Kutiding lahang long hop
Lahumbat bouh buhla tiding
Lom putik kaye lee dimumat han ditem mumat
Lom tanda alamat kuenong ujen keunong sa, kuenong sa, ujen keunong sa
Lom neutop ate lon, lah ikat ya malaikat, lah ikat ya malaikat
Lom beuk lee teuingat, keu donya, piasan donya keu donya, piasan donya
lom aneuk rimung  buh di barat, di ranto barat di barat di ranto barat.
Lom nyang bule jagat, aulia, rimung aulia,  aulia, rimung aulia
lam puteh tuleng lon, lamjeurat, di dalam jeurat, lam jeurat, di dalam jeurat lom
manteng teuingat ke gata, keu guna gata, ke gata lah gata, keu guna gata.

“Ini lirik yang betul,” ujar Fajar Sidiq, salah seorang musisi Aceh. “Yang ada sekarang itu sudah dipangkas-pangkas liriknya hingga tidak jelas maknanya.”

Fajar mendendangkan tembang lawas berjudul Kutiding. Lagu ini akrab di telinga para penikmat musik Aceh. Namun tak banyak yang mengetahui makna di sebalik lirik-lirik tersebut. Tembang itu menggunakan lirik kiasan, yang hanya bisa dimengerti orang-orang yang mendalami lagu dan syair Aceh. Menurut Fajar, Kutiding memang sengaja dibuat agar hanya dimengerti oleh sebagian orang saja.

Lihat saja misalnya lirik “kutiding lahang longhop”. Ini memiliki makna kiasan kepada orang yang perbuatannya bisa dijinjing, seperti petani yang menjinjing padi, lalu melempar benih padi ke dalam lumpur. Lalu lema “walahut”, yang memiliki makna cu’ak atau pengkhianat. Pada mulanya, lirik lagu seperti Kutiding dibuat sebagai sandi untuk mengecoh lawan. Fenomena ini lazim ditemukan pada syair-syair lama Aceh.

Fajar Sidiq sudah cukup lama menggeluti musik etnik Aceh. Bersama beberapa rekan, ia sempat rekaman dan mengeluarkan album berjudul Kapalo.Tak hanya menyanyi, ia pencipta lau serta membuat beberapa alat musik tradisional Aceh, seperti rapai dan seurune kalee.

Saat ini lagu-lagu Aceh sudah membanjiri pasar. Ada yang mengusung genre musik etnik, pop, reggae, hingga mengubah atau mengadopsi musik dari penyanyi luar. Namun tak banyak yang bertahan dan membekas di benak masyarakat.

Kondisi ini berbeda dengan beberapa tahun lampau. Apalagi saat Aceh masih dihujam konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Malah, saat Aceh berstatus Darurat Militer, sepanjang 19 Mei 2003 hingga 18 Mei 2004, sejumlah lagu sempat kena sensor dan bahkan dilarang edar. Sebut saja misalnya beberapa lagu yang didendangkan grup Nyawoung.

“Ada yang salah sedikit, nyindir sedikit sudah dilarang beredar,” kenang Fajar.

Para seniman dan musisi Aceh juga tak bebas menggelar pementasan. Dunia panggung menjadi barang langka kala itu. Bukan apa-apa, karena Penguasa Darurat Militer Daerah membatasi warga untuk berkumpul dalam jumlah banyak. Kontak tembak, antara pasukan pemerintah dengan gerilyawan, acap menjadi momok menakutkan bagi warga Aceh.

Bukan seniman namanya jika tak bisa mensiasati keadaan. Sebagai bentuk protes terhadap kondisi politik dan sosial pada masa itu, banyak musisi yang menuangkannya dalam lirik-lirik. Menariknya, lagu yang mengobarkan semangat perlawanan, kritik, dan membakar semangat keacehan, paling diminati masyarakat –meski harus didengar secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan lagu yang mengusung musik modern, justru lesu, kecuali di Kota Meulaboh.

“Saat konflik hanya beberapa grup musik saja yang rekaman. Karena susah, harus ke Medan atau Jakarta. Nyawoung bagus karena mereka rekamannya di Jakarta,” tambah Fajar.

Nyawoung beranggotakan sejumlah musisi dan seniman Aceh di Jakarta, seperti Mukhlis (alm) dan Cut Aja. Grup yang diproduseri Joe Samalanga ini mengusung lagu etnis dan beberapa di antaranya mengaransemen ulang syair-syair lama Aceh. Lagu yang diusung pun sangat bernuansa keacehan, seperti Do Da Idi dan Panglima Prang, Prang Sabi. Kehadiran Nyawoung sebagai bentuk “perlawanan” musik etnis terhadap gempuran lagu Aceh ala penyanyi rumah rekaman Restu Record (Abubakar AR cs).

Boleh dikata, Nyawoung yang membuat musik etnis Aceh dikenal masyarakat luas –tak hanya di Aceh, tapi juga daerah lain di Indonesia. Ia kemudian diikuti oleh kesuksesan Rafly, Liza Aulia, Saleum, Cupa, Tangke, untuk menyebut beberapa band yang berlatar musik etnis.

Konflik membuat album Nyawoung dilarang edar oleh penguasa militer kala itu, selain lagu Referendum Yakop Tailah, Tragedi Arakundo-nya Yusbi Yusuf. Para penjual tidak berani menjual album lagu-lagu tersebut. Bahkan ada yang alat musiknya dibakar.

Penguasa militer beralasan, lirik lagu-lagu tersebut mengarah ke politik. “Padahal dalam seni tidak ada urusan” kata Fajar lagi.  “Waktu itu juga ada pemanggilan kepada musisi oleh Kodam dan kita diminta tidak boleh menciptakan lagu dan menyanyi yang ada kaitannya dengan politik, tentang  orang-orang yang meninggal, pokoknya itu haram hukumnya.”

Lagu Referendum yang didendangkan Yacob Tailah mengisahkan tentang peristiwa di mana Masjid Raya Baiturahman dipenuhi lautan masyarakat yang datang dari seluruh pelosok daerah di Aceh 11 November 1999. Hari itu, seingat saya, Banda Aceh lumpuh, sekolah diliburkan, kantor-kantor pemerintah tutp dan Baiturrahman dipenuhi lautan manusia.

Lagu Tragedi Arakundo menceritakan tentang pembantaian beberapa pemuda yang kemudian mayatnya dilempar ke dalam Sungai Arakundo di Idi Cut, Aceh Timur, lewat tengah malam. Lagu ini menggambarkan secara jelas kejadianya. Nyanyian yang berdurasi 7 menit 28 detik itu membuat merinding yang mendengarnya. Seperti penggalan lirik di bawah ini:

Arakundo lhee Februari 1999 (Arakundo 3 Februari 1999)
Poh sa malam ni bak uroe nyan (Jam satu malam pada hari itu)
Saboh tragedi meudarah (Sebuah tragedi berdarah)
Kembali terjadi di tanoh Aceh tercinta
Kali nyoe menimpa syedara-syedara tanyoe di Idi Cut (Kali ini menimpa saudara-saudara kita di Idi Cut)
Bak poh sa malam keuh (Saat pukul satu malam itulah)
Ureung-ureung tanyoe ditimbak secara biadab (Saudara-saudara kita di temabak secara biadap)
Lee oknum-oknum hana bertanggung jawab (oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab)

Sedangkan lagu-lagu Nyawoung yang dilarang beredar karena dianggap dapat memotivasi semangat perjuangan.

“Jadi waktu itu para pemusik Aceh susah seperti orang yang belum makan tiga hari tiga malam, pokoknya jangankan buat kesenian berkembang untuk berpergian saja susah,” ujar Fajar lagi sambil terkekeh. “Bahkan ada beberapa artis yang menjadi korban, seperti Apa Lambak pernah dipukul dan tertembak saat selesai pertunjukannya. Lalu Dedek Wahyudi juga dipukul, saya sendiri pernah ditonjok sampai mata berdarah, nah kalau ditanya salah saya, saya pun tidak tahu,” kenangnya.

Ketika itu orang lebih menyukai musik etnik, terutama yang ada sangkut-pautnya dengan konflik yang tengah bergelora. “Dulu itu semakin dilarang. Semakin susah ditemukan orang semakin suka,” lanjut Fajar.

Musik etnik Aceh makin tergerus gempuran musik pop modern. Apalagi, generasi sekarang menganggap lagu etnis tersebut ketinggalan zaman. Tak heran, jika lagu pop (meski musiknya hasil adopsi musik India atau Melayu) lebih diminati pasar, laris manis bak kacang goreng. Tapi menurut Fajar, musik seperti itu tak bakal bertahan lama. Berbeda dengan mereka yang mengusung musik etnik, “meski pelan-pelan tapi bisa bertahan lama, awet.”

Berbicara tentang musik etnit ada beberapa hal yang harus dipenuhi seperti warna vokal, alat musiknya, irama dan lagunya sendiri. “Yang susah itu membuat irama, kalau lirik semalam seratuspun siap. Aransemen dan irama itu bisa banyak yang mirip, perkara menjiplak itu mudah tapi itu sama dengan mencuri kasusnya tapi ini kelas kakap,” kata Fajar sambil terkekeh.

“Sekarang yang plagiat sudah banyak di musik Aceh begitu juga, ditambah lagi zaman semakin canggih buat orang yang mau beli kaset mikir dulu,” tambah laki-laki kelahiran Nagan Raya ini.

Kisah yang sama disampaikan Iwan Maco. Ia juga  penyanyi aceh. “Perkembangan musik Aceh sekarang cukup luar biasa meningkat hingga 100 persen. Penyanyi lebih banyak, produsennya membengkak, dulu waktu konflik kita susah,” kata Iwan.

Iwan memulai debut perdananya pada 2006 dengan judul album Sibuk Kerja. Nama ini terinspirasi dari banyak orang yang bekerja di NGO asing setelah tsunami 2004, 10 tahun silam.

“Dulu waktu konflik gerak seniman jadi terbatasi. Nah kalau sekarang para seniman juga harus bersaing dengan teknologi dan berusaha sekreatif mungkin karena saingannya banyak,” ungkap penyanyi lagu Sibuk HP ini. “Karena itu juga ada akhirnya menjiplak punya orang lain, ya di negara ini hak kekayaan intelektualnya agak kurang dilindungi.”

Ia menyayangkan jika ada lagu Aceh hasil plagiasi dari lagu lain. “Kita tak ingin orang mencuri punya kita, begitu juga dengan orang lain. Jadi buatlah lagu yang bagus sehingga bisa menjadi kenangan dan kebanggaan,” tambah penyuka lagu Payong Hitam-nya Yusbi Yusuf ini.

Perkara plagiat sekarang menjadi masalah baru dalam perkembangan musik daerah. Ketika dulu konflik, sensor musik membuat musisi terkekang sekarang plagiasi juga membuat mereka resah.

“Salah satu faktor yang membuat lagu Aceh itu kurang laku karena musiknya banyak meniru seperti lagu slow rocks yang yang biasanya diambil dari lagu India atau Malaysia, juga lagu remix,” kata Isfandi.

Isfandi adalah penjual keping cakram padat (CD) atau keping video digital (DVD), sejak tujuh tahun lalu. Di toko kasetnya terdapat banyak album musik Aceh orisinal, namun kaset lain seperti Barat, Korea, Indonesia, dan India banyak yang bajakan. Harga album Aceh  bervariasi mulai dari 15.000 sampai 25.000 rupiah.

“Kaset juga kurang peminat kalau di kota banyak orang yang kurang mengerti terlebih anak mudanya. Kalau adapun pembeli biasanya mereka mencari album terbaru,” ujar Isfandi sambil memperlihatkan pajangan keping cakram padatnya.

Hal yang sama juga dituturkan Muzakir, salah seorang penikmat musik Aceh. “Banyak anak muda di sini tidak mengerti bahasa Aceh jadi mereka juga tidak paham isi lagunya terlebih kadang lagunya memakai makna kiasan,” kata dia.

Karenanya, Muzakir tidak heran jika banyak generasi muda Aceh menyukai lagu Aceh bergenre pop, slow rock ala Malaysia atau dangdut. “Banyak juga sekarang lagu-lagu Aceh ikut-ikut orang biar enggak ketinggalan zaman, kurang bangga dengan milik sendiri,” sindir Muzakir.

Padahal, banyak lagu etnik Aceh yang memiliki kualitas bagus. Sayang, lagu tersebut kurang diminati sehingga makin sulit dicari di pusat penjualan cakram padat atau kaset. “Orang mendengarkan saja bisa ikut terintimidasi apalagi menyimpannya. Yang juga menarik itu lagu Hikayat Prang Sabi yang juga dilarang kala itu. Tidak ada rekaman syairnya beredar luas dan siapapun boleh menyanyi dan sangat terkenal” Ingat Muzakir lagi.

“Makin lama kita makin lupa dengan diri sendiri sepertinya terus saja mengikuti orang. Dulu segala sesuatu berbau Aceh kita suka seperti rasa keacehan itu baru ada dan timbul kalau kita jauh dari sini,” kali ini Muzakir tertawa.

Pengalaman berbeda justru didapatkan oleh Zul Ikram. Laki-laki yang piawai memainkan seurune kale ini adalah mantan ketua Sanggar Seni Seulaweuet. Bermain musik tradisional telah mengantarkannya ke beberapa negara untuk menggelar pementasan bersama sanggarnya.

“Banyak anak muda yang kurang berminat kepada alat musik tradisional karena menganggap itu kuno. Tapi kalau bukan kita anak muda yang melestarikan tradisi siapa lagi. Nanti kalau orang lain yang belajar dibilang sudah mencuri kebudayaan kita,” jawab Ikram tentang kegemarannya meniup seurune kale.

Sanggar Seni Seulaweuet merupakan bentukan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri. Tak hanya tampil di ajang kampus dan daerah, Seni Seulaweuet sudah melanglang buana ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Turki, hingga Tiongkok. Zul Ikram punya pengalaman ketika tampil di Shanghai Expo 2010. Begitu panitia mengumumkan tari etnik Aceh akan membuka acara, para pengunjung memberikan sambutan meriah. Para penonton membludak.

“Ini semua pengaruh musik dan tarian Aceh yang heroik, semuanya tradisi jadi siapa bilang tradisi itu ketinggalan zaman,” ujar Ikram.

Bagaimana dikategorikan lagu Aceh?  Mantan ketua Sanggar Seni Seulaweuet Imam Juwaini menyebutkan, lagu Aceh biasanya mengangkat nilai-nilai keacehan, mulai dari alat musiknya, syairnya. “Dengan nilai Aceh tanpa menampakkan musik modren ,“ ujar vokalis grup Saleum itu.Menurutnya, musik Aceh juga acap dipengaruhi unsur-unsur Melayu, India, dan Arab.”Ini juga menjadi unsur yang penting,” kata Imam.

Imam adalah salah seorang pendiri Sanggar Seni Seulaweuet. Sempat beberapa kali mengelilingi Aceh untuk mencari dan mengumpulkan data tentang kesenian Aceh. Menurut Imam, sebenarnya lagu-lagu Aceh telah ada dalam bentuk hikayat, dalail, meurukon dan juga likee (ada juga yang menulis dengan dike).

“Cuma sekarang ditambah alat musik lagi. Sekarang selain rapai dan seurune kalee ada alat musik modren lagi,” tambah personel Saleum Grup ini lagi.

Rapai datang bersama adanya terikat rafa’i. Ia menjadi media syiar agama Islam, sejak 1811. Sedangkan seurune kalee itu peninggalan pra-Islam yang dibawa dari India kemudian dimodifikasi lagi dan termasuk peninggalan kuno.

“Mudah-mudahan ke depannya musik dan lagu Aceh yang ciplakan itu berkurang. Kita pun memiliki indentitas sendiri yang juga harus dilestarikan, ya mudah-mudahan saja,” imbuh Imam. []

KHITHTHATI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.