Wednesday, April 24, 2024
spot_img

Tenggelamnya Kampung Kami

SEREMPAH (ACEH TENGAH) | ACEHKITA.COM – Di pelukan saudaranya, Fatimah menangis. “Ke mana aku harus pergi,” jeritnya. Saudaranya itu terus berupaya menenangkan Fatimah saat menyaksikan sebagian kampungnya telah hilang, lenyap akibat gempa 6,2 Skala Richter yang mengguncang Aceh pada Selasa, 2 Juli lalu.

Fatimah (dua dari kiri) tak mampu menahan tangis dalam pelukan saudaranya saat melihat kampungnya yang hancur akibat gempa 6,2 Skala Richter Selasa lalu di Kampung Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Jumat (5 Juli 2013). [RADZIE/ACEHKITA]
Fatimah (dua dari kiri) tak mampu menahan tangis dalam pelukan saudaranya saat melihat kampungnya yang hancur akibat gempa 6,2 Skala Richter Selasa lalu di Kampung Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Jumat (5 Juli 2013). [RADZIE/ACEHKITA]

“Bagaimana aku membiayai sekolah anak-anakku,” perempuan sembilan anak itu terus menangis. Lagi-lagi, suadaranya berupaya menenangkan Fatimah, yang mengenakan pakaian gelap.

Bukan tanpa alasan ia histeris. Rumah abang kandungnya, Daud Beureu’eh, tak berbekas. Bukan hanya tanpa meninggalkan puing-puing, tanah tempat rumah abangnya itu pun kini tak berjejak, setelah sebagian Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, ambrol ditelan bumi.

Gempa siang Selasa lalu yang getarannya dirasakan hampir seluruh wilayah Aceh, bahkan hingga Malaysia, itu telah menenggelamkan perkampungan pedalaman Aceh Tengah tersebut. Sedikitnya 12 rumah –termasuk klinik Polindes— tenggelam bersama runtuhnya tanah perbukitan yang memang labil.

Fatimah masih ingat betul petaka siang itu. Ia bersama keluarganya duduk santai di rumah. Pada pukul 14.37 WIB, bumi berguncang. Fatimah tak bisa beranjak. Hentakan itu disertai suara gemuruh. Orang-orang menjerit. Ia berupaya keluar dan melemparkan pandangan ke depan rumahnya. Betapa terkejutnya, tanah di depan rumah amblas. Rumah abangnya seketika ambrol. Ia shock. Pasalnya, di dalam rumah tersebut terdapat abang kandung dan keponakannya.

“Saya berlari ke depan dan melihat ponakan saya menjerit meminta tolong,” kenang Fatimah. Tak banyak bisa dilakukannya. Ia hanya menyaksikan rumah dan keluarga abang kandungnya ditelan bumi.

“Tapi saya bersyukur, Alhamdulillah, semuanya selamat,” kata dia. “Mereka hanya mengalami luka-luka dan cidera.”

Rumah Fatimah sendiri tidak mengalami kerusakan parah. Sebab, rumahnya yang terletak di pinggir jalan desa terbuat dari kayu. Ia beruntung, rumahnya termasuk salah satu bangunan yang tersisa di kampung itu. Setelah melihat keluarganya tenggelam, ia bersama anak-anaknya melarikan diri ke atas bukit di belakang rumah. Itu pun, tanahnya mengalami retak-retak.

***

PANDANGAN Mariati hampa. “Rumahku di situ,” tunjuknya. Ia menunjuk lokasi tanah longsor yang berada di depannya. Di tempat yang ditunjuk itu, sekitar 200 meter tanah amblas. Mariati bersyukur bisa menyelamatkan diri dari marabahaya. “Lakiku (suami) sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Bencana gempa dan tanah longsor di kampungnya merenggut nyawa suaminya, Abdul Karim, 45 tahun, yang saat itu tengah memperbaiki rumah tetangga tak jauh dari rumahnya. Mariati ingat betul ketika bumi bergetar hebat. Ia tengah duduk di rumahnya besama anak-anak. Sekali hentakan kuat, tanah pertapakan rumahnya merongsot ke bawah. Ia berupaya meraih anaknya.

“Tanah terus turun dan rumah kami habis ke bawah,” ujarya. “Kugendong dua anakku dan lari ke sawah bersama orang-orang kampung.”

Gempa yang berpusat tak jauh dari Bener Meriah itu menyebabkan Mariati kehilangan suami, rumah, dan dua keponakannya. Ia juga masih ingat saat suaminya ditemukan setengah tertimbun tanah. “Di leher suami saya mengeluarkan banyak darah. Ia juga patah punggung,” kata dia.

Bersama orang kampungnya, ia mengevakuasi suaminya yang saat itu masih bernyawa. “Suami saya luka parah. Saat dibawa ke rumah, ia tanya kenapa dirinya tidak diobati ke dokter,” kenangnya.

Mengenang peristiwa itu, Mariati menitikkan air mata. Ia bilang, jika saja kampungya tidak terisolasi, “Mungkin nyawa suami saya masih bisa ditolong.”

Gempa darat telah meluluhlantakkan Serempah. Tanah sepanjang 200 meter mengalami longsor yang menyebabkan 12 rumah hancur. Pantauan acehkita di lokasi, puing-puing rumah terlempar sekitar 200 meter dari letak dasarnya. Sebuah polindes, terlihat telah berada di dasar sungai. 12 penduduknya hilang. Lima di antaranya telah ditemukan tak bernyawa. Sedangkan tujuh lainnya, masih dinyatakan hilang.

Personel TNI, polisi, dan tim Badan Search and Rescue baru bisa menjangkau daerah itu, Jumat pagi. Dua peleton –sekitar 60 personel TNI dari Kompi Senapan C Yonif 144 Satria Musara dikerahkan untuk melakukan proses pencarian korban. Mereka dibantu tim SAR dan personel polisi. Sejak pukul 08.30 WIB Jumat, tim evakuasi menyusuri setiap jengkal tanah longsor. Walhasil, mereka berhasil menemukan jasad Lilis, 11 tahun. Bocah itu tewas tertimbun tanah longsor.

“Hanya terlihat kepalanya saja di pinggir sungai,” kata Sersan Satu Andra Fahlevi, petugas TNI yang terlibat pencarian korban.

Andra menyebutkan, proses pencarian korban akan dilakukan hingga 17 Juli, selama proses tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah. “Kami kesulitan mencari korban karena medan yang berat, bukit terjal dan rawan longsor. Air sungainya juga sangat deras,” ujarnya.

Pascagempa, Serempah tak lagi ramah untuk dihuni. Padahal, kampung itu sangat subur. Serempah menawarkan pemandangan alam yang indah. Ia terletak di atas jejeran pegunungan Bukit Barisan. Sehari-hari, warga di sana menggantungkan hidup pada berkebun dan bertani.

Untuk menjangkau daerah ini, kita harus melewati jalan sempit, dengan naik turun tanjakan terjal. Jalannya tak mulus, hanya aspal bopeng. Jika hujan mengguyur, jalanan becek dan licin. Kiri kanannya adalah tebing curam dan lembah terjal. Longsor mengintai kala hujan mengguyur.

Pascagempa, Serempah menjadi sejarah kelam. Ia bukan lagi kampung yang nyaman untuk didiami. Bupati Aceh Tengah Nasaruddin menyebutkan, Serempah tak lagi layak huni. Penduduknya, yang kini mengungsi di Desa Bernung, Kecamatan Ketol, berjarak sekitar 7 kilometer dari Serempah, akan direlokasi. Namun, belum diketahui ke mana mereka akan dipindahkan.

Fatimah mengakui Serempah tak lagi cocok untuk dihuni. “Kami tidak mau lagi tinggal di sini. Takut,” katanya. “Terserah kami mau dipindahkan ke mana.”

Gempa siang itu menyisakan trauma bagi Mariati, Fatimah dan penduduk kampung pedalaman itu. “Kalau ada suara gemuruh motor saja saya suka takut,” ujar Mariati, yang harus merelakan sang suami tercinta pergi untuk selamanya.[]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU