Thursday, April 25, 2024
spot_img

“Punk’s Not Dead…!” [2]

JUANDA, seorang punker. Dia berhasil lolos saat penggerebekan polisi. Mahasiswa sebuah universitas ternama di Banda Aceh ini telah aktif di komunitas punk ‘Tanggul Rebel’, sejak tiga tahun silam. Setelah operasi penangkapan itu, pemuda berusia 20 tahun yang di kalangan teman-temannya dipanggil “Lowbet” terpaksa menanggalkan sementara pernak-pernik punknya dan tiarap karena razia memburu sisa-sisa punk masih gencar dilakukan.

Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

“Kami bukan kriminal, tetapi kami dipukul seperti binatang saat ditangkap padahal kami tak membuat onar,” katanya saat diwawancarai, Kamis (15/12).

Sejak itu, Juanda mengaku telah membaca beberapa aturan hukum yang mungkin mereka langgar. Tapi, dia tak menemukan satupun aturan hukum yang berlaku di Aceh telah mereka kangkangi. Dia juga bilang sedang melobi beberapa LSM, untuk membebaskan rekan-rekannya dari “pusat pembinaan” SPN Seulawah. Juanda mengaku, bila diperlukan akan menempuh jalur hukum terhadap polisi dan Pemerintah Kota Banda Aceh yang telah menangkap komunitas punk.

“Kami dituduh melanggar syariat Islam yang berlaku di Aceh. Qanun mana yang telah kami langgar? Tolong tunjukkan, karena tak ada satu pun Qanun yang kami langgar,” katanya, seraya menambahkan komunitas punk hanya ingin mengekspresikan kebebasan dengan caranya sendiri.

Konser musik bertajuk “Punk for Aceh” di Taman Budaya, kata dia, digelar sebagai wujud kebangkitan kembali komunitas punk Aceh setelah sempat vakum akibat konflik bersenjata. Panitia mengundang komunitas punk dari beberapa daerah lain di Indonesia seperti Lampung, Jakarta, Bekasi, Jambi, Batam, Pekanbaru, Medan, hingga Bali. Komunitas punk telah ada di Aceh, sejak tahun 1980-an.

Tetapi, konser itu berubah jadi petaka. Polisi bersama Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH) membubarkan dan menangkap pengunjung yang mayoritas anak punk. 65 punkers, termasuk enam perempuan, ditangkap dan sisanya berhasil meloloskan diri, termasuk Juanda. 36 di antara mereka yang tertangkap berasal dari luar Aceh.

“Saya sangat sedih melihat kawan-kawan dipukul dengan pentungan, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mereka. Rambut kawan-kawan dijambak. Mereka diseret seperti penjahat dan dimasukkan ke truk,” katanya.

Setelah tiga malam mendekam di sel Mapolres Kota Banda Aceh, semua anak punk diangkut ke SPN Seulawah. Sebelum pemberangkatan pada Selasa sore, Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan, mengatakan, para punkers itu akan “dibina”.

“Nanti ada acara tradisi. Pertama, acara potong rambut. Kedua, cebur kolam. Yang wanita potong gaya polwan (polisi wanita),” kata Iskandar kepada wartawan. “Setelah itu ganti pakaian busuk. Kemudian kita ganti dengan pakaian lain yang bagus. Kita kasih sikat gigi, odol, sabun, sampo, sandal, alat sembahyang. Semua kita berikan.”

Kapolda Aceh menyatakan, pembinaan yang dilakukan di SPN Seulawah tak melanggar HAM, tetapi “mengembalikan mental dan moral” para punkers. “Saya ingatkan (pembinaan) tidak melanggar HAM. Kita tetap orientasi membina masyarakat, membina bangsa kita. Ini bangsa kita juga kan? Bukan bangsa India kan?,” katanya.

Langkah polisi mendapat dukungan dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sekretaris Jenderal HUDA, Tgk Faisal Ali, memberikan apresiasi kepada Kapolda Aceh yang telah bersedia “membina” anak punk di SPN Seulawah karena langkah itu akan “mengembalikan mereka ke jalan hidup yang sebenarnya sesuai anjuran agama.”

“Mereka perlu diperhatikan, diberi arahan agar bisa hidup teratur dan layak. Anak-anak punk adalah aset bangsa yang memiliki tanggungjawab bersama untuk dibina. Mungkin selama ini cara hidup mereka menyimpang,” kata Faisal kepada ACEHKITA.COM.

Faisal, yang juga Ketua Nahdatul Ulama (NU) Aceh, menyesalkan sikap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyoroti seolah tindakan polisi membina anak punk melanggar HAM.

“Tidak ada pelanggaran HAM oleh polisi,” katanya, seraya menambahkan “pembinaan” seperti itu bisa dijadikan contoh untuk mengatasi masalah remaja lain, seperti pengguna narkoba.

Dia juga meminta Pemerintah Aceh untuk ikut serta dalam pembinaan generasi muda agar tak terjerumus ke perbuatan melanggar syariat Islam, yang diberlakukan di Aceh sejak 2001 silam.

“Saya minta aparat pemerintah dan kepolisian tidak perlu terpengaruh oleh pihak manapun dalam upaya kita menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berlaku,” tambahnya.

Namun, Evi Narti Zain, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, memprotes apa yang dilakukan polisi untuk “membina” punkers di SPN Seulawah, karena langkah itu dianggap tidak layak dan terkesan mengedepankan pendekatan kekerasan.

“Patut dipertanyakan yang mau dibina itu apa? Menurut saya, langkah polisi aneh karena punk itu tidak salah,” katanya seraya menambahkan, kalau ada punkers terlibat narkoba, mabuk atau menggangu masyarakat, maka ditindak sesuai hukum.

Perempuan aktivis itu tidak yakin pendekatan “membina” di SPN Seulawah akan menyelesaikan masalah. “Jika membina mental dan karakter mereka, kenapa tidak sekalian dimasukkan ke pesantren atau panti rehab sosial,” kata Evi.

Aris Munandar (tengah) saat apel siang di SPN Seulawah, Jumat (16/12). Punker termuda ini mendapat pembinaan bersama 64 punkers lain setelah ditangkap di Banda Aceh, Sabtu malam pekan lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Begitu tiba di SPN Seulawah, para punkers itu dibagi dalam dua kelompok. Di sini, sejumlah polisi telah siap dengan gunting dan alat pencukur rambut di tangan. Satu persatu rambut punkers laki-laki, dicukur habis. Kepala mereka plontos sudah. Sedangkan, rambut punkers yang perempuan dipotong seperti model polisi wanita. Lalu, seluruh punkers dicebur dalam kolam.

Foto-foto mereka saat dicukur rambut dan mandi kolam dengan kepala plontos di bawah pengawasan polisi, menghiasi berbagai media internasional. Media asing juga heboh memberitakan kasus itu. Reaksi pun datang bertubi-tubi dari komunitas punk di berbagai belahan dunia, yang “mengecam” tindakan polisi.

Malahan, ada satu website yang khusus menggalang petisi untuk pembebasan anak punk yang sedang menjalani “pembinaan”. Sementara, sejumlah punkers Rusia melancarkan aksi protes dengan mencoret-coret dinding Kantor Kedutaan Indonesia di Moskow. Solidaritas juga datang dari komunitas punkers Jakarta. Mereka menggelar aksi protes di depan kantor penghubung Pemerintah Aceh di kawasan Menteng, Sabtu (17/12).

Reaksi berlebihan sejumlah kalangan di luar negeri berbeda jauh ketika beberapa anak punk digaruk Satpol PP & WH, Februari silam. Kala itu, mereka yang ditangkap juga dicukur habis rambutnya, tetapi tidak ada pemberitaan di media asing.

Saat bertemu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Kamis (15/12), Kapolda Aceh mengaku ditelepon Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan penangkapan punkers. Ia heran dengan besarnya perhatian negara asing atas kasus penangkapan anak punk di Aceh.

Menurut Iskandar, kedua duta besar negara sahabat itu mempersoalkan kenapa para punkers diceburkan ke dalam kolam. “Saya bilang ini tradisi. Saya saja waktu masuk Akpol dulu juga diceburkan ke kolam,” ujarnya, disambut gelak tawa sejumlah anggota DPRA.

Tetapi, sejauh itu belum ada komentar dari kalangan anggota dewan menyangkut “pembinaan” yang dilakukan di SPN Seulawah.

Selama kegiatan pembinaan, punkers diharuskan bangun pagi pukul 5:00 dan baru diperbolehkan untuk tidur pada pukul 22:00 Wib.

M. Fauzie, seorang pembina, mengatakan, selama berada di SPN, komunitas punk dibina mental spiritual, akhlak, dan perilaku. Jumat pagi, tim dari MPU khusus datang ke SPN untuk memberikan siraman rohani kepada anak punk yang rata-rata berusia 20-an tahun itu.

“Sedangkan untuk mereka yang nonmuslim, kita sediakan pendeta,” ungkap Fauzie. “Selama di sini, kita juga mengajarkan bangun pagi tepat waktu, cara makan, disiplin, dan sopan santun.”

Tetapi, Juanda melihat “pembinaan” di SPN Seulawah sebagai tindakan tidak manusiawi karena, menurut dia, mengedepankan pendekatan militeristik. “Kalau memang ingin membina anak punk kenapa tidak dilakukan Dinas Sosial atau pesantren? Apa salah mereka sehingga perlu dibina/ Mereka hanya ingin mengespresikan kebebasannya,” katanya.

“Saya tidak bisa terima kalau dibilang melanggar syariat. Di hotel-hotel yang jelas ada perbuatan melanggar syariat, kenapa tidak pernah digerebek? Begitu juga di café-café pinggir jalan banyak pekerja seks komersial yang berkeliaran tengah malam, kenapa tak ditangkap? Apa karena mereka membayar pajak.” [Bersambung…]

Baca Juga:
“Punk’s Not Dead…!” [1]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU