Friday, March 29, 2024
spot_img

Setelah Larangan Ngangkang dan Wajib Rok

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Pemerintah Kabupaten Bireuen mengeluarkan sebuah surat edaran untuk pengelola dan pengunjung warung kopi, kafe, dan restoran tentang standarisasi yang sesuai syariat Islam.

Beberapa poin dari total 14 poin di surat itu ternyata menarik perhatian publik. Seperti ditulis pada poin ke 13, yaitu haram laki-laki dan perempuan makan dan minum satu meja kecuali ditemani mahram.

Kalimat ini secara tidak langsung telah melarang pria dan perempuan bukan muhrim menongkrong di warung kopi. Ini terlepas apakah itu saudara sepupu, teman, atau para alumni sekolah yang ingin reuni.

Namun, Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen Jufliwan mengatakan, surat edaran ini baru sebatas imbauan dan tidak diberikan sanksi jika ada warga melanggar.

Tetapi dalam kalimat berikutnya, Jufliwan justru mengaku akan melibatkan polisi syariat Wilayatul Hisbah (WH) untuk mengambil tindakan. Dan tentunya, secara tidak langsung para pelanggar ini kemungkinan akan diberi sanksi.

“Kecuali jika sudah diingatkan berkali-kali, tapi pengelola tempat usaha masih membandel, mungkin baru diberikan tindakan dengan melibatkan Satpol PP dan WH,” kata dia kepada acehkita.com, Selasa (4/9).

Jauh hari sebelum Bupati Bireuen Saifannur meneken dan mengeluarkan surat edaran ini, Pemerintah Kota Lhokseumawe duluan menerbitkan seruan yang menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat.

Seruan itu adalah larangan perempuan duduk ngangkang saat berboncengan sepeda motor. Seruan bersama berisi empat poin itu dikeluarkan oleh Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya pada Senin 7 Januari 2013.

Setelah ada seruan larangan ngangkang, polisi syariat pun semakin gencar memburu perempuan yang ngangkang saat berboncengan di sepeda motor.

Siapa saja yang melanggar akan dibina di pinggir jalan, meneken perjanjian, kemudian dilepas. Lebih beruntung lagi kalau yang memakai celana ketat, bakal mendapat bonus sarung atau rok dari petugas razia.

Selain Suaidi, seruan bersama ditandatangani juga oleh Ketua DPRK Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua MPU Lhokseumawe Teungku H. Asnawi Abdullah, dan Ketua Majelis Adat Aceh Lhokseumawe Teungku H. Usman Budiman. Seruan ini ditempel di tempat-tempat umum di seluruh Kota Lhokseumawe.

“Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang), kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat),” demikian isi seruan bersama tersebut.

Namun, nyatanya seruan itu hanya berlaku sesaat saja. Kini, seruan ngangkang seperti tak pernah ada. “Sekarang sudah biasa, kayak tidak pernah lahir aturan itu,” kata Rajali Samidan warga Kota Lhokseumawe.

Jauh sebelumnya, Pemerintah Aceh Barat juga memberlakukan aturan yang melarang kaum perempuan mengenakan baju dan celana ketat.

Aturan yang sering disebut “Wajib Rok” ini diberlakukan secara resmi pada Selasa 25 Mei 2010. Pemberlakuan aturan ini ditandai dengan razia busana yang digelar petugas Wilayatul Hisbah (WH, polisi syariah) dua hari setelahnya, Kamis 27 Mei di Desa Pasi Jambu, Kecamatan Kaway XVI.

Bupati Aceh Barat Ramli Mansur saat itu mengatakan, aturan ini bagian dari penerapan syariat Islam di Aceh Barat.

“Saya mengharapkan agar jangan sekali-kali kita melemahkan posisi Islam. Jangan anggap enteng Islam, karena hukumnya murtad,” kata Ramli Mansur.

Pada Kamis 27 Mei 2010, Ramli turut menyerahkan 20 ribu rok kepada Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah dalam sebuah apel pagi di kantor bupati. Rok itu akan dibagikan kepada warga Aceh Barat yang terjebak razia busana muslim yang masih memakai celana ketat.

Selain disebarkan oleh petugas WH, rok juga akan dibagi-bagikan oleh tim sosialisasi yang beranggotakan kepala desa, kepala mukim, tokoh adat, ulama, dan tokoh masyarakat.

Ramli menghembuskan wacana pelarangan celana ini di penghujung tahun 2009. Sebelumnya dia merencanakan kebijakan ini diberlakukan pada awal 2010.

Upaya Ramli mendapat tentangan dari sejumlah kalangan, hingga rencana ini tertunda. Baru pada 25 Mei 2010, Bupati Ramli menandatangani Peraturan Bupati tentang busana muslim bagi warga Aceh Barat.

Provinsi Aceh memang memiliki kewenangan untuk menerapkan syariat Islam. Sejak tahun 2014, Aceh memiliki qanun atau peraturan daerah tentang hukum jinayah.

Dalam qanun itu diatur tentang cara pelaksanaan syariat Islam yang melarang perjudian, zina, minum minuman-minuman beralkohol, dan khalwat. Pelanggar qanun akan dihukum cambuk di muka umum.

Meski tidak sampai pada tahap dihukum cambuk, larangan ngangkang, wajib rok, dan larangan nongkrong adalah bagian dari penerapan syariat Islam kaffah di Aceh.

Tidak salah juga jika ke depan pemerintah Aceh atau kabupaten di Aceh menerapkan aturan sesuai syariat dalam birokrasi dan memberi sanksi tegas untuk mereka yang menerima suap dan korupsi hak masyarakat. []

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU