Sarwani dan seorang cucunya berdiri di depan pintu rumahnya di Desa Pulo Kayu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, akhir Oktober lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

SABTU, 28 Juni 2014. Sekitar pukul 7:30 Wib, keluarga Septi bertamu ke rumah Sarwani, perempuan yang selama ini merawat Weniati, di Pulo Kayu. Zainuddin dan istrinya juga ikut. Sebelum meninggalkan rumah, ia menelpon Rosmani agar memberitahu Sarwani kalau mereka ingin bertamu.

Selain Sarwani dan Weniati, di rumah bantuan sebuah NGO asal Jerman bagi korban tsunami itu juga tinggal dua putra Ida Maryam, putri sulung Sarwani. Sejak tahun 2009 silam, Ida menetap di Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah, setelah menikah lagi dengan warga setempat.

Untuk menghidupnya bersama kedua cucu dan Weniati, Sarwani setiap pagi mencari lokan di pinggir laut dan tambak dekat pantai di belakang rumahnya. Ia juga mengumpulkan barang-barang bekas yang layak pakai, botol dan gelas minuman mineral untuk dijual pada pengumpul yang dua pekan sekali datang ke rumahnya.

Sarwani menyambut hangat kunjungan keluarga Septi dan Zainuddin. Apalagi Rosmani telah menceritakan padanya jika ada keluarga korban tsunami yang dulu tinggal di Meulaboh mengaku orang tua Weniati. Sarwani bahagia bila memang benar Septi dan Jamaliah adalah orang tua kandung Weniati.

Dalam pertemuan penuh kekeluargaan, Jamaliah menyampaikan keinginan mereka membawa pulang Weniati. Tapi, Sarwani tak mengizinkannya karena ia masih ingin menjalani ibadah puasa bersama. Dia bilang kepada Septi dan Jamaliah agar datang lagi usai Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriah. Pasangan itu tak memaksa. Mereka membiarkan Weniati tinggal bersama Sarwani dan dua cucunya.

Selama Ramadhan, keluarga Septi sering datang ke Pulo Kayu, untuk bertemu putrinya. Mereka juga mengajak aparat Desa Panggong untuk bermusyawarah dengan keluarga besar Sarwani. Selain aparat Pulo Kayu, dari pihak keluarga Sarwani juga selalu hadir Rusmadi, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setempat.

Atas bantuan Zainuddin, acehkita.com bertemu Rusmadi. Tempatnya di kedai Rosmani, lokasi pertama Zainuddin melihat Weniati, yang kemudian diyakini sebagai Raudha. Rusmadi adalah seorang sosok yang tegas bicaranya. Ia juga tinggal di Pulo Kayu. Rusmadi masih ada hubungan famili dengan Sarwani.

Rusmadi mengaku sering melihat Weniati di desanya, sejak bocah itu dibawa Mustamir, menantu Sarwani, dari Pulau Banyak pada 2006. Kepada Rusmadi dikatakan Weniati ialah anak yatim piatu yang masih ada hubungan keluarga dengan Mustamir.

Seiring perjalanan waktu, Rusmadi mengaku agak penasaran karena tidak ada seorangpun keluarga di Pulau Banyak datang menjenguk Weniati. Dia merasa terganggu saat Mustamir dan istrinya, Sarina Dewi, serta ketiga putra mereka memutuskan pindah ke Belawan, pada 2009.

Kalau tak dibawa serta ke Belawan, ujar Rusmadi, seharusnya Weniati diantar pulang ke Pulau Banyak, untuk tinggal bersama dengan keluarganya. Tapi, dia ditinggalkan bersama Ida Maryan dan Sarwani. Ida merupakan janda beranak dua.

Rusmadi mulai curiga ketika secara kebetulan melihat Weniati diganggu seorang anak laki-laki dengan panggilan “anak tsunami”, sekitar tiga tahun lalu. Mantan panglima sagoe GAM itu mendengar jawaban Weniati, “Memang benar aku anak tsunami. Seharusnya kamu jangan ganggu aku.”

Kemudian, pada Mei 2013, seorang nelayan bernama Darman alias Gaipe, 32 tahun, datang menemui Rusmadi di Pulo Kayu. Adik kandung Mustamir itu ingin berterima kasih kepada Rusmadi yang telah membantu pembebasannya saat ditawan pasukan GAM, tahun 2000.

“Dia juga bertanya pada saya, ‘Bagaimana kondisi anak tsunami yang dibawa abang saya?’,” tutur Rusmadi. “Gaipe juga bilang dialah yang menyelamatkan Weni bersama abangnya di laut ketika tsunami. Kemudian ia membawa kedua anak itu ke Pulau Banyak.”

Raudhatul Jannah di pantai Ujong Kareung, Meulaboh, 26 Oktober lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Raudhatul Jannah di pantai Ujong Kareung, Meulaboh, 26 Oktober lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Rusmadi mengaku saat Darman bercerita tentang anak tsunami, ia tak terlalu menyimak. Ia baru teringat pengakuan Darman ketika keluarga Septi datang ke Pulo Kayu. Meski masih ada hubungan keluarga dengan Sarwani, tetapi Rusmadi sangat yakin kalau Septi dan Jamaliah orang tua Weniati.

Namun, semua cerita Rusmadi dibantah Darman. “Saya tak pernah ditangkap GAM. Saya memang kenal Bang Rusmadi karena dia keluarga Kak Sari, tetapi tidak benar kalau dia bilang saya pernah datang ke Pulo Kayu tahun lalu,” ujar Darman, yang kini menetap di Nias, saat dikonfirmasi acehkita.com melalui telepon, awal Desember lalu.

Darman juga membantah pernah menyelamatkan anak korban tsunami. “Jika mayat yang hanyut di laut ada ketemu dan saya langsung lapor ke polisi air,” katanya seraya menyebutkan bahwa saat tsunami menerjang Aceh, dia sedang berada  di Simeulue, mencari tripang.

Sementara itu, Sarwani mengisahkan, awal 2006, Mustamir melaut ke Pulau Banyak. Di sana, dia melihat dua bocah kurang terurus. Dari penuturan warga setempat diketahui kedua anak itu korban tsunami, yang orang tuanya sudah meninggal dunia dihumbalang gelombang Samudera Hindia.

“Menantu saya telepon istrinya, anak saya, Sari. Ia bilang di Pulau Banyak ada dua anak tsunami. Mustamir tanya apa Sari mau merawat mereka. Tapi, Sari hanya mau merawat anak perempuan karena mereka sudah punya tiga anak laki-laki. Lalu, dibawa pulanglah anak perempuan itu. Anak laki-laki tinggal bersama keluarga nelayan di Pulau Banyak,” jelas Sarwani.

Sejak dibawa, bocah itu tinggal bersama keluarga Mustamir. Namun, Sarwani mengaku, sering bertemu bocah yang sangat pendiam karena rumahnya dan rumah keluarga Mustamir berdekatan. Malah anak itu sering makan dan tidur di rumah Sarwani.

“Kalau ditanya siapa namanya, ia hanya diam saja. Makanya kami panggil dia kakak, kadang-kadang kami panggil adik. Baru saat hendak masuk sekolah MIN, saya beri nama Weniati,” kata Sarwani pada acehkita yang mendatangi rumahnya, akhir Oktober lalu.

Perempuan tua itu tak mampu membendung air matanya saat berujar, “Weni sekarang telah melupakan saya yang pernah merawatnya setelah dia bertemu dengan orang tuanya.”

 

***

Setelah beberapa kali pertemuan yang melibatkan aparat Gampong Panggong dan Pulo Kayu disepakati supaya Mustamir datang ke desa kelahiran istrinya, untuk menjelaskan latar belakang Weniati. Apalagi dari pembicaraan melalui telepon, dia mengklaim Weniati bukan korban tsunami, tapi anak yatim piatu yang masih ada hubungan keluarga dengannya.

Mustamir yang tinggal di kawasan Belawan, Sumatera Utara, bersedia datang ke Pulo Kayu, tapi tak punya uang untuk ongkos transportasi. Seorang sepupu Jamaliah di Meulaboh mengirimkan sejumlah uang kepada Mustamir. Meski sudah dikirim uang, Mustamir tetap tak datang. Dia hanya mengutus istrinya, Sarina Dewi, ke Pulo Kayu.

“Uang yang dikirim tak cukup untuk ongkos kami sekeluarga. Makanya hanya istri saya saja yang pulang,” katanya ketika dikonfirmasi acehkita.com melalui telepon, awal November silam.

Menurut Mustamir, Weniati adalah anak yatim piatu yang dirawat Inagamasi, neneknya di Desa Ujung Sialit, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil. Weniati punya dua orang adik, laki-laki dan perempuan. Saat ke Ujung Sialit, pada awal 2006, untuk mengunjungi kedua orang tuanya, Mustamir mengaku melihat tiga orang anak yang dirawat Inagamasi. Lalu, perempuan miskin itu meminta Mustamir untuk membawa seorang dari mereka.

“Saya telepon istri saya. Saya bilang kalau di Ujung Sialit ada tiga anak yatim piatu yang dirawat kakak ibu kandung saya. Saya tanya, apa dia mau jika saya bawa mereka ke Pulo Kayu. Terus, istri saya jawab untuk membawa seorang anak perempuan saja karena kami sudah punya tiga orang anak laki-laki,” jelas Mustamir, seraya menambahkan kedua orang tua ketiga anak itu sudah meninggal dunia sebelum tsunami.

Sarina Dewi berdiri di jalan depan rumah sewanya di kawasan Belawan, Sumatera Utara, akhir Oktober lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Sarina Dewi berdiri di jalan depan rumah sewanya di kawasan Belawan, Sumatera Utara, akhir Oktober lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Cerita yang sama disampaikan Sarina Dewi, 32 tahun, saat acehkita.com mendatangi rumah sewanya di kawasan Belawan, akhir Oktober silam. Waktu itu, suaminya telah pergi melaut. Biasanya, Mustamir baru pulang dua pekan kemudian. Pasangan yang menikah pada Oktober 1999, tinggal di rumah sewa  dari kayu bersama tiga putra mereka.

Perempuan bertubuh mungil itu menyambut ramah kunjungan acehkita.com. Wawancara berlangsung di ruang tamu pemilik rumah. Dua anaknya bermain di luar rumah. Seorang lagi sedang berada di sekolah.

Rumah dari kayu itu menyatu dengan rumah yang disewa keluarga Mustamir: sebuah kamar ukuran 3 x 4 meter dan satu ruangan 3 x 3 meter yang dipakai untuk meletakkan pakaian dan barang lainnya. Satu sepeda motor terparkir di situ.

“Weni itu adalah keluarga suami saya. Bagaimana mungkin tsunami sudah 10 tahun, tapi masih ada keluarga yang mengaku anak mereka masih hidup. Itu sama sekali tidak masuk akal,” tegas Sarina, dengan suara berusaha menahan marah. “Kalau dulu kami ikut bawa Weni ke Belawan, kejadiannya tidak akan seperti ini.”

Saat ditanya kenapa mereka atau keluarganya di Ujung Sialit tak menjemput Weniati, Mustamir dan Sarina mengaku mereka tidak punya uang. “Kami juga tak punya uang untuk melaporkan masalah ini kepada polisi,” kata Mustamir. “Tapi, kami punya bukti di Ujung Sialit kalau Weni bukan anak tsunami.”

Dia menambahkan bahwa adik laki-laki Weniati kini tinggal di Nias bersama pamannya. Sedangkan adik perempuannya masih tetap berada di Ujung Sialit bersama neneknya. “Boleh dicek ke sana kalau Weni itu anak yatim piatu yang masih ada hubungan keluarga dengan saya,” ujar Mustamir.

Pengakuan Mustamir dikuatkan keterangan Kepala Desa Ujung Sialit, Okta Derita Gea, yang dihubungi acehkita.com, akhir Oktober lalu. Dia memastikan, tidak ada anak korban tsunami yang selamat atau dibawa ke Ujung Sialit.

Di perkampungan nelayan yang penduduknya seribuan lebih jiwa itu, kata Okta, kalau ada suatu kejadian,  semua warga pasti mengetahui.

“Konon lagi kalau ada korban tsunami yang dibawa atau diselamatkan, pasti akan heboh,” katanya, seraya menambahkan, waktu tsunami menerjang, Ujung Sialit tidak terkena dampaknya.

Namun, cerita Okta agak berbeda dengan klaim Mustamir, terkait kedua orang tua Weniati. Menurut dia, orang tua Weniati dan dua adiknya bukan telah meninggal dunia, tapi bercerai. “Ayah mereka tinggal di Pekanbaru, Riau. Sedangkan ibunya sudah kawin lagi di Nias,” jelas Okta.

Lalu, kenapa Sarwani menyebutkan Weniati, anak korban tsunami? Ketika hal itu ditanyakan pada Mustamir dan istrinya, mereka menjawab, “Mungkin ibu saya sudah dipengaruhi oleh orang yang mengaku orang tua Weniati.”

Sarina mengaku, saat pulang ke Pulo Kayu, ia telah menjelaskan tentang latar belakang orang tua Weniati kepada keluarga Septi. Tapi, karena “didesak dan ada jaminan semua pihak” akhirnya ia bersedia menyerahkan Weniati, setelah mendapat persetujuan suaminya, pada keluarga Septi selama sepekan “untuk kepentingan tes DNA.”

Apalagi, waktu itu, Sarwani ikut mendampingi Weniati ke Meulaboh pada 6 Agustus lalu. Perempuan tua yang telah menganggap Weniati sebagai cucunya sempat tinggal bersama keluarga Septi hampir dua pekan di Meulaboh.

“Tapi, hingga sekarang tes DNA tak pernah dilakukan dan Weni telah diambil mereka,” ujar Mustamir. [BERSAMBUNG]

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.