Tuesday, April 30, 2024
spot_img

Wali Nanggroe di Simpang Jalan.

Magrib hampir menjelang saat telepon genggam Mukhlis Mukhtar berdering, Rabu, 22 Oktober lalu. Di ujung telepon, Yahya Muaz, sekretaris Partai Aceh, mengabarkan berita gembira, ”Wali bersedia bertemu.” Yang dimaksud wali adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro yang di kalangan aktifis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dinobatkan sebagai wali nanggroe.

Mukhlis girang tak kepalang. Sebab, dua jam sebelumnya, Ibrahim Syamsuddin, juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) — organisasi yang memayungi bekas tentara GAM — mengatakan, Hasan Tiro tak punya waktu untuk membahas qanun. Bahkan, kepada ACEHKINI yang menghubunginya sebelum pertemuan itu, dengan nada murung Mukhlis berucap, ”pintu untuk kami sudah tertutup.” Padahal, sebelumnya Ibrahim berjanji akan mengusahakan. Mukhlis pun patah arang.

September lalu, jauh-jauh terbang ke Swedia, dia dan timnya tak berhasil menemui Hasan Tiro. Saat Hasan Tiro pulang ke Aceh, eh, nasib apes belum beranjak. Mereka gagal bertemu deklarator Aceh merdeka itu. Padahal, itu adalah hari ke-11 Hasan Tiro berada di Aceh.

Sebenarnya, aksi lobi sudah dilancarkan jauh-jauh hari. Selain lewat jalur GAM, beberapa hari sebelum Hasan Tiro tiba di Aceh, Mukhlis mengunjungi Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar di kediamannya. Tujuannya, ya itu tadi, merintis jalan supaya menggenggam ‘tiket’ bertemu Hasan Tiro. “Apalagi eksekutif juga punya kepentingan di sini,” ujar Mukhlis. Nazar berjanji akan berusaha memfasilitasi.

Ketika pintu dibuka kembali oleh Yahya Muaz, kesempatan itu tak disia-siakan. Kabar itu ibarat tiupan angin sejuk. Bersama sejumlah koleganya, ketua tim penyusun qanun wali nanggroe itu meluncur ke sebuah rumah di kawasan Geuceu, Banda Aceh, tempat Hasan Tiro diinapkan sepulang melawat ke pesisir timur Aceh. Ketua DPR Aceh, Sayed Fuad Zakaria ikut serta. Sepanjang jalan, Mukhlis telah membayangkan akan berdiskusi dengan Hasan Tiro. Tiga pertanyaan sudah dikantongi, siap diajukan pada ‘sang wali.’

Singkat kata, rombongan tiba di rumah Hasan Tiro diinapkan. Di sana, telah berkumpul banyak orang. Sebagian besar adalah pengurus Partai Aceh. Orang-orang silih berganti menyalami atau sekedar foto bersama Hasan Tiro.

Giliran rombongan dewan akhirnya datang juga. Satu persatu, mereka menyalami Hasan Tiro. Mukhlis Muhktar sempat berbisik ke telinga pria 83 tahun, yang telah menjadi warga negara Swedia itu, dalam bahasa Aceh, ”Wali, kamoe dari parlemen Aceh, meuneuk musyawarah.”

Menurut Mukhlis, sambil tersenyum, Hasan Tiro menjawab, ”jeuet, jeuet, bah seuleusoe nyoe dilee.” Maksudnya, diskusi bisa dilakukan kalau sudah ada waktu luang. Klop, janji temu sudah dikantongi, langsung dari mulut Hasan Tiro. Pertemuan itu tak lebih dari lima menit. Sembari menunggu waktu luang, rombongan dewan membunuh waktu dengan ngopi bareng di sebuah kios kecil, tak jauh dari rumah itu. Oh ya, sebelum pamitan, mereka tak lupa jepret sana, jepret sini: foto bareng sang calon wali nanggroe pertama.

Lama dinanti, kabar itu datang juga. Namun, kali ini bukan lagi angin sejuk, melainkan, ”mohon maaf, wali tak ada waktu.” Mukhlis Mukhtar tak lupa menyeruput kopi terakhir sebelum akhirnya angkat kaki dari warung kecil itu. Walhasil, pertanyaan yang sudah dipersiapkan, terpaksa disimpan rapat-rapat.

Padahal dia optimis, jika tiga pertanyaan itu terjawab, lempanglah jalan merumuskan qanun. Simaklah pertanyaan yang disiapkan. Pertama, apa pendapat Hasan Tiro soal permintaan GAM agar kedudukan wali nanggroe di atas gubernur dan berwenang memberhentikan gubernur serta membubarkan parlemen. Kedua, bersediakah Hasan Tiro menjadi wali nanggroe pertama. Terakhir, kapan waktu paling tepat menyelesaikan qanun itu: sekarang, atau menunggu setelah pemilu 2009.

“Kami ingin mendengar langsung jawaban dari mulut beliau,” ujar Mukhlis. Sebab, kata dia, secara etika politik tak elok menunjuk seseorang menduduki sebuah jabatan, tanpa menanyai kesediaan yang bersangkutan. “Jika itu tidak terjawab, kami tak mungkin bisa menuntaskan qanun,” ujarnya.

Tiga pertanyaan itu berdasarkan tuntutan pihak GAM. Namun, Mukhlis tampaknya ragu keinginan GAM adalah representasi keinginan Hasan Tiro.

Juru bicara KPA Ibrahim Syamsuddin pernah berkata, pihaknya mengharapkan qanun wali nanggroe mengadopsi sistem yang ada di negeri jiran Malaysia, yakni Yang Dipertuan Negeri – yang bisa memposisikan diri sebagai pemersatu berbagai kepentingan etnis. “Kalau sultan, kan tak cocok lagi kalau kita buat di Aceh, karena sudah lama tidak ada sultan. Makanya kita sarankan menganut seperti Yang Dipertuan Negeri,” ujar Ibrahim KBS. (baca ACEHKINI, edisi Oktober 2008).

Permintaan GAM itu menggelitik Mukhlis dan kawan-kawannya di gedung parlemen. Baginya, itu tak masuk akal karena tidak sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Mukhlis mencontohkan soal kedudukan dan kewenangan. Dalam MoU, kata dia, pemerintah Indonesia dan GAM telah bersepakat adanya pemisahan eksekutif dan legislatif sebagai wujud pembagian kekuasaan. ”Kok sekarang diminta wali bisa membubarkan parlemen. Itu tidak masuk akal. Bagaimana wali bisa memecat gubernur, sementara peresiden saja tidak berwenang,” ujar Mukhlis.

Soal wali nanggroe, dalam MoU Helsinki disebut pada poin 1.1.7. Bunyinya, ”Lembaga wali nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” Tidak ada penjelasan lebih detil tentang keberadaan wali nanggroe, selain hanya satu kalimat itu.

Informasi lebih detil terdapat di UUPA pasal 1 ayat 17 yang berbunyi, ”Lembaga wali nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.” Dalam UUPA, bab XII yang berisi pasal 96 dan 97, khusus mengupas tentang lembaga wali nanggroe.

Pasal 96 berbunyi, ”(1) Lembaga wali nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. (2) Lembaga wali nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. (3) Lembaga wali nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang wali nanggroe yang bersifat personal dan independen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut wali nanggroe diatur dengan qanun Aceh.”

Sementara pasal 97 bunyinya, “Wali nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tatacaranya diatur dengan qanun Aceh.”

Dalam keterangan sebelumnya, Ibrahim KBS juga menyatakan, bahwa pihak KPA ingin agar qanun wali nanggroe dibahas setelah parlemen baru terbentuk. Kenapa harus menunggu usai Pemilu 2009? “Masa kerja DPR sekarang hanya tinggal sebentar lagi,” sambung Ibrahim KBS. Begitukah?

Sumber ACEHKINI di parlemen punya pendapat lain. Kata dia, itu lebih kepada hitung-hitungan politis. “Pada 2009, diperkirakan anggota GAM yang naik lewat Partai Aceh akan mendominasi parlemen. Jadi mereka punya kewenangan untuk menentukan hitam putihnya qanun itu,” ujar sumber yang menolak namanya ditulis itu.

Wakil Gubernur Muhammad Nazar tak sepakat jika penyelesaian qanun wali nanggroe harus menunggu usai pemilu. Sebab, secara legal sistem, eksekutif dan legislatif harus menindaklanjuti qanun tersebut. ”Mau tidak mau eksekutif harus menindaklanjuti. Masalah ada kontroversi atau tidak itu soal lain,” ujar Nazar.

Nazar mengaku sudah memberi masukan kepada GAM lewat juru bicara KPA, Ibrahim KBS. Berkali-kali ia coba berkomunikasi dengan Malik Mahmud lewat telepon genggam, namun tak nyambung. Menurut Nazar, Hasan Tiro perlu dipertemukan dengan DPRA.

Apalagi, kata dia, istilah wali nanggroe cuma dikenal di kalangan GAM. Itu sebabnya, perlu konfirmasi eksekutif dan legislatif Aceh secara langsung. ”Memang perlu bertemu, meskipun wali tidak bisa merincikan langsung tapi bisa diwakili oleh orang dekat wali,” ujarnya kepada ACEHKINI.

Nazar setuju DPR jalan terus meski tak bertemu Hasan Tiro. ”Saya kira pimpinan GAM mengerti dan tidak memperlakukan wali secara eksklusif karena akan mengecilkan peran wali sendiri. Itu tidak mantap, ” ujarnya.

Nazar sendiri sempat merasakan sulitnya mendekati Hasan Tiro. Di bandara Sultan Iskandar Muda, saat Hasan Tiro tiba di Aceh, Nazar sempat dihadang pengawal. Padahal, dari tangga pesawat, Gubernur Irwandi Yusuf, yang ikut rombongan Hasan Tiro, sudah melambaikan tangannya agar Nazar diizinkan merapat. Namun, teriakan Irwandi tak digubris. Walhasil, wakil gubernur hanya bisa menatap dari jarak empat meter.

Ditanya soal ini, Nazar memilih bungkam. Namun, sumber ACEHKINI di Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) menyebut, insiden itu kemungkinan terkait ”luka lama” saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Desember 2006 lalu. Pasangan Irwandi-Nazar dianggap mbalelo karena bersaing dengan pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah yang mendapat restu pimpinan GAM Swedia.

Saat dikonfirmasi, Nazar berujar, ”Itu biasa dalam kompetisi demokrasi. Aroma kalah menang sudah tidak perlu lagi. Sekarang perlu disusun kesadaran bersama untuk mengejar target bersama, untuk melakukan perubahan fundamental di Aceh,” ujar Ketua Majelis Tinggi Partai SIRA itu.

***

Bagi Mukhlis Mukhtar, qanun wali nanggroe itu harus secepatnya diselesaikan. Sebab, mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh, qanun itu harusnya selesai paling telat dua tahun, sejak undang-undang itu disahkan. Dari sisi politik, kata dia, Aceh saat ini butuh tokoh sentral yang bisa mempersatukan semua elemen, dan tidak hanya mementingkan kelompok sendiri. ”Kalau ego sektoral ini semakin besar, ke depan kita akan berkelahi sesama kita lagi,” ujar Mukhlis.

Menurut dia, pihaknya tetap menghormati MoU Helsinki untuk menjadikan Hasan Tiro sebagai wali nanggroe pertama. ”Kami tunduk dan menghormati itu, tapi kalau GAM tidak menghormati kami mau bagaimana lagi,” ujarnya.

Meski Hasan Tiro masih warga negara Swedia, bukan batu sandungan untuk menjadi wali nanggroe. Sebab, kata Mukhlis, MoU Helsinki memberi ruang pada Hasan Tiro. “Tapi, bagaimana kita bisa menjadikan beliau wali nanggroe yang pertama sedangkan kita tidak pernah mendengar persetujuan beliau,” ujarnya.

Ruang yang dimaksud Mukhlis adalah poin 3.2.2 MoU Helsinki. Bunyinya, ”Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.”

Pemerhati hukum Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail membenarkan langkah yang ditempuh DPR Aceh. Dia bahkan mendesak tim panitia khusus DPRA menyelesaikan qanun wali nanggroe. Menurutnya, tak bertemu Hasan Tiro tidak bisa dijadikan alasan menunda penyelesaian qanun. ”Kalau sudah diusahakan dengan berbagai jalan, tapi tidak bertemu, ya harus diselesaikan,” ujar Dekan Fakultas Hukum, Unsyiah, ini.

Apalagi, kata dia, secara hukum, kewenangan wali nanggroe seperti dituntut pihak GAM tidak mungkin diatur dalam qanun. Sebab, kata dia, UUPA hanya menyebut wali nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat, bukan lembaga politik. ”Kalau keinginan itu mau diwujudkan, harus mengajukan revisi UU Nomor 11 Tahun 2006,” ujarnya.

Mawardi meminta, meski DPRA harus menampung aspirasi, tapi jangan dikendalikan orang luar. ”DPR harus punya keputusan sendiri. Dengan kata lain, mendengar aspirasi, tapi tidak dikendalikan,” ujarnya. Itu sebabnya, Mawardi meminta DPRA tak menunda pembahasan qanun wali nanggroe.

Kalangan aktivis masyarakat sipil pun sepakat, DPR Aceh harus segera merampungkan qanun wali nanggroe. TAF Haikal, mantan direktur eksekutif Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh khawatir, jika dibahas oleh parlemen hasil pemilihan umum 2009, maka qanun itu akan kehilangan rohnya. Apalagi, qanun wali nanggroe sudah masuk dalam program legislasi Aceh (Prolega) 2008.

”Anggota dewan hari ini adalah mereka yang terlibat langsung dalam penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Jangan sampai qanun itu kehilangan rohnya,” ujar calon anggota legislatif yang membidik Senayan dalam pemilu tahun depan ini.

Menurut Haikal, qanun itu sarat nuansa politis karena dilahirkan untuk mengakomodir komponen yang sudah turun gunung dan sepakat menerima perjanjian damai. Itu sebabnya, dia menilai, qanun wali nanggroe adalah salah satu cara menjaga perdamaian Aceh.

Terkait kegundahan DPR Aceh karena tak bertemu Hasan Tiro, Haikal menyarankan parlemen untuk jalan terus. ”Yang penting komunikasi telah dibangun. Kalau ada pihak yang menutup diri, secara prosedur formal, DPR sudah menjalankan hal itu.”

Tampaknya, langkah inilah yang akan ditempuh parlemen. “Kalau tetap tidak bertemu, kami akan terus jalan. Menurut draf yang telah disusun, wali nanggroe akan dipilih oleh sebuah majelis. Kita sudah sepakat bahwa ke depan harus demokratis, bukan monarki,” ujar Mukhlis.

Mukhlis boleh tak puas. Apalagi 26 Oktober lalu, Hasan Tiro telah terbang kembali ke Swedia. Sementara tim penyusun qanun harus berpuas diri bisa foto bareng calon wali. Kalau di Swedia, mereka foto di depan apartemen, maka di Aceh dapat foto bersama. [a]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU