Saturday, April 20, 2024
spot_img

Yang Bangkit Bersama Pisang

BANDA ACEH|ACEHKITA.COM — Pondok-pondok kecil berjejer di pingir jalan nasional Banda Aceh Medan. Sepanjang satu kilometer lebih, pemandangan itu mudah terlihat oleh pengguna jalan yang melintasi wilayah Desa Simpang Beutong, Laweung, Pidie.

Pisang barangan tergantung pada pondok-pondok itu. Ada juga timun Aceh, yang ditawarkan para pedagang, untuk sekadar oleh-oleh dibawa pulang ke rumah. Saat ini pisang yang kerap disebut orang Aceh dengan nama ‘Pisang Ayam’ menjadi komoditi andalan warga di kaki Gunung Seulawah itu.

Bertani pisang memang sedang digalakkan di Laweung, selepas konflik Aceh. Dulu orang mengenal Laweung hanya karena wilayah itu kerap terjadi kontak senjata. Damai 15 Agustus 2005 silam, membawa hawa sejuk ke sana. Sejak 2006, daerah itu kini menjadi project pilot pengembangan pisang barangan, dengan julukan ‘Wilayah Pengembangan Angribisnis Pisang Barangan’.

Suadi Laweung, tokoh masyarakat Laweung dan juga penasehat kelompok tani pisang barangan menceritakan, awalnya pengembangan komoditi pisang dilakukan secara swadaya masyarakat, Suadi juga ikut serta. ”Pemerintah daerah juga membantu dengan mengalokasikan dana tahun 2005,” ujarnya.

Kemudian pada tahun 2006, perluasan area holtikultura dilakukan. Selanjutnya pengembangan lahan terus berlangsung sampai 2009. “Kami ingin pisang di sini menjadi komoditi ekspor, Thailand bisa melakukannya, kenapa kita tidak,” ujar Suadi.

Bantuan terus mengalir, bahkan dari Departemen Pertanian Pusat. Menurut Suadi, dalam kunjungan pihak departemen pertama kali ke Laweung pada akhir 2007 silam, mereka sangat mendukung pengembangan agribisnis pisang di Pidie.

Saat itu Sekretaris Jendral (Sekjen) Pertanian Pusat, Dr Hasanuddin Ibrahim, turun ke Pidie. “Sebelumnya saya tidak percaya, saat orang banyak bercerita ke saya tentang keberhasilan pengembangan agribisnis pisang yang ada di Kabupaten Pidie. Namun itu sirna saat saya terjun langsung ke lapangan bersama rombongan,” ujarnya saat itu, seperti dikutip Aceh Magazine, edisi April 2008.

Bakhkan Hasanuddin mengakui terkejut melihat hebatnya pengembangan agribisnis pisang barangan yang ada di Laweung. Dia menyebut hal seperti itu patut dijadikan contoh bagi wilayah lain di Indonesia.

***
Masyarakat Laweung pun optimis pada usaha pertanian. “Kami yakin, pengembangan usaha pertanian ini akan terus maju,” kata Alinur Sulaiman, petani pisang barangan.

Menurutnya, dia sendiri mempunyai beberapa hektar kebun yang diberdayakan untuk menanam pisang tersebut. Modal awalnya kata Alinur, sekitar Rp 5 juta untuk membuka satu hektar lahan. Modal itu dipergunakan untuk membersihkan lahan, membeli pupuk dan juga penyediaan bibit awal. “Tidak terlalu besarlah modalnya, kalau sudah panen, pendapatannya lumayan,” ujarnya.

Dalam satu hektar tanam, panennya tidak sekalian. Biasa dua sampai tiga kali panen. Masing-masing sekali panen, petani bisa meraup uang sekitar Rp 4 – 5 juta.

Modal besar hanya diperlukan pada tanam pertama. Penanaman pisang barangan pertama kali bisa memakan waktu sampai setahun untuk mendapatkan hasil. Tahun kedua hanya sepuluh bulan, begitu seterusnya sampai tahun ke empat. Tidak perlu menanam ulang, hanya merapikan anakan pisang yang tumbuh pada akar tanaman pertama.

Setelah tahun keempat, lahan harus dibersihkan secara total untuk penanaman kembali. “Supaya hasilnya lebih bagus dan jaminan mutu,” kata Alinur.

Menurut Suadi Laweueng, proses budidaya pisang ini sebenarnya mudah saja, asal kita mau melakukannya. Karena pemerintah juga memberikan dukungan terhadap para petani. Mulai dari proses awal, perawatan dan proses pemasaran.

Karena keberhasilannya memimpin para petani, Suadi pernah diundang Direktur Perluasan Area Departemen Pertanian, untuk hadir sebagai narasumber pada acara lokakarya pengembangan agribisnis dan perluasan area, di Palembang, pada 2007 lalu. “Semoga kita dapat memperbaiki perekonomian masyarakat melalui sektor pertanian ini. Kita memiliki tanah yang jauh lebih subur, persoalannya sekarang apakah kita mau membangun masyarakat kita, hanya itu saja.”

Pisang barangan produksi Laweung, Pidie sekarang mudah dijumpai di seluruh Aceh, bahkan sampai dipasarkan di Sumatera Utara dan juga Jakarta. Pihak pemerintah juga sedang membidik pasar internasional, seperti Malaysia.

Nama daerah Laweung kemudian harum sebagai daerah agribisnis yang berhasil. Buktinya, April 2009 lalu, kebun pisang pernah didatangi oleh para anggota dewan dari Jawa Tengah, untuk study banding. Mereka berjanji akan membuka jalur ekspor pisang barangan tersebut ke Arab Saudi.

Hanya saja, hasilnya yang masih kurang banyak untuk diekspor. Artinya kuotanya yang masih belum memungkinkan. Saat ini, total luas area yang dikembangkan masyarakat dengan dana bantuan pusat sekitar 200 hektar. Sementara swadaya masyarakat sendiri dan juga bantuan dari pemerintah daerah sekitar 1.500 hektar.

Untuk pengembangan area, pihak pemerintah Pidie telah meminta bantuan dana ke departemen pertanian pusat. Hasilnya positif. “Mereka menjanjikan membantu pada 2010 untuk menambah luas areal, jumlahnya belum jelas,” kata Suadi.

Janji disampaikan oleh DR Djodi S, Sekretaris Direktorat Departemen Pertanian Pusat saat berkunjung ke Aceh, awal 2009 lalu. Pihaknya juga menjanjikan untuk memperbaiki jalan usaha tani di lokasi lahan, demi kelancaran transportasi pasca-panen. “Masyarakat mengharapkan perluasan areal yang dibantu bisa mencapai 1.000 hektar,” sambung Suadi.

Hal itu diakui oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pidei, Muhammad Nasir. Dia mengatakan pihaknya terus mendukung upaya-upaya pertanian yang digerakkan oleh masyarakat. Perluasan area juga terus ditingkatkan untuk memandirikan warga.

“Bahkan ada keinginan Bupati Pidie yang menginginkan agar pisang barangan Laweung dapat diekspor ke luar,” ujar Nasir.

Soal ekspor sendiri, diakuinya belum dilakukan. Pisang Laweung selama ini belumlah cukup untuk kebutuhan di kabupaten dan kota seluruh Aceh. Artinya, kuotanya masih sedikit. Karena biasanya ekspor dalam jumlah besar dan belum ada yang menjamin kebutuhan tersebut.

Selain itu juga belum ada sebuah perusahaan pun yang menjanjikan untuk ekspor pisang Laweung. “Padahal kalau ada, bisa saja petani digenjot lebih keras lagi, agar memenuhi kuota.”

“Pernah suatu kali, pisang Laweung diambil oleh agen satu kontainer penuh dan dibawa ke Medan. Kita tidak tahu dan tidak ada laporan, apakah pisah itu diekspor atau dijual di Medan (Sumatera Utara),” kata Nasir.

Ke depan, dia mengatakan perlunya kerjasama yang kuat dengan dinas perdagangan untuk membidik potensi pisang dalam kapasitas ekspor. Kemungkinan hal itu sangat mungkin dilakukan, mengingat masyarakat Laweung sudah dapat menerima kebiasaan menanam pisang barangan.

Sebuah strategi pertanian untuk menumbuhkan ekonomi rakyat sedang dikembangkan di Pidie. Pisang-pisang masih dipajang terus di sepanjang jalan memasuki Laweung. Bisnis masyarakat usai konflik yang menjanjikan. [ ]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU