BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Komponen Masyarakat Sipil Aceh terus mendorong agar Pemerintah Aceh secepatnya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Afridal Darmi dalam diskusi Konsultatif tentang Penyelesaian Pelanggaran HAM di Aceh yang diselenggarakan Komnas HAM Perwakilan Aceh, di Banda Aceh, Selasa (28/07).
Menurutnya, KKR menjadi amanah dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki. Diakuinya, saat ini tidak ada satupun hukum positif terhadap KKR, setelah Undang Undang tentang KKR dibekukan oleh Mahmakah Konstitusi pada akhir 2004 lalu. “Memang UUPA mengatakan qanun hanya mengatur institusi saja, kewenangan diatur oleh UU KKR,” sebutnya.
Tetapi setelah UU KKR dibekukan, Pemerintah Aceh tidaklah harus menunggu adanya UU KKR yang baru. “Kami telah menyelesaikan rancangan qanun, juga termuat soal kewenangan,” ujarnya.
Kata Afridal, kalau Pemerintah Aceh dan DPRA menetapkan qanun KKR, maka itulah pertama dan tidak pernah bertentangan dengan hukum di atasnya di atasnya, karena tidak hukum. “Kalau nantinya ada UU tentang KKR yang baru, nanti qanun kan bisa disesuaikan.”
Membentuk KKR di Aceh tanpa menunggu KKR Nasional memungkinkan terjadi, karena itu adalah sebagai tekanan kepada pusat agar secepatnya bekerja. Aceh telah banyak membuktikan banyak hal seperti itu, misalnya partai lokal dan calon independen untuk pemilihan kepala daerah.
“Saya banyak temui orang di Jakarta dan diskusi soal KKR, katanya mereka menunggu dulu bagaimana proses KKR di Aceh dibangun. Ini bukti kalau sebenarnya saling menunggu. Tidak ada azasi yang didapat, tapi harus direbut,” jelas Afridal. []