Friday, April 26, 2024
spot_img

Sekolah Alam untuk Anak Pemulung [2]

Baca Juga: Sekolah Alam untuk Anak Pemulung

ISNI WARDATON (20), seorang relawan OC yang mengajari anak-anak di TPA mengaku senang bisa membantu mengajar di sana, karena mereka tidak ditekankan harus mengajar ini dan itu, tapi mereka boleh mengajarkan apa yang mereka bisa.

“Aku suka mendongeng dan membaca cerita, makanya aku mau mengajarkan mereka itu. Hitung-hitung belajar sambil bermain,” ujarnya saat ditanyakan kenapa ia mau bersusah-susah dan jauh-jauh berangkat dari Darussalam untuk mengajarkan anak-anak itu.

“Anak-anak itu semangat sekali belajarnya, apalagi yang ceweknya, juga aktif. Jadi, semangat juga ngajarnya.” Baiquni (25), relawan lain memberi kesannya.

Begitu juga dengan anak-anak didiknya. Tidak ada batas umur di sana. Semua diterima, mulai dari usia pra-sekolah hingga usia SMA. Saat komunitas ini baru berdiri, jumlah murid yang hadir hanya berkisar tujuh atau delapan orang, namun sekarang jumlah murid yang sudah rajin hadir berkisar antara 25 dan 30 orang. Anak-anak yang belajar di sana adalah anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan kebanyakannya adalah pemulung di daerah TPA. Bahkan, Sabri, tanpa malu-malu, dengan suara yang cukup lantang, ia menjawab; “Sampah,” ketika ditanyakan pekerjaan ayahnya.

Ia hanya mengangguk sekilas, saat dikoreksi, bahwa bukan sampah pekerjaan ayahnya, melainkan “memunguti sampah atau pemulung.” Ia tetap mengulangi, jawaban yang sama, seperti yang diucapkannya pertama kali, ketika ditanyakan lagi, apa pekerjaan ibunya. Begitu juga ketika ditanyakan, di mana ia tinggal, Sabri hanya menunjuk ke seberang jalan: lokasi sampah-sampah menggunung.

Tak jauh dari tempat belajar, gundukan sampah menjulang laksana bukit-bukit kecil di tengah pagar seng bekas. Tak ada pohon satu pun di sana. Hanya lalu lalang orang penunggu mobil bak terbuka yang mengangkut sampah warga kota. Dengan setia mereka terus mengorek, mengumpulkan botol plastik, seng bekas, atau hanya selembar kardus.

Di sela-sela bukit sampah itu, bangunan berdinding seng bekas, berjejer. Di sanalah para pemulung yang berprofesi sebagai pencari sampah tinggal.

Untuk yang bertugas memilah sampah, kebanyakan tinggal di tempat berdekatan dengan TPA. Rosliah (38) dan Rini Monita (29), keduanya merupakan pekerja yang bertugas memilah sampah sesuai kategori, yaitu sampah plastik. Keduanya tinggal di Pelanggahan.

“Sekilo dihargai Rp1.500. Jadi, kira-kira sehari bisa dapat Rp15 ribu atau Rp20 ribu, cukuplah dek, paling tidak bisalah sedikit membantu keuangan keluarga, apalagi dengan suami yang hanya bekerja sebagai tukang becak,” ujar Rosliah. Tangannya cekatan memisahkan plastik penutup botol mineral, membersihkan, dan menyusunnya.

Tak jauh, dari tempatnya memilah sampah, sebuah ayunan tampak menggantung di atas tumpukan kardus. Sesekali ayunan itu sedikit bergerak, saat lalat-lalat bermanufer menggelitiki kaki mungil yang ada di dalamnya.

“Itu anak saya, Husna, baru berusia 1,5 tahun.” Rini angkat bicara, sedari tadi ia hanya menganggukkan kepala, membenarkan perkataan Rosliah, sambil sesekali nyelutuk.

“Ya dek, kami sama. Suami saya juga narek becak,” kata Rini.

Tangannya juga secekatan tangan Rosliah, ia terus membuang plastik penutup botol itu dengan pisau lipat kecil. Di samping tempatnya duduk, seorang bocah perempuan mungil, tampak santai dalam ayunan. Ia duduk dalam ayunan, dengan kedua tangan digenggamnya erat pada ayunan itu. Kaki dekilnya menyentuh tanah, karena ayunan itu digantung terlalu dekat dengan tanah. Namanya Dara Safrina (2,5), putri bungsu Rosliah. Kedua bocah perempuan itu selalu dibawa saat mereka bekerja.

Rini dan Rosliah mengaku senang dan bersyukur akan adanya pihak-pihak yang masih peduli terhadap anak-anak kurang mampu, seperti anak-anak pemulung yang ada di daerah TPA Kampong Jawa Aceh itu.

“Kami hanya berharap semoga usaha kecil ini tak sia-sia, dan paling tidak mampu mencegah mereka dari aktivitas yang merendahkan diri dan martabat mereka sebagai manusia yang berbudaya. Serta mereka akan sadar betapa pentingnya ilmu dan ajaran agama dalam keseharian mereka, karena kami yakin, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang didukung oleh keimanan dan ketakwaanlah yang mampu menjadi senjata pamungkas untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan.” Ulas Silvi panjang lebar.

Saat ini, Silvi beserta teman-teman OC, sedang sibuk menyemarakkan program 1.000 sepeda yang digagas oleh Tabrani Yunis. Gerakan ini merupakan gerakan sosial non-profit murni yang bertujuan membantu mempermudah anak-anak kurang mampu di Aceh dalam mengakses sekolah mereka dengan pemberian satu unit sepeda. Bagi yang ingin berpartisispasi, bantuan dapat diberikan dalam bentuk sepeda seharga Rp700 ribu atau sejumlah uang senilai Rp700 ribu. Hingga sekarang, dana yang sudah berhasil Silvi kumpulkan untuk berpartisipasi dalam gerakan ini baru Rp400 ribu, kurang Rp300 ribu lagi.

“Jika program ini sukses, maka dari seribu sepeda itu, kiranya adek-adek dalam asuhan OC bisa mendapatkannya. Kasihan mereka. rumah mereka jauh dari tempat pengajaran,” ujar Silvi

Silvi dan teman-teman OC juga mengajak semua pihak untuk bergabung bersama mereka. Memberi bantuan, baik secara material maupun spriritual, hingga suatu saat nanti, anak-anak tersebut tidak lagi belajar dengan beralaskan bumi dan beratapkan langit. Agar Natasya dan Sabri beserta puluhan anak-anak pemulung lain bisa menggapai cita-cita meski berada di antara tumpukan sampah. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU