NH/ACEHKITA.COM

KUALA LANGSA | ACEHKITA.COM – Marzuki Ramli, 45 tahun, dan 30 rekannya baru saja melabuh pukat langga. Boat berukuran 26 x 6 meter sedang mencari ikan di Selat Malaka, 35 mil dari garis pantai.

Jarum jam menunjukkan pukul 23:00 Wib, Kamis (14/5/2015). Kawanan ikan siap ditangkap. Tiba-tiba melintas nelayan pancing dari boat 12 x 3 meter. Ramli dan para nelayan Kuala Langsa diberitahu ada ratusan manusia mengapung di lautan.

Awalnya, mereka tak begitu yakin dengan informasi nelayan pancing. Tetapi, mereka diyakinkan bahwa kabar orang-orang sedang berenang di laut, yang perlu bantuan.

“Kalau kalian terlambat datang membantu, mereka akan mati. Kalian akan menyesal kalau tidak membantu karena mereka orang Islam,” kata Ramli mengutip pernyataan nelayan pancing.

Segera pukat ditarik kembali. Boat mereka pacu dengan kecepatan maksimal. Sejam kemudian, Ramli dan kawan-kawannya melihat pemandangan mengerikan di laut.

Ratusan manusia, termasuk perempuan dan anak-anak, mengapung dalam dinginnya air laut Selat Malaka. Ramli segera mengontak lima boat lain untuk datang ke tempat mereka, 40 mil dari garis pantai.

“Orang-orang berteriak minta tolong. Kami menarik orang-orang dalam laut ke boat kami,” katanya saat ditemui acehkita.com di Kuala Langsa, Jumat sore (15/5/2015).

Manusia perahu dalam boat jenis katrol yang biasa dipakai nelayan Thailand yang telah dua bulan lebih berada di laut secepatnya melompat ke boat nelayan Aceh. Mesin boat kayu itu yang mengangkut manusia perahu mati.

Ombak besar membuat proses evakuasi sedikit terkendala. Tapi, nelayan Aceh terus menyelamatkan muslim dari etnis Rohingya, Myanmar, dan Bangladesh. Jumlah mereka yang berhasil diselamatkan Marzuki dan lima boat lain hampir mencapai 700 orang.

Untuk memudahkan proses evakuasi, boat-boat nelayan Aceh menghidupkan lampu sorot ke arah ratusan manusia yang terapung berenang di tengah ganasnya ombak Selat Malaka.

“Dua jam kami baru selesai menarik semua orang-orang itu,” katanya. “Ada dua orang yang kami tinggalkan dalam boat itu karena mereka bilang suka memukul orang-orang yang kondisinya sangat menyedihkan.”

Rekan-rekannya segera memasak nasi. Seluruh makanan yang ada dalam boat diberi untuk imigran. Setelah nasi masak, mereka membagikan kepada para pencari suaka dan hendak mengadu nasib di Malaysia.

“Karena piring kurang, kami bagikan nasi dalam tangan mereka,” katanya. “Mereka makan sangat lahap.”

Semua beras yang Ramli dan kawan-kawannya bawa ludes. Semua dimasak. Stok air dalam boat pukat langka juga habis. Makanan ringan lain juga tak tersisa. Beberapa dari imigran itu juga makan gula pasir. Bayi dan anak diberikan air gula.

Menurut Marzuki, ketika diselamatkan, para imigran itu dalam kondisi sangat lemas. Ratusan imigran Myanmar dan Bangladesh itu menderita luka bekas bacokan senjata tajam. Sebagian hanya mengenakan celana pendek dan baju singlet. Kebanyakan tanpa pakaian dan hanya berkain sarung.

“Kami tidak tahu bagaimana nasib boat mereka karena kami tinggalkan saja di laut. Menurut pengakuan seorang imigran yang bisa bahasa Melayu, boat mereka sudah masuk air. Mungkin sudah tenggelam,” katanya. “Mungkin kalau kami tidak datang, mereka semua akan mati.”

Setelah seluruh imigran dinaikkan ke dalam enam boat nelayan, mereka membawa manusia perahu, yang rencananya hendak mengadu nasib ke Malaysia, ke Kuala Langsa. Perjalanan ditempuh sekitar 6 jam. Enam boat pukat langga yang membawa manusia perahu merapat di Kuala Langsa, pukul 5:00 Wib, Jumat kemarin.

Puluhan manusia perahu pingsan beberapa saat setelah mendarat di Kuala Langsa. Banyak dari mereka menderita luka-luka bekas pukulan dan bacokan senjata tajam. Puluhan orang sakit dievakuasi ke Rumah Sakit Langsa yang berjarak 6 kilometer dari pelabuhan.

Perempuan dan anak-anak tampak kelelahan. Puluhan bayi tak berhenti menangis. Beberapa ibu mengipas anaknya yang kepanasan. Hasina, seorang perempuan Muslim Rohingya berusaha menenangkan anaknya Si kecil tidur dalam pangkuannya.

Menurut data sementara, jumlah perempuan mencapai 74 orang dan 63 anak-anak, termasuk belasan bayi. Mereka adalah warga Muslim etnis Rohingya yang melarikan diri dari negaranya akibat tindakan kekerasan pasukan keamanan pemerintah.

Tim dokter segera mengobati warga yang terluka dan sakit. Petugas dari Dinas Sosial Kota Langsa mendirikan dapur umum untuk memasak nasi. Menjelang sore, imigran Myanmar dan Bangladesh menyantap nasi dengan mie instan.

Di tempat penampuangan Kuala Langsa, warga etnis Rohingya, Myanmar dipisahkan dari pencari kerja Bangladesh. Mereka ditempatkan dalam dua gudang yang ada di pelabuhan tersebut.

Pemisahan itu untuk menghindari terjadi perkelahian di antara para pengungsi. Menurut penuturan warga Rohingya dan Bangladesh, sebelum diselamatkan nelayan Aceh, mereka sempat berkelahi gara-gara berebut makanan.[]

NH

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.