Zainuddin di pantai Gampong Pulo Kayu, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

SABTU, 21 Juni 2014. Sekitar pukul 10:00 Wib, Zainuddin, 59 tahun, mengisi pulsa di sebuah kedai Gampong Padang Baro. Kemudian, kakinya melangkah ke warung kopi pinggir jalan, milik Rosmani. Di kedai papan ukuran 3 x 4 meter, seorang pria sedang menikmati kopi. Keduanya terlibat pembicaraan santai.

Tiga anak perempuan berjalan santai, menghampiri warung. Mereka gembira sambil bercanda. Ros – panggilan akrab Rosmani – memanggil seorang dari anak-anak yang baru menerima rapor dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Pawoh Padang. Yang dipanggil mendekat. Bocah pemalu itu dikenal dengan nama Weniati, 14 tahun.

Keduanya larut dalam canda usai Rosmani memperhatikan isi rapor Weniati. Sesekali tangan Rosmani membelai kepala Weni, begitu dia biasa dipanggil. Bocah itu terus mengumbar senyum bahagia karena kali ini dia tidak tinggal kelas. Rosmani dan Weni akrab karena mereka bertetangga di Gampong Pulo Kayu, yang bersebelahan dengan Padang Baro.

Mereka duduk di bangku panjang semeter dalam warung, tak jauh dari posisi Zainuddin dan rekannya. Zainuddin memperhatikan candaan Ros dan Weni. Tanpa sepengetahuan Ros dan Weni, Zainuddin mengaku menyaksikan satu kejadian yang membuat jantungnya berdegup kencang.

“Sebagian rambut anak itu tersibak dari jilbab. Lalu dua helai rambut jatuh ke pahanya,” ujar Zainuddin, lelaki ramah yang sehari-hari bekerja sebagai sopir alat berat.

Ia segera teringat mimpinya pada suatu malam, beberapa hari sebelumnya. Dalam mimpi itu, Zainuddin mengaku didatangi seorang gadis kecil yang langsung duduk di pangkuannya. Sang bocah hanya diam saja, sambil tersenyum.

“Tiba-tiba sehelai rambutnya jatuh ke pangkuannya, sama persis seperti yang saya lihat ketika Ros bersenda dengan Weni,” ungkap Zainuddin, saat ditemui acehkita.com di rumahnya, akhir Oktober lalu.

Sambil menghembus asap rokok, Zainuddin bertanya, “Anak siapa itu, Ros?” Yang ditanya menjawab, “Anak tsunami. Kedua orangtuanya meninggal dunia saat tsunami dulu.” Ros melanjutkan cerita bahwa anak itu dibawa dari Pulau Banyak oleh Mustamir, seorang nelayan di Pulo Kayu, awal tahun 2006.

Foto inilah yang diperlihatkan Zainuddin kepada Rosmani. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Foto inilah yang diperlihatkan Zainuddin kepada Rosmani. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Zainuddin tak ingin berlama-lama di warung Ros. Kopi yang tinggal setengah gelas diseruputnya sampai habis. Nikmatnya rasa kopi, seolah hambar. Bulu-bulu di tangannya berdiri. Dia merinding. Usai membayar kopi, dia beranjak, meninggal warung. Masih sempat dirogohnya kantong celana. Dua lembar  Rp 2.000 dari sisa membeli pulsa diberikannya kepada Weni. Tangan Zainuddin bergetar saat menyentuh tangan bocah itu.

“Terima kasih, Pak,” ujar Weni, tersenyum bahagia.

Zainuddin segera pulang ke rumah. Album foto dibongkarnya. Setelah diutak-atik, dia menemukan yang dicarinya. Tanpa memberitahu istrinya, dia balik ke kedai Ros. Ditunjukkannya foto yang di dalamnya ada tujuh orang kepada Ros. Foto itu diabadikan saat ulang tahun keempat Raudha, beberapa bulan sebelum tsunami terjadi.

Saat Zainuddin tiba di warung Ros, hari menjelang sore. Weni sudah tak ada lagi di situ. Setelah menghabiskan air putih yang diberikan Ros, gadis cilik itu minta izin, pulang ke rumah Sarwani – seorang perempuan miskin 69 tahun yang selama beberapa tahun terakhir merawatnya di Pulo Kayu. Dengan rona wajah ceria karena naik kelas empat, Weni menelusuri jalanan desa beraspal.

“Apakah anak tadi itu, ada dalam foto ini,” tanya Zainuddin. Setelah melihat dengan seksama, Ros menjawab pasti, “Iya, ini anaknya”, sambil menunjuk ke bocah perempuan yang memakai bando di foto itu. Lalu, ia bertanya, “Kenapa foto anak ini ada sama bapak?”

Zainuddin kemudian menceritakan tentang keponakannya yang hilang ketika tsunami di Meulaboh. Anak perempuan dan bocah pria di sampingnya adalah anak tiri adiknya, Jamaliah. Mereka hilang ketika tsunami meluluhlantakkan Kota Meulaboh.

Zainuddin kembali ke rumah. Baru diceritakan pada orang rumah tentang apa yang baru dilihatnya di kedai kopi Ros. Dia juga baru mengisahkan mimpinya yang sama persis dengan kejadian disaksikannya di warung Ros. Padahal saat bermimpi dulu, Zainuddin hanya menanggap sebagai bunga tidur belaka dan tak menceritakan pada siapapun.

Suasana di rumah Zainuddin heboh. Lalu ia menekan tombol handphonenya, mencari nama Septi. Tak sabar, dia ingin segera menceritakan kabar gembira kepada adik iparnya yang – sejak dua bulan usai tsunami – memilih tinggal di desa kelahirannya, Paringgonan, sebuah desa di pedalaman Sumatera Utara yang dikelilingi pepohonan rindang.

Dari ujung telepon terdengar suara, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.” Zainuddin tidak sabar. Ia kembali menekan nama Septi. Pesan yang sama terdengar. Berulang kali dicobanya. Ketika malam menyelimuti siang, Zanuddin kembali beberapa kali menghubungi Septi. Tetap jawabannya sama.

“Malam itu, saya tidak bisa tidur karena terus memikirkan kenapa nomor HP Septi tidak aktif,” ujar Zainuddin. [BERSAMBUNG…]

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.