Ekspedisi Indonesia Biru

MALAM itu baru malam kedua ekspedisi. Tanggalnya 2 Januari 2015. Kami sudah rebah sembari menatap langit-langit bangunan bambu beratap rumbia di rumah ladang milik keluarga Sapri, di luar kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Penerangan hanya menggunakan pelita dari batok kelapa diisi minyak goreng yang dicelupi sumbu. Di malam pekat seperti itu, satu dian cukup menerangi seisi ruangan yang kami gunakan makan bersama. Cahaya lain dibantu tungku yang masih sayup-sayup menyala. Energi digunakan seperlunya di sini.

Membandingkannya degan aneka lampu taman dan lampu hias, juga iklan luar ruang di kota-kota besar berdaya ribuan watt, sungguh terasa senjang. Tapi orang Baduy tak mendayu-dayu merengek meminta listrik. Sebab barang elektronik ditabukan adat.

Rumah orang Baduy Dalam bahkan pantang memakai paku, apalagi semen. Semua sudut bangunan menggunakan sistem pasak. Rumah ini dibangun di atas tanah yang konturnya miring, mengikuti huma di sekitarnya.

Lojor teu beuenang dipotong, pendek teu beunang disambung. Panjang tak boleh dipotong, pendek pantang disambung. Orang Baduy Dalam hidup dengan prinsip itu. Mereka sedapat mungkin tak mengubah apapun yang sudah diberikan alam.

Karena itu tiang rumah tak memiliki panjang yang sama. Di bagian yang tanahnya lebih tinggi, tiang kayunya lebih pendek. Begitu seterusnya. Mereka tak meratakan tanah. Bentuk rumah lah yang menyesuaikan. Sama seperti membuka ladang atau huma tanpa land clearing, sebab pepohonan produktif bernilai ekonomi dibiarkan tumbuh.

Prinsip ini juga diterapkan dalam pertanian yang tidak memakai sistem teras-iring. (baca: Bertani di Negeri 1001 Tabuhttp://geotimes.co.id/kebijakan/lingkungan/13371-bertani-di-negeri-1001-tabu.html)

Di luar rumah, suara angin menderu. Dingin dan gelap. Ditingkahi dengung calintung, kami merasa masuk ke dunia yang berbeda. Kami berharap tak tiba-tiba sakit perut dan ingin buang air besar. Sebab ‘toilet’ terdekat ada di aliran sungai di dasar lembah. Malam, dingin, hujan, tanah licin, serta pekat rimba, adalah semua alasan yang diperlukan untuk tidak berpikir tentang buang air besar.

Kami menghabiskan malam dengan mengobrol dan mencatat semua yang dapat diingat di atas selembar kertas bungkus rokok.

Di sungai itu pula, keesokan harinya, Sapri telah menyiapkan daun cica’ang sebagai pengganti sabun dan sampo. Bentuk daunnya mirip sirih, hanya lebih lebar dan mengkilat. Banyak tumbuh di pinggir sungai atau mata air. Cara memakainya cukup ditumbuk dengan batu atau diremas dengan tangan hingga keluar cairan hijau, lalu digosokkan ke badan atau rambut.

Tak ada busa yang keluar. Tapi setelah dibilas, badan terasa kesat dan rambut lembut.

“Rasanya seperti habis keramas,” kata Ucok sembari menyeringai. Padahal kami memang habis keramas. Bedanya, kali ini tak memakai produk Unilever atau Procter and Gamble. Untuk gosok gigi, keluarga Sapri menyediakan sabut kelapa, tanpa pasta atau ‘odol’.

Bila tak ada daun cica’ang, orang Baduy juga memakai honje untuk mandi atau keramas. Di tempat lain, honje (etlingera elatior) dikenal dengan berbagai nama. Di Jawa disebut bunga kecombrangdan di Malaysia disebut kantan. Bahasa Inggrisnya: torch ginger.

Bagian paling dikenal orang dari honje adalah bunganya, yang kerap digunakan sebagai bumbu penyedap atau untuk lalapan dan urap. Seperti halnya Baduy, masyarakat di tempat lain juga menganggap honje dapat mengusir bau badan. Bedanya, orang Baduy langsung menggunakannya sebagai sabun, yang lain mengonsumsinya untuk mengharap efeknya sebagai ‘deodoran alami’.

Dalam berbagai penelitian, honje diyakini mengandung senyawa antimikroba dan antioksidan untuk mencegah pertumbuhan jamur, bakteri, dan menetralkan racun.

Tanpa ketergantungan dengan produk industri seperti sabun hingga paku dan semen, orang Baduy Dalam memiliki konsep sendiri tentang uang dan kekayaan.

“Kaya itu bagi kami kalau lumbungnya banyak dan penuh beras,” kata Sapri serius. Ia sendiri memiliki empat lumbung yang bila penuh terisi, masing-masing dapat menampung hingga 500 ikat padi. Satu ikat, dapat dimasak untuk dua kali sajian bagi keluarga kecil berisi 4-5 orang.

Lahan Pertanian Komunal

Setelah mandi dan sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan ke perkampungan Cibeo. Hanya Sapri, Aldi, dan Komong yang ikut. Anggota keluarga yang lain tetap tinggal di rumah ladang.

Aldi sendiri sudah menikah dan membuka ladang baru. Setelah menikah, ia tinggal di rumah mertua karena belum mampu membangun rumah sendiri. Anaknya baru saja meninggal di usia dua bulan karena sakit. Istrinya adalah perempuan yang dipilihkan sang ayah.

“Di sini pernikahan dijodohkan orang tua. Ada juga yang memilih sendiri.Tapi kalau orang tua tidak setuju, biasanya rumah tangganya ada masalah,” terang Sapri yang tengah menjodohkan Arni dengan putra adiknya. Pernikahan akan dilangsungkan bulan Mei, usai panen.

“Silakan datang lagi untuk melihat bagaimana kami berpesta.”

Kami tersenyum dan mengangguk, sembari membayangkan bulan Mei sedang berada di suatu tempat antara Timor atau Papua.

“Membangun rumah sendiri butuh sedikitnya 10 juta rupiah. Padahal saya ingin punya rumah sendiri yang dekat sungai seperti ayah,” kata Aldi.

Selain untuk mengongkosi orang mencari kayu di hutan, uang itu juga untuk membeli anyaman rumbia untuk atap seharga 5.000 rupiah per lembar. Untuk rumah ukuran sedang seperti yang diimpikannya, Aldi harus membeli dari tetangga hingga 400 lembar. Bila rumahnya lebih besar, perlu 500 lembar.

Pengrajin atap rumbia yang telah terampil, dalam satu hari rata-rata bisa menyelesaikan 20 anyaman.

Untuk mewujudkan impiannya, Aldi menyambi menjual madu atau suvenir kepada para tamu. Di akhir pekan, banyak pelajar atau masyarakat umum yang datang, menginap, atau hanya jalan-jalan. Juga peziarah yang ‘ngalap berkah’. Tapi tulang punggung ekonomi Aldi  tetap di ladang yang kini digarapnya bersama istri.

Tanah di Baduy Dalam adalah milik komunal. Tak ada hak milik pribadi. Yang ada hanya hak kelola. Tanah diberikan kepada sebuah keluarga berdasarkan musyawarah adat seluas keperluan keluarga dan kekuatan fisik si penggarap. Bila ia meninggal, tanahnya tak otomatis diwariskan ke anak-anaknya. Musyawarah adat yang dipimpin Pu’un lah yang akan menentukan siapa pengelola selanjutnya.

Satu-satunya yang dapat diwariskan adalah pohon. Bila seseorang menanam pohon di ladang, dan ladangnya berpindah pengelolaan, pohonnya tetap menjadi hak milik dan dapat diwariskan. Sapri, misalnya, mendapat warisan 40 pohon durian yang tersebar di berbagai tempat, termasuk di pinggir jalan menuju kampung Cibeo. Sekali panen, ia bisa mendapatkan uang hingga 8 juta rupiah. Tapi itu baru terjadi setahun atau dua tahun sekali.

“Buah yang jatuh boleh diambil siapa saja. Tapi yang masih di pohon, adalah milik yang menanam.”

Para pemuda yang baru berumah tangga, mendapat lahan yang lebih jauh dari kampung. Sehingga lahan di dekat kampung rata-rata dikelola warga yang lebih senior karena pertimbangan jarak dan tenaga. Sistem sosial yang cukup adil.

Karena milik bersama, tak ada tanah yang dapat diperjual-belikan.

“Kalau tanah di Baduy Dalam bisa dijual, mungkin sekarang sudah habis,” tandas Sapri.

Lahan yang digarap warga kampung Cibeo kini ditaksir 5.000 hektare. Itulah porsi yang ditentukan adat. 10.000 hektare yang lain adalah kawasan hutan lindung, yang di antaranya terdapat hutan larangan. Disebut demikian karena tak semua orang boleh masuk. Di sanalah tersimpan kekayaan yang sesungguhnya: hutan primer dengan bio diversity. Bila sesuatu terjadi dengan kawasan di luar hutan larangan, kehidupan bisa dimulai lagi karena di sanalah tersimpan semua jenis induk tanaman.

Kita menyebutnya dengan plasma nutfah: organisme flora dan fauna yang masihmembawa sifat genetik asli. Hutan larangan adalah deposit box.

Setelah berjalan sekira dua jam dari ladang, akhirnya kami tiba di alun-alun kampung Cibeo. Jangan membayangkan alun-alun utara atau selatan seperti di Yogyakarta. Yang disebut alun-alun adalah lapangan terbuka di antara bangunan rumah di pusat kampung. Bila dipandang, deretan rumah kayu dan hamparan batu itu lebih mirip suasana perkampungan di Nias: kampung sisa era megalitikum.

Rumah Pu’un terletak di ujung alun-alun, seperti posisi kepala rumah tangga di ujung meja hidangan yang dikelilingi para anggotanya. Atau seperti posisi seorang CEO yang sedang memimpin rapat di kantoran.

Di pinggir lapangan, tiga orang terlihat berjaga sembari menganyam atap rumbia. Mereka sedang giliran ‘siskamling’ (sistem keamanan lingkungan). Di Baduy Dalam, ronda dilakukan siang hari karena sebagian besar penghuni rumah pergi ke ladang. Yang dijaga bukan harta benda dari bahaya kriminalitas, melainkan kebakaran.

Kebakaran kecil di sebuah rumah, bisa melenyapkan kampung dan seisinya dalam sekejap. Selain karena faktor bahan bangunan, jarak antar-rumah juga tak lebih dari lima meter. Ini alasan utama mengapa lumbung ditempatkan di luar kampung.

Hal lain adalah menjaga para tamu yang belum mengetahui aturan adat, agar tidak memasuki rumah Pu’un. Tak semua orang boleh menginjakkan kaki di sana. Bahkan termasuk warga Baduy sendiri, seperti Sapri.

“Para peziarah hanya diterima Pu’un di ladangnya. Tidak bisa di rumahnya,” terangnya sembari mengajak kami jalan-jalan keliling kampung. Ia memberi briefing do and don’t.

“Dengan aturan adat yang ketat dan aneka rupa, berapa banyak orang yang memutuskan menjadi Baduy Luar dalam setahun?” tanya kami penasaran. Apalagi, interaksi dengan dunia luar terus terjadi.

“Seumur saya (49 tahun), seingat saya ada 30 orang yang keluar.”

“Apakah tidak ada yang masuk?”

“Ada. Satu orang yang masuk jadi warga Baduy Dalam. Perempuan. Karena kawin dengan orang sini.”

Mereka yang memutuskan keluar dan menanggalkan pakain putih berganti hitam (tanda tak lagi suci) rata-rata didorong oleh motif perkawinan atau ekonomi. Salah satunya, Mursid (21 tahun), sulung dari tiga bersaudara anak salah satu tetua adat Baduy Dalam dari kampung Cibeo.

Malam itu kami menginap di rumah utama Sapri, dan terus menghabiskan malam sambil mengobrol. Kegiatan mencatat terus kami lakukan.

“Bolehkah kami menyalahan handphone untuk mencatat ini semua?” tanya saya iseng-iseng berhadiah.

“Silakan. Asal tidak untuk memotret. Yang tidak boleh memakai benda elektronik di sini kan kami.”

Seperti tak percaya, saya menatap matanya lebih dalam. Ia mengangguk.

Kami tak membuang waktu. Dengan baterai yang tersisa, kami menyalin semua catatan di kertas rokok ke format digital. Benar-benar menyalin. Bukan memotret kertas catatannya.

Keesokan paginya, setelah mandi dan sarapan, kami berkemas untuk melanjutkan perjalanan melihat kampung Baduy Luar, melintasi Cibungur, Cicakal, Gajebo, dan Balimbing. Kami ingin menginap di salah satu kampung Baduy Luar dan kami putuskan di Cicakal.

Jadilah malam kelima kami menginap di kampung Cicakal, dan malam keenam menginap di kampung Campaka. Di kedua kampung inilah, kami ‘berbuka puasa kamera’.

Di Campaka, kami menginap di rumah Mursid untuk merekam kehidupannya dari membuka warung kelontong sampai memproduksi gula aren. Ada sekitar 40 pohon milik Mursid yang kini menjadi aset produktif. Inilah aktivitas ekonomi yang menjadi salah satu alasan mengapa ia meninggalkan adat yang melarang produksi gula aren.

“Saya juga ingin lebih bebas berdagang. Kebetulan saya juga menikah dengan orang Baduy Luar,” jelas Mursid.

Sapri dan Komong ikut menginap di rumah Mursid. Malam itu, kami bertanya kepada Sapri apa yang dibayangkannya terhadap Komong 10-20 tahun lagi.

“Apakah Komong tidak boleh sekolah formal?”

“Sekolah bagi kami adalah di ladang. Sekolah berladang, agar ia bisa hidup berkecukupan.”

“Jadi Pak Sapri punya konsep sendiri tentang apa itu anak yang pintar?”

“Tidak perlu punya anak pintar. Yang penting mengerti dan mengutamakan persaudaraan. Kalau orang pintar, biasanya cenderung menipu,” katanya dalam bahasa Sunda-Banten. Ia tak sedang bercanda. Mukanya serius diterangi temaram dian di beranda rumah Mursid.

“Komong tidak ingin sekolah?” pancing kami.

“Tidak. Di sini saja dengan ayah,” jawabnya.

“Tidak ingin ikut ke Jakarta dan menonton televisi sepuasnya?” pancing kami lagi.

Anak sekecil itu menggeleng mantap. Tanpa mencari-cari mata ayahnya.

Malam itu kami tidur ditemani gambaran-gambaran tentang pertahanan sosial dan budaya orang-orang Baduy Dalam. Ini bukan romantisme dan dramatisasi. Mereka juga tak kuasa menolak interaksi dan ‘modernisasi’. Setidaknya Aldi menyimpan handphone di rumah temannya untuk menyiasati aturan adat. Tapi mereka juga tak tergoda naik mobil menuju gedung bioskop saat tetirah ke Jakarta.

Mereka tak menjual beras hasil ladang sendiri, meski memasukkan mi instan berbahan gandum impor dalam daftar bahan pokok utama selain ikan asin.

***

Ayam jantan bersahutan membangunkan warga kampung Campaka yang hanya terdiri dari 10 rumah. Kami beranjak dan menghidupkan kamera untuk merekam aktivitas pagi. Semalam, kami telah puas merekam Mursid mengaduk adonan gula aren hingga jam 11 malam.

Tanpa sarapan, kami berpamitan dengan keluarga muda itu. Rombongan kami kini hanya lima orang: saya, Ucok, Sapri, Aldi, dan Komong yang setia menemani sejak hari pertama.

Di pintu keluar kampung Baduy menuju terminal Ciboleger, Komong berjalan santai sambil melihat puluhan anak berseragam putih merah, bermain di halaman sekolah. Kamera kami arahkan ke Komong, mencari-cari ekspresi iri atau ‘ingin bersekolah’. Kami membayangkan ia akan berhenti sejenak atau berdiri sembari memegang pagar sekolah, menatap anak-anak seusianya yang riang gembira.

Gambaran yang mendayu-dayu untuk ‘ending film dokumenter’ itu tak kami dapatkan. Tentu kami tak kecewa. Lebih banyak perasaan lega mengingat sistem pendidikan formal tak selalu pararel dengan peradaban dan kemakmuran. Apalagi budi pekerti dan solidaritas sosial.

Komong tetap berjalan dengan wajah datar mengikuti langkah kaki ayahnya.

Di rumah Aman siang itu, kami berpamitan. Sapri memberikan kenang-kenangan sebungkus gula aren. Tak lama, Mursid turun dari kampungnya, menyusul memberikan buah tangan yang sama. Kami terharu. Begitu pula dengan keluarga Aman dan Ema. Jadilah kami mengantongi enam bungkus gula aren.

“Ini bisa memberi kekuatan,” kata mereka tanpa perlu menyebut-nyebut kandungan kalori dan energi.

Setelah selfie bersama, kami pun berpisah. Saya membungkuk dan mencium tangan Sapri sembari menahan haru. Ia sedikit tertegun.

Ibu pernah berpesan agar dalam perpisahan seperti itu, tak perlu lagi menengok ke belakang. Itulah yang kami lakukan ketika mesin motor telah dihidupkan.

Perjalanan masih panjang. Akan banyak momen-momen perpisahan yang mengharukan seperti ini. Masih 360 hari lagi.

Dipayungi mendung musim penghujan Januari, kami memacu motor menuju ‘sekolah’ selanjutnya: Kasepuhan Ciptagelar. Negeri para leluhur. [bersambung]

DANDHY D. LAKSONO (@dandhy_laksono) | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.