Berbagai jenis suvenir giok yang dipajang saat pameran batu mulia di Pasar Atjeh, Banda Aceh. Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Puluhan rencong dipajang di lemari kaca. Senjata tradisional Aceh ukuran 10 hingga 40 centimeter memancarkan warna hijau, hitam, dan putih di bawah siraman cahaya lampu.

Berbeda dengan rencong yang selama ini beredar di pasaran, suvenir itu terbuat dari giok. Biasanya bahan untuk membuat rencong dari besi. Gagang dari tanduk kerbau. Sedangkan, giok diasah jadi mata cincin. Tetapi Fera Buanto, 25, dan tiga rekannya, khusus mengukir suvenir rencong dari giok.

Mereka juga mengukir suvenir giok berbagai bentuk seperti binatang, bunga, mobil-mobilan, tongkat komando, granat manggis, mata cincin wujud hewan, papan nama, liontin daun ganja, dan cincin. Semuanya dari giok, tanpa campuran bahan lain.

“Kami juga mengasah mata cincin seperti yang umum dijual, tapi itu hanya sambilan saja karena fokus usaha kami mengukir giok dengan aneka bentuk,” tutur Fera ketika ditemui acehkita.com di Banda Aceh, Rabu (11/32015).

Pria belum menikah yang akrab disapa Fera Kato dan tiga rekannya: Agus Didilianti, 31 ; Zulfikar, 33, dan Dedi, 30, berada di Banda Aceh untuk ikut pameran dan kontes kontes batu cincin nasional yang digelar sejak Jumat petang (6/3/2015), hingga Rabu dinihari.

Sebuah suvenir rencong 40 centimeter dari nefrite dibeli seorang turis Jepang senilai Rp5 juta. Gagang rencong berbentuk kupiah meukeutop dan di matanya ada ukiran kalimat, ‘Bismillah hir-Rahman nir-Rahimdalam bahasa Arab.

“Yang saya sangat berkesan ada seorang pengunjung dari Bandung yang memborong 15 biji liontin berbentuk daun ganja. Katanya, liontin ini oleh-oleh tak terlupakan dari Aceh,” tutur Agus, seraya menambahkan harga sebiji liontin itu Rp400 ribu.

Untuk membuat berbagai macam suvenir bukan sembarang giok, tetapi bahan super dari jenis black jade dan nefrite. Di kalangan pencinta batu mulia di Aceh, black jade biasa disebut “blek jek”. Harga jiok jenis lumayan murah dan banyak dijual di pinggir jalan.

Fera dan rekannya mulai menyukai batu mulia, sejak 2010. Mereka sering “berburu” giok bersama warga lain di kawasan pegunungan Nagan Raya. Tapi, empat sekawan itu mengaku tak tahu nama-nama jenis batu yang mereka koleksi.

“Paling orang-orang di kampung bilang batu hijau,” jelas Agus mengenang awal mula mereka ‘jatuh cinta’ kepada batu, sambil tertawa. “Kami baru tahu nama-nama batu seperti indocrase, nefrite, solar, black jade, dn lain-lain tahun 2013.”

Disebutkan bahwa waktu itu, harga nefrite super cuma Rp40.000 perkilogram. Kini, ketika booming batu mulia melanda Aceh, sejak setahun terakhir, nefrite super bisa mencapai Rp2 juta perkilogram.

“Dulu giok solar super hanya Rp250.000 perkilogram. Sekarang harganya mencapai puluhan juta sekilo,” ujar Fera. “Solar tak bisa dibuat suvenir karena kurang keras.”

Sebagian besar stok giok berbagai jenis yang mereka cari di gunung atau membelinya dari warga, disimpan. Sekitar delapan bulan lalu, saat demam batu melanda, mereka membuka “Kato Gemstone” di Suka Makmue, ibukota Nagan Raya.

“Karena lokasi gerai kami agak jauh, tak banyak orang yang datang membeli. Apalagi banyak warga membuka kios asah mata cincin di pusat kota sehingga usaha kami tak laris,” kata Fera.

Kemudian, empat sekawan itu berembuk untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Akhirnya, mereka memutuskan membuat aneka suvenir giok. Tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu mengasah giok dalam bentuk ukiran.

                                                                           ***

September 2013, mereka ikut pameran batu mulia di Tangerang, Banten. Di sini, Fera bertemu seorang ahli ukiran Jepara, Jawa Tengah. Fera membujuk ahli ukir itu untuk ikut ke Aceh, “tapi dia tak mau karena banyak pekerjaan di Tangerang.”

Fera diperkenalkan dengan Asep Setia Bangga, seorang pria asal Bandung, yang juga mahir mengukir. Fera mengaku sangat senang karena Asep bersedia diajak ke Aceh. Ketika dia pulang ke Aceh usai pameran, Asep ikut bersama mereka.

“Asep benar-benar orang seni. Semua jenis ukiran mampu dibuatnya secara manual dengan mesin grinder,” tutur Fera. “Kalau mengasah batu cincin bisa dua pekan baru selesai, tapi membuat ukiran bisa dikerjakan dua hari. Asep suka sekali tantangan. Semakin rumit ukiran, makin dia suka.”

Empat sekawan membayar Asep Rp10 juta perbulan. Mereka juga memperkerjakan empat warga setempat yang bertugas membersihkan dan mengkilatkan hasil ukiran Asep. Seiring makin lancarnya bisnis suvenir giok, Agus mulai bisa mengasah suvenir dedaunan.

Mereka juga bersedia mengukir giok milik orang lain. Banyak pelanggan yang minta dibuatkan aneka suvenir dalam jumlah besar. Biasanya, para pelanggan itu menjual ke Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia. Ongkos mengasah suvenir itu mulai Rp150.000 hingga Rp5 juta perbiji, tergantung kerumitan ukiran.

Sebelum giok diukir menjadi suvenir, bahannya disortir karena jika ada retak sedikit saja tidak bisa diasah. “Suvenir yang kami ukir dari bahan tunggal. Karena bahannya sudah disortir dari giok kualitas bagus, maka saat mengasah atau mengukir tidak ada yang patah,” kata Fera.

Dia memilih bisnis ukiran giok karena banyak orang suka seni. Apalagi harga dipatok terjangkau, mulai Rp100.000 hingga Rp10 juta. “Meski bahannya super, yang penting orang bisa beli karena orang kan ada keperluan lain juga. Kami ambil untung sedikit saja,” ujarnya, sambil menyebutkan sebulan, omset mereka mencapai Rp100 juta.

“Kami ingin booming batu ini bisa bertahan lama karena banyak orang menggantung hidup dari sini. Melalui giok ukiran, kita bisa terus berkreasi dengan model berbeda. Kalau hanya mengandalkan batu cincin, suatu saat orang akan bosan.”[]

NH

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.