antar-sesama, karena tujuan awal belum tercapai. Jika pun hari ini kita membaca bahwa pertengkaran itu semakin menjadi-jadi, semoga bukan karena memperebutkan harta karun seperti yang dikisahkan dalam kitab tak bernama itu! [c]
TAUFIK AL MUBARAK, jebolan Jurusan Komunikasi dan Penyiaran, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Aktif menulis di blog jumpueng.blogspot.com. Kumpulan tulisannya di Harian Aceh telah dibukukan dengan judul “Aceh Pungo”. Pria yang memberanikan diri maju ke parlemen Aceh melalui daerah pemilihan Pidie dan Pidie Jaya ini bisa dihubungi via Twitter @almubarak.