BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(Kontras) bersama International Center for Transitional Justice (ICTJ) menerbitkan laporan pelanggaran dan penangangan kasus hak asasi manusia di Indonesia. Dalam laporan itu, Kontras dan ICTJ menyebutkan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM menemui jalan buntu.
“Selama ini kita selalu mengalami kebuntuan dalam proses penegakan keadilan jika menyangkut masalah pelanggaran HAM,” kata Koordinator Eksekutif Nasional KontraS Haris Azhar di Banda Aceh, Kamis (14/7).
Laporan penanganan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia itu dipublikasikan dalam buku “Keluar Jalur: Keadilan Transisi di Indonesia setelah Jatuhnya Soeharto”. Haris Azhar menyebutkan, pelanggaran HAM pada masa Soeharto paling dominan terjadi di Aceh dan Papua.
Sejumlah kasus yang mendapat sorotan tajam karena kemandekan penanganan yaitu, kasus pembantaian masyarakat sipil yang terjadi pada kurun waktu 1965-1966. Ini dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September atau Partai Komunis Indonesia. Pada kurun waktu 1983-1985 ada Operasi Penembak Misterius (Petrus). Kemudian kasus Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), penyerangan kantor PDI atau Kuda Tuli (1996), penculikan dan penghilangan paksa aktivis mahasiswa menjelang kejatuhan Soeharto (1997-1998).
“Beberapa kasus di Aceh dan Papua juga hingga kini belum ada kejelasan penyelesaiannya,” kata Haris. Kasus pelanggaran HAM terjadi di Aceh pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah (1989-1998), serta Darurat Militer dan Darurat Sipil (Mei 2003-2005).
Haris Azhar menyebutkan, penerbitan buku kompilasi laporan pelanggaran dan penanganan asus pelanggaran HAM ini diharapkan mampu mendorong terciptanya proses penegakan keadilan HAM di Indonesia. KontraS dan ICTJ juga mendorong dibentuknya pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh, untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak masa DOM hingga Darurat Militer dan Sipil.
Sementara itu, Usman Hamid dari ICTJ Indonesia mengatakan, buku ini penting dalam peningkatan wawasan dan pemahaman masyarakat dalam proses penegakan keadilan transisi. Dalam konteks Aceh, kata dia diharapkan peluang dibentuknya pengadilan KKR di Aceh semakin besar.
“Aceh saat ini mengalami keadilan transisi, sangat diharapakan mampu mendorong penegakan keadilan terutama bagi korban konflik,” katanya.
Buku yang terdiri atas 114 halaman ini juga mengisahkan bagaimana proses penegakan hukum dalam menegakkan keadilan pelanggaran HAM di Indonesia yang selalu menemukan jalan buntu. []