Tuesday, April 16, 2024
spot_img

TEATER | Panggung Pak Rektor

DIA seorang lelaki. Ia orang besar. Bisnisnya berjalan lancar. Namun sayang, pada suatu ketika, ia harus meringkuk di balik penjara. Kecoak dan tikus kelak menjadi sahabatnya. Ia, adalah Pak Rektor. Namanya Prodo Imitatio, Rektor University of Zuzulapan, di Amarakua.

Dok. Teater Rongsokan
Gaya Pak Rektor yang satu ini sedikit nyentrik dan kocak. Beda dengan para pejabat pada umumnya. Ia tak mengenakan baju. Celana pendek, sepatu PDL tentara. Menenteng koper besar, dengan seikat berkas lain yang ia jinjing, dibungkus dalam selembar kain. Isinya, buku-buku. Toga dengan topi kebesaran wisudawan dibungkus serta. Lain itu, ada helm, hingga bantal.

Tak perlu heran dengan ulah Pak Rektor. Ini, adalah sebuah sandiwara. Kata Pak Rektor, sandiwara ini, berkisah tentang negeri yang pendidikannya berseri-seri, di tempat orang-orang yang penuh nafsu pada gelar, terutama, gelar sarjana.

Masuk panggung sandiwara, Pak Rektor langsung menyapa, layaknya penjual obat keliling “Ayo, dipilih, dipilih. Yang jauh mari merapat, yang rapat mari mendekat. Ini obat bukan sembarang obat. Sakit panu, panu hilang. Sakit kurap, kurap hilang. Sakit kepala, kepala hilang.”

“Mau gelar, S-1 ada, S-2, es teler, S-3, semua ada.”

Siap berkata demikian, Pak Rektor membuka koper. Ia mengenakan toga dan mulai memperkenalkan diri dan maksud tujuannya.

“Panggil saya, Prodo Imitatio,” katanya.

“Baiklah,” Rektor Prodo mulai berkisah.

“Baiklah. Saudara-saudara, jangan terkejut,” ujar Pak Rektor. Ia mengatakan, ketika manusia, penduduk negeri ini kian bernafsu akan gelar kesarjanaan, muncullah dia, sebagai seorang dewa penolong. “Saya siap memberi gelar kepada siapa saja. Tentu segala sesuatunya harus diselesaikan dengan sejumlah uang, dan wisudanya nanti di hotel berbintang,” ulasnya terkekeh.

“Anda mau,” ia bertanya ke sisi kiri. Sesaat kemudian mengajukan pertanyaan yang sama ke mereka yang menumpuk di tengah, dan di sebelah kanan. “Pasti anda mau. Tapi jangan disini. Terlalu banyak orang. Sebaiknya kita selesaikan nanti dibelakang,” ucapnya.

Tepuk tangan, membahana.

***

Ini adalah sandiwara panggung, yang dipentaskan Komunitas Teater Mahasiswa (KTM) Rongsokan, Sabtu (9/6) malam, di akhir pekan lalu. Prodo, diperankan oleh Mulia Mardi. Naskah karya Arthur S Nalan ini, di sutradarai T. Zulfajri, aktor senior, KTM Rongsokan.

Penyusunan konsep permainan, patut diacungi jempol. Tejo, panggilan akrab T. Zulfajri, menggubah karya tulis fiksi ini, kedalam permainan seni tutur. Bayangkan, ada sebuah bantal, yang ditepuk, sambil menyanyikan dialog naskah, layaknya sebuahhikayat yang biasa dimainkan oleh PMTOH.

“Dari naskah tersebut, kita mengkonsepkannya untuk kemudian kita tampilkan dalam kultur ke-Acehan. Dimana kita memainkan dalam bentuk seni tutur. Kita menggarapnya semacam sebuah hikayat, atau trobadur, yang biasa dimainkan oleh PMTOH” ujar Tejo seusai pementasan malam itu, di Aula Wisma Kompas, Darussalam.

Muksalmina, salah satu penonton, juga tak menduga, naskah yang diciptakan oleh penulis yang bukan berasal dari Aceh ini, mampu disulap kedalam bentuk, konsep ke-Acehan. “Luar biasa, saya tidak menyangka bisa sampai seperti itu. Riset dari sutradara, untuk membawa permainan dalam kultur ke-Acehan sangatlah kuat.”

Hal senada diutarakan Arief. Anggota Teater Alif, Jakarta ini, menyebutkan, dari sisi penggarapan, sutradara dan pemain telah membawa penonton hanyut. Dimana, keduanya seperti tahu betul, naskah tersebut dimainkan di Aceh.

“Semisal ketika tadi memainkan dengan seni tutur. Jadi penonton terasa betul-betul menikmati pertunjukannya, karena mungkin dekat dengan lingkungan mereka,” sebut lelaki berambut gondong ini.

Pemilihan naskah, sebut Arief, sangatlah sesuai. “Basic kawan-kawan kan teater kampus. Jadi isu jual beli gelar seperti ini sangat terasa di dunia pendidikan,” ucap seniman yang juga seorang penulis di sebuah media online, di Jakarta ini.

“Ini sebagai sebuah kritikan, dimana hal ini terjadi di negeri kita,” tambah Tejo. Ia menyebutkan praktik jual beli gelar ini merupakan suatu hal yang sangat ironis. Yang menjalankan bisnis kotor ini, kata Tejo, bukanlah orang sembarangan. Yang membeli pun, adalah mereka orang-orang, yang merasa, gelar bisa mendongkrak jabatannya di negeri ini.

“Kita tidak tahu, barangkali ada, bahkan mungkin banyak pemimpin negeri ini yang dengan mudah mendapatkan sebuah jabatan. Padahal, pendidikan ia dapatkan melalui praktek jual beli gelar tadi. Bisa dibilang, naskah ini memberi nasihat kepada kita, apabila hal ini terus terjadi, kondisi negeri akan kacau. Hal ini kan sebuah masalah.”

Mulia Mardi. Lelaki bertubuh kurus ini mempersiapkan penampilan malam tersebut selama satu bulan lamanya. Bagi mahasiswa semester akhir di jurusan komunikasi ini, pesan dalam naskah yang ia mainkan, haruslah disampaikan kepada para penonton. Apalagi, penonton malam itu, dinominasi oleh mereka, para mahasiswa.

“Ini bisnis yang rentan juga bagi mahasiswa. Banyak sekarang mereka dengan mudah mendapatkan gelar, dengan skripsi pesanan, atau bahkan tanpa perlu kuliah sekalipun,” kata pria asal Lhokseumawe ini.

Tampaknya, penampilan yang juga diselingi dengan bayolan parodi oleh sang aktor ini memang menggambarkan kondisi negeri. Simaklah beberapa penggal dialog Prodo malam itu, kala ia mengisahkan sejarah negeri ini.

Mengambil topi kebesaran para raja, Prodo berubah peran. Kali ini, ia adalah seorang raja. “Lihat ini baik-baik saudara, dulu di zaman raja-raja hidup, sebagai penghargaan pada para pengikutnya, dia memberikan gelar dan kedudukan. Para pengikutnya menjadi hormat dan bermartabat.”

Dok Teater Rongsokan
Siap berujar demikian, Prodo kembali berganti peran. Kali ini, dia mengeluarkan sebuah helm, memakai layaknya kolonial. Aksen bahasa pun, mencirikan ia seorang komandan para penjajah. “Lihat baik-baik, ini di masa penjajahan bangsa asing. Untuk menggoda para bumiputra supaya merasa terhormat. Mereka memberi gelar pada siapa saja yang punya uang. ‘saya beri kamu gelar’.”

Jadi, kata Prodo, ia adalah pelanjut tradisi itu. Tradisi para raja dan penjajah dulu. “Saudara-saudara tahu? setelah pendidikan menjadi kebutuhan di negeri yang pendidikannya berseri-seri ini, sejumlah perguruan tinggi berdiri, program S1-S2-S3 pun banyak, ibaratnya mendaki gunung tinggi dengan susah payah, peluang itu muncul bagiku yang dibesarkan dengan penuh kemanjaan. Mengapa kemanjaan? Orang tuaku kaya raya. Akhirnya aku malas.”

Slide peran kembali berubah. Prodo, kini memainkan perannya ketika masih kecil. Ia berganda peran dengan sang ibu. Ketika ibunya membangunkannya untuk pergi sekolah, Prodo malah menarik selimut. “Ya sudah sayang. Nanti mamak telpon kepala sekolah bilang kamu sakit ya.”

Bayangkan, semua peran itu, dimainkan Prodo dengan gaya kocak, yang berhasil mengocok perut penonton. Namun, di lain waktu, penonton mengangggukkan kepala. Mendengarkan dialog Prodo, sepertinya mereka setuju, ‘beginilah kondisi negeri ini’.

Gaya kocak disini, semua kisah, dia ceritakan sambil bersyair ria, dengan menepuk bantal. Selain dipentaskan melalui syair-syair, melalui Prodo, sang sutradara, mengimplemantasikan semua peran dengan simbol-simbol. Misal ketika berperan sebagai penjajah. Prodo seperti sedang berkuda layaknya pemimpin di film-film cowboy. Telepon pun dengan properti ‘aneh’. Sebuah sandal jepit. Bayolan penuh pesan. Penuh makna. Tentu, semua dialog dibacakan seperti sedang bersyair.

***

Perilaku kotor biasanya tak pernah bisa abadi. Namun, pelanjut tradisi tentulah selalu ada. Seperti halnya Prodo Imitatio. Pada akhir peran, Pak Rektor University Of Zuzulapan ini, harus berhadapan dengan pihak berwajib. Ia meringkuk di hotel prodeo. Ya, di penjara penuh debu. Untuk kemudian, hanya kecoak dan tikus yang menjadi teman, kawan yang selalu mendampingi dalam gelap.

“Sebagai penonton yang cerdas, kita harus sadar, bahwa ketika diluar penjara pun, sebetulnya, ia juga berkawan dengan tikus dan kecoak. Maknanya, tikus disini, ya, implementasi kepada mereka yang menjalankan dan menikmati bisnis ini. Mereka kan juga disebutkan sebagai seekor tikus,” kata Sutradara berambaut kriwil itu.

Di dalam penjara, Prodo mulai berontak. Ia meradang. Sedih. “Kemana para sarjanaku, ketika aku membutuhkan mereka,” isak Prodo. Seharusnya, ujar Prodo dalam tangisnya, yang ditangkap adalah mereka para pembeli, bukan hanya mereka para penjual. Pembeli, kata Prodo, dibiarkan begitu saja tanpa diberikan sangsi apa-apa. Bahkan, akhirnya, mereka yang nanti akan menjadi orang penting di negeri ini.

Bisnis ini, layaknya dunia pelacuran, yang sangat kecil kemungkinan untuk diberantas. Bisnis ini, telah beranak cucu. Menurut data University Of Zuzulapan, dalam naskah Arthur ini, kampus ini telah menghasilkan lima puluh orang doctor, seratus lima puluh Master, dan 333 sarjana dari berbagai bidang ilmu.

“Semakin banyak para sarjana, magister, hingga doctor palsu, akan jadi apa negeri ini. Lihatlah, kemana mereka ketika aku seperti ini,” Prodo meraung histeris.

Ia berteriak kepada sipir. “Sipir gila…. Tangkap para pembeli, bukan penjual. Tangkap mereka yang membeli,” ia terus berteriak, berulang, hingga pada akhirnya, sipir menyiramnya dengan air karena Prodo terus meracau seorang diri. Setelah itu, pementasan selesai. Sang rektor menungggu nasib di penjara. Semantara lulusannya, para sarjana, terus bertambah. Mereka menjadi orang penting di negeri ini. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU