Friday, April 26, 2024
spot_img

Strategi Pemasaran Politik (di Pilkada 2011)

TERLEPAS dari masih adanya polemik terkait Rancangan Qanun dan tahapan Pemilihan Kepala Daerah, yang jelas “pasar politik” di musim pemilihan 2011 sudah digelar, bahkan jauh sebelum KIP Aceh mengumumkan tahapan Pilkada 2011. Untuk itu, menarik untuk mengenal sekilas strategi pemasaran politik yang diterapkan para penjual produk-produk politiknya.

Sebelumnya, menarik juga untuk dilihat terlebih dulu peta kekuatan para penjual di pasar politik Aceh saat ini. Jika pada Pilkada Aceh 2006 hanya ada dua pihak penjual: partai nasional dan calon independen. Pada Pilkada 2011 ini, sudah ada tiga pihak penjual: Partai Lokal yang diwakili oleh Partai Aceh yang sudah memperkenalkan calonnya,; pihak independen yang sudah mendaftar sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh KIP Aceh; dan Partai Nasional yang masih belum menentukan kandidatnya ditingkat provinsi.

Kehadiran calon independen dikarenakan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian mendapat dukungan politik dari gubernur dan Komisi Independen Pemilihan Aceh. Bahwa ada penolakan dari DPRA melalui Rancangan Qanun Pilkada, statusnya masih mengambang karena belum ada persetujuan dari pihak legislatif.

Dengan peta politik dan dinamika politik semacam itu, sangat bisa dimaklumi jika kalangan independen lebih menerapkan strategi perang politik ketimbang strategi pencitraan diri dan sosialisasi program dan tim terbaik. Dengan jumlah calon independen yang mencapai 86 pasang (178 orang) sudah bisa diduga rakyat pemilih akan sangat sulit untuk fokus pada citra diri dan program. Jadi cara paling ampuh menarik dukungan adalah menerapkan strategi perang politik yang menghadap-hadapkan independen dengan partai politik.

Strategi ini semakin menarik dan lebih kelihatan berhasil manakala salah satu calon incumbent sudah menetapkan pilihannya untuk maju melalui jalur independen. Adanya perseteruan politik antara salah satu calon incumbent dengan Partai Aceh semakin memaksimalkan energi perang politik untuk diterapkan sebagai strategi pemasaran. Pertanyaannya, apa dasar pertimbangan yang dipakai untuk menggunakan strategi pemasaran “perang” ini? Jawaban pastinya pasti ada di aktor intelektual para calon independen. Namun, jika boleh menduga ini pilihan yang didasarkan pada teknik manipulasi pikiran sadar dengan memasukkan sebanyak mungkin unsur perang dalam pikiran bawah sadar para pemilih.

Di sinilah mengapa penting menyatukan seluruh calon independen (meski berbeda kepentingan dan bertolak dari latar berbeda) hanya untuk satu tujuan, yakni menampilkan diri sebagai pihak yang sedang melawan dominasi partai. Adanya masa lalu partai yang buruk dalam praktik-praktik demokrasi memberi peluang untuk melakukan manipulasi pikiran jika yang dilakukan adalah strategi independen versus partai politik. Strategi ini sama artinya menggiring pemilih untuk sampai pada pilihan “memilih orang yang sering menipu kita (partai) atau memilih mereka yang berasal dari kita (independen).”

Sementara itu, harus diakui bahwa partai lokal, dalam hal ini Partai Aceh, sedang berada dalam posisi yang sulit secara politik. Pasar politik yang mestinya hanya menyisakan dua penjual kini kembali diramaikan oleh penjual lain yakni calon independen, yang kini semakin menjalin persekutuan untuk kepentingan pemasaran politik mereka.

Sementara itu, tidak cukup mudah untuk menjalin persekutuan politik dengan partai nasional karena dari waktu ke waktu mereka juga semakin menjadi penjual yang bisa saja bersekutu dengan sesama untuk ikut juga mengajukan kandidat bersama di tingkat gubernur. Meski dalam keadaan yang agak terjepit begitu menarik juga untuk menyimak strategi pemasaran terakhir yang diterapkan oleh kebersamaan Partai Aceh dengan partai nasional terkait wacana penundaan Pilkada 2011.

Sebelumnya, wacana penundaan sudah disampaikan oleh berbagai kalangan baik dari LSM maupun dari beberapa organisasi keagamaan. Isu ini menjadi semakin hangat kala disambut baik oleh kalangan partai. Tentu saja wacana ini mendapat hadangan dari pihak independen yang di dalamnya juga terdapat calon dari incumbent. Sayangnya hadangan ini dari sisi auranya berbeda karena salah satu calon incumbent yang sedang merayu jalur partai tidak cukup konprontatif dalam mensikapi wacana penundaan.

Pancingan politik inilah yang kemudian menghamburkan motif kekuasaan. Dari media sosial terbaca bahwa ketidakmauan untuk menunda sejenak Pilkada Aceh lebih karena sudah tidak sabar lagi untuk berkuasa alias sarat dengan motif kekuasaan. Padahal, Pilkada adalah ajang demokrasi yang mestinya dilaksanakan dengan penuh sukacita dan bukan dengan penuh intrik, emosi, dan pertentangan.
Lebih dari itu, pihak Partai Aceh juga berhasil memancing keluarnya sifat asli politik kandidat yang ujungnya malah menjadi bola liar yang kemudian dipakai oleh LSM untuk menuntut Pemerintah terkait Pengadilan HAM dan KKR yang selama ini tidak pernah ada perkembangan yang berarti lagi.

Lebih dari itu, jika fokus calon independen pada politik branding bahwa calon independen jauh lebih dekat dengan rakyat maka fokus Partai Aceh lebih pada penguatan struktur jaringan kerja mereka. Pensapihan besar-besaran yang dilakukan kepada mereka yang dulu mengakui atau diakui sebagai GAM semakin memulihkan citra buruk yang selama ini “mengenai” politik Partai Aceh. Sekarang mereka semakin pede diri untuk mengatakan kepada publik bahwa produk-produk politik mereka sudah semakin berkualitas.

Begitu juga dengan strategi personal branding yang mereka mainkan melalui Meuntroe Malek (Malik Mahmud akrab disapa Meuntroe di kalangan Gerakan Aceh Merdeka dan Partai Aceh –red.) yang semakin terbuka dengan berbagai pihak. Ini cara cerdas untuk mengatakan bahwa Partai Aceh semakin demokratis dan akan semakin demokratis dari waktu ke waktu dalam konteks demokrasi yang menghargai nilai-nilai keacehan.

Tentu saja ada hal-hal kritis yang bisa dimainkan oleh pihak lain guna mematahkan langkah politik Partai Aceh di ajang Pilkada 2011, termasuk dikalahkan oleh partai nasional. Tapi, sejauh ini partai nasional melalui politik surveinya masih menjadi pihak yang memberi saham pada “panasnya” suhu politik Aceh. Apalagi kala survei itu tidak segera diputuskan dan ditindaklanjuti secara politik. Di sinilah bisa dirasakan bahwa sebenarnya partai nasional juga sedang menerapkan strategi pemasaran yang memadukan branding dan jaringan.

Artinya, adanya perseteruan calon independen, yang diwakili oleh calon incumbent, dengan partai lokal (PA). Perseteruan ini dimanfaatkan sebagai media komunikasi untuk mengatakan bahwa semua pihak tidak lebih baik dari pihak lain, manakala semua pihak tidak memiliki kemampuan komunikasi dialogis dalam menjalankan roda pemerintahan dan roda pembangunan. Aceh tidak butuh lagi pemimpin yang pintar strategi perang, tapi pemimpin yang pintar strategi mengkomunikasikan gagasan dan kebijakan pembangunan.

Situasi politik saat ini sekaligus menjadi mesin cuci politik bagi partai nasional yang selama ini kerap dipersepsikan sebagai pihak yang haus kekuasaan. Ternyata, problem kekuasaan bukan problemnya partai atau bukan partai melainkan problem kemanusiaan yang membutuhkan sistem, nilai, dan moral yang kuat dan itu harus dibangun dari waktu ke waktu. Dalam situasi inilah bisa dimaklumi kalau Partai Nasional tidak harus terburu-buru mengumumkan siapa calon mereka (Aceh 1) karena pada saatnya pemilih akan bertanya “Pat calon awak droeneuh?”

Apapun strategi pemasaran itu, pada akhirnya produk yang ada di pasar politik Pilkada 2011 akan ditentukan oleh pembeli (pemilih) pada waktunya. Dan, apapun hasilnya pasar politik akan terus ada. “Hana lagot jino lagot singoh.”

*RISMAN A. RACHMAN, Analis Sosial-Politik, berdomisili di Banda Aceh.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU