Tuesday, April 30, 2024
spot_img

Kampung Wisata dengan Rumoh Aceh

HAMPIR seratusan warga berkumpul di meunasah (surau) Kampung Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Bermodalkan parang dan cangkul, mereka membagi kelompok, menyebar ke segenap penjuru kampung.

Pagi itu, Sabtu 13 Oktober 2012, mereka kerja bakti membersihkan kampung, dari halaman rumah sampai menebang cabang-cabang pohon yang mengganggu keindahan. “Ini gotong-royong rutin sebulan sekali di kampung kami,” kata Kepala Desa, Fauzi Yunus kepada Tempo.

Desa itu memang asri, tak ada ternak berkeliaran. Sepanjang jalannya tak ditemui sampah berserak. Istimewa lagi, kampung itulah yang menjadi penjaga Rumoh Aceh (rumah adat Aceh) yang kian sulit ditemui pada kampung-kampung lain di Bumi Serambi. Kearifan lokal, menjaga Rumoh Aceh itulah yang kemudian menjadikan wilayah itu terpilih sebagai kampung wisata Aceh.

Aceh memang sedang menyongsong tahun kunjungan wisata 2013. Desa itu dipilih setelah melewati berbagai seleksi yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh. Kepala dinas instansi itu, Jasman J Ma’ruf mengatakan pemilihan meliputi empat kriteria dasar yakni asli, lokal, unik dan indah. “Lubuk Sukon terpilih untuk menarik arus kunjungan wisata dari dalam negeri dan luar negeri. Wisatawan dapat melihat miniatur berbagai sisi kehidupan Aceh di sana,” katanya.

Warga desa menyambut baik gelar kampung wisata. Kepala Desa Fauzi menuturkan semua masyarakat senang dan semuanya telah siap dengan penuh kesadaran, menjaga warisan leluhur. “Tapi gotong-royong yang adik saksikan hari ini, tak ada hubungannya dengan terpilihnya sebagai kampung wisata Aceh, itu rutin warga lakukan,” katanya.

Nasruddin, seorang warga mengaku senang dengan keberhasilan Lubuk Sukon terpilih sebagai tujuan wisata Aceh. “Makin banyak orang berkunjung, semakin banga dan meningkatkan kesadaran warga dalam menjaga tradisi leluhurnya,” ujarnya.

Menjaga keaslian Rumoh Aceh sejak puluhan tahun adalah andalan Lubuk Sukon. Rumah almarhum Cek Mat Rahmani misalnya, tokoh desa setempat yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk beberapa negara di timur tengah, era 1970-an.

Rumah panggungnya masih asli sampai kini. Ukiran kayunya menarik dengan atap daun rumbia. Tiang-tiang sebesar batang kelapa menjadi penyangga, menyisakan ruang setinggi dua meter di bawahnya, yang telah dimodifikasi multiguna.

Memang tak ada lagi jingki (alat penumbuk padi), sebagai bagian tak terpisahkan dari Rumoh Aceh yang kerap menghiasi bagian bawahnya, tempo dulu. Gantinya, ada dua set kursi untuk tamu dipajang di bawah dengan lantai yang telah disemen, tak lagi tanah. Rapi tertata, tanpa cela. Halamannya luas, berhias bunga-bunga.

Rumah itu kini rumah itu dijaga dan dirawat baik oleh anak dan cucunya. Naik ke rumah panggung itu, rapi tertata perabotan. Ada serambi depan, tengah dan belakang. Pada bagian depan, foto-foto almarhum terpajang, ada juga dalam baju tentara. “Pangkat terakhirnya Letnan Kolonel sebelum menjadi duta besar,” sebut Fauzi.

Pada bagian belakang Rumoh Aceh itu, ada rumah tambahan yang berlantai rendah, seperti lazimnya rumah kini. Menempel pada bangunan utama, berfungsi sebagai dapur dan beberapa kamar tidur.

Fauzi bercerita. Cek Mat Rahmani adalah pelopor menjaga kearifan lokal di sana. Rumoh-rumoh Aceh banyak yang masih tegak di Kemukiman Lubuk yang terdiri dari lima desa; Lubuk Sukon, Lubuk Gapoy, Dham Pulo, Dham Ceukuk dan Pasi Lubuk.

Cek Mat Rahmani sendiri seperjuangan dengan Daud Beureueh, ulama besar dan mantan gubernur Aceh yang pernah memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953. Cek Mat juga pernah memimpin desa itu pada kurun 1941-1943, masa pendudukan Jepang.

Amanah menjaga tradisi Rumoh Aceh kental di Lubuk. Awalnya, kata Fauzi, model rumah panggung adalah sebuah pilihan, maklum wilayah itu rawan banjir. Nama daerah itu awalnya Lubok, yang artinya wilayah yang rendah. Kemudian nama itu disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, jadilah Lubuk.

Kerap banjir, karena lokasinya bersisian dengan Krueng Aceh yang saban tahun mengirimkan bencana. “Kalau banjir, air mengenani sampai satu meter. Dengan rumah Aceh, semuanya aman,” ujar Fauzi.

Tapi itu cerita dulu, sebelum proyek Krueng Aceh dikerjakan pada tahun 1990, dalam masa gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Proyek itu melebarkan sungai dan membagi alur, satu bermuara ke Lampulo, Banda Aceh dan satunya lagi ke Alue Naga. Manfaatnya untuk meminimalkan banjir, bahkan di Kota Banda Aceh. “Setelah itu, wilayah Lubuk aman, tidak air meluap dari sungai.”

Perlahan, warga mulai berani membangun rumah rendah. Tapi umumnya tak merusak rumah lama, hanya menambah di bagian belakang atau samping. Mereka komitmen menjaga tradisi dulu, merawat Rumoh Aceh.

*** Semangat menjaga kearifan lokal di Lubuk Sukun, kisah Fauzi, juga karena dorongan para tokoh besar yang berasal dari kampung itu. Cek Mat Rahmani misalnya, semasa tinggal di Jakarta dan luar negeri, kerap meluangkan waktu menjenguk tanah lahirnya. Selalu dia berpesan, jaga rumah dan budaya.

Amanah juga disampaikan oleh A. Muzakkir Walad, Gubernur Aceh pada kurun 1967 – 1978. Pejabat itu juga berasal dari desa Lubuk Sukon. Sampai sekarang rumahnya yang khas Aceh masih dirawat anak cucunya.

Kepala desa itu dan warga di sana masih ingat pesan Muzakkir Walad, semasa hidupnya, yang kemudian turun-temurun diceritakan ke generasi selanjutnya. “Himbauannya begini, kalau bisa dipelihara Rumoh Aceh di tempat kita,” kata Fauzi menirukan.

Bahkan, semasa menjadi gubernur Muzakkir Walad selalu saban Minggu pulang ke desa itu, memberi semangat kepada warga menjaga rumah dan kebersihan desa. Hasilnya, Desa Lubuk Sukon pernah berjuluk kampung teladan se-Provinsi Aceh pada tahun 1971 dan 1974.

Semangat menjaga rumah, juga diakui oleh Nurmala, 59 tahun, warga setempat. Menurutnya, hingga kini dia masih merawat Rumoh Aceh peninggalan orang tuanya. “Awalnya memang karena kebutuhan, karena daerah kami sering banjir, tapi kemudian sudah sayang kalau dirusak dan kami memeliharanya.”

Nurmala mengatakan, menjaga Rumoh Aceh juga menjaga budaya sekaligus warisan orang tua. Karena itu pula, saat dia membangun rumah permanen untuk keluarganya, Rumoh Aceh peninggalan ayahnya tak dirusak. Rumah rendah gaya sekarang, dibangunnya di sisi rumah panggung itu.

Nasruddin, warga yang pensiunan Dinas Perhubungan Aceh juga menjaga Rumoh Aceh peninggalan orang tuanya. “Ada perubahan memang, atapnya tidak lagi daun rumbia tapi diganti seng. Ini karena bahan baku daun rumbia sulit didapat.”

Ada juga warga yang membangun baru Rumoh Aceh, seperti yang dilakukan oleh tokoh desa setempat, Syamaun, 58 tahun. Dia membangun kembali Rumoh Aceh dengan membeli perangkat rumah itu dari tempat lain. Jadilah rumah baru layaknya rumah masa lalu. Bagian belakang ditambah dengan rumah rendah.

Syamaun mengatakan, warga di desanya punya kekerabatan sosial yang tetap terjaga. Banyak orang hebat dari sana. Ibaratnya, yang belum ada adalah presiden yang berasal dari sana, lainnya sudah, dari pengawai negeri biasa sampai gubernur dan duta besar. “Mereka tetap memperhatikan desa, kendati tidak tinggal di desa,” ujarnya.

Tak Rumoh Aceh saja, kearifan lokal yang berlaku di sana. Desa itu masih kental dengan kegiatan adatnya yang lain, semisal pengajian, dalail khairat, khanduri blang, khanduri babah jurong, khanduri maulid, musyawarah desa sampai kepada gotong-royong saban minggu. “Ibaratnya, di sini kami besar dalam gotong-royong,” ujar Syamaun bertamsil.

Karenanya, desa selalu bersih terjaga. Bahkan tak ada kotoron ternak yang terlihat di jalan. Ada aturan yang tak terlulis soal ini. Bila ditemukan kotoron lembu, kata Syamuan, maka binatang peliharaan itu akan ditangkap warga dan dipajang di balai desa. Sampai kemudian, pemiliknya mengambil dengan perjanjian akan menjaga, tak lagi melepasnya sembarangan.

Dari data desa yang disodorkan Fauzi, total Rumoh Aceh yang dipertahankan warga di sana ada 60 rumah. Jumlah penduduk di sana sekitar 920 jiwa dengan 220 kepala keluarga. Setengah dari angkatan kerja di sana berprofesi sebagai pegawai negeri, selebihnya pedagang dan petani.

Luas Lubuk Sukon sendiri adalah 98 hektar. Sebesar 12,8 hektar di antaranya dipakai sebagai pemukiman warga. Lebihnya adalah area pinggir Krueng Aceh, lahan pertanian, perkebunan dan tanah kosong.

Jelang tahun kunjungan wisata Aceh 2013, Lubuk Sukon telah siap menyuguhkan nuansa ke-Acehan. Menjenguk kampung itu, adalah melihat Aceh dalam bingkai silam. Perhatian serius dari pemerintah, kata Fauzi, akan membangkitkan semangat warganya dalam menjaga warisan Rumah Adat Aceh. Sehingga tak perlu khawatir, Aceh akan kehilangan budayanya dan rumahnya yang telah diwariskan para indatu sejak lama. “Paling penting, masih ada warisan budaya dan cerita nyata bagi anak cucu.” [tempo.co | adi warsidi]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU