Thursday, April 25, 2024
spot_img

Scholarship

Scholarship

Saiful Mahdi*

Scholarship sering diterjemahkan sebagai ‘beasiswa’. Tidak salah. Tapi kita sering abai dengan makna lain dari kata ini. Ternyata ada beberapa yang lain.

Menurut kamus Cambridge, selain berarti beasiswa, scholarship juga bermakna ‘studi yang detil dan serius’ atau ‘kualitas, metode, atau kinerja seorang sarjana’. Hampir sama, kamus Oxford Learner’s memaknai scholarship sebagai ‘studi serius tentang sebuah bidang akademik dan semua ilmu dan metode yang terlibat’.

Tapi biasanya, bagi Saya, memahami sebuah kata tak lengkap rasanya tanpa melihatnya dalam tesaurus. Sayang, tidak banyak pembelajar sekarang yang tahu apa itu tesaurus, apalagi menggunakannya. Padahal semuanya sekarang tersedia secara online dan gratis.

Menurut tesaurus Merriam-Webster, scholarship adalah ‘informasi dan pemahaman yang diperoleh dari keterdidikan’ (understanding and information gained from being educated). Inilah yang sering diterjemahkan sebagai ‘kesarjanaan’.

Jadi, selain berarti ‘beasiswa’, scholarship juga bermakna ‘kesarjanaan’ dan makna terakhir ini tak kalah seringnya dipakai oleh penutur Bahasa Inggris. Sayang, bagi sebagian besar kira, kata scholarship itu makin sempit maknanya menjadi sekedar ‘beasiswa’.

Banyak sarjana, minus kesarjanaan?

Puluhan ribu sarjana terus dilahirkan. Ribuan melanjutkan ke pendidikan pascasarjana. Lahirlah kemudian magister atau master, dan doktor. Sebagian doktor di institusi akademik menjadi profesor.

Tapi makin sering pula kita dengar keluhan terhadap para sarjana kita. Mulai yang pasaran seperti “ngapain jadi sarjana, banyak sarjana yang nganggur kok”, “sarjana kita tidak siap bekerja”, atau “untuk apa jadi sarjana, kalau dengan ijazah paket-C saja bisa jadi anggota dewan perwakilan”.

Atau dari Pidie pernah kita dengar “untuk jadi bupati tak perlu sarjana, cukup sarjani”. Kabupaten ini pernah dipimpin seorang bupati bernama Sarjani yang mantan kombatan GAM dan waktu itu tak bergelar sarjana.

Atau tuduhan yang lebih serius. Misalnya, tentang rendahnya kinerja para sarjana kita dibandingkan negara-negara ASEAN, dihitung dari aneka indeks untuk publikasi internasional, jumlah sitasi, jumlah buku yang dihasilkan, dan fakta banyaknya mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Singapore, Malaysia, dan Thailand ketimbang sebaliknya.

Atau karena banyak yang bergelar doktor dan profesor yang juga terlibat KKN, lantas ada yang mengejek “profesor dan doktor saja korupsi, apa guna sekolah tinggi”.

Jelas ini bukan sekedar masalah jumlah atau kuantitas orang ‘bersekolah tinggi’ dan ‘bergelar sarjana’. Ini masalah ‘kesarjanaan’.

Terbukti saat pemerintah memberi insentif besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir untuk mendorong penelitian dan publikasi internasional. Jumlah konferensi internasional meningkat drastis. Publikasi internasional kita juga meningkat jauh. Tapi “kesarjanaan” para sarjana Indonesia masih tetap belum sebaik yang diharapkan. Masalah-masalah di atas masih terus terjadi. Bahkan masalah baru muncul.

Kita dipermalukan oleh banyaknya publikasi ilmiah sarjana kita yang ternyata masuk dalam jurnal predatori atau jurnal tak jelas dari negeri-negeri yang terkenal dengan aneka skim penipuannya. Banyak sarjana kita yang ternyata melakukan saling rujuk berlebihan dalam jaringan yang sama. Dosen memaksa mahasiswanya melakukan sitasi terhadap publikasinya. Tujuannya agar angka sitasi yang menjadi salah satu indikator kinerja utama dosen bisa terus diangkat.

Publikasi terindeks para sarjana Indonesia yang tertinggi adalah publikasi lewat “konferensi internasional” yang diindeks secara berbayar. Untuk publikasi model begini, para sarjana Indonesia sudah meninggalkan jauh bukan hanya teman-temannya di ASEAN, tapi juga Jepang! Tapi untuk publikasi pada jurnal internasional dengan indeks yang lebih serius, kita masih tetap saja tertinggal jauh.

Ini jelas bukan masalah jumlah sarjana. Ini masalah kesarjanaan. Dan masalah kita bukan dimulai pada level pendidikan S1, S2, dan S3. Masalah kita bisa dilacak pada pendidikan sejak anak usia SMP. Setiap hasil tes PISA dan TIMSS keluar, skor anak-anak usia SMP Indonesia selalu kalah jauh dari anak-anak usia yang sama di negara lainnya. Kita lemah di semua tes yang diujikan: matematika, sains, dan membaca.

Pada setiap hasil PISA (The Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) anak-anak kita pola kemampuannya yang lemah itu masih sama. Agak lumanyan untuk soal-soal yang menguji low order thinking skills (LOTS) seperti hafalan atau sekedar tahu dan sedikit memahami materi pelajaran di sekolah. Tapi selalu tertinggal untuk soal-soal yang menguji high order thinking skills (HOTS). Soal HOTS biasanya menguji kemampuan analisa, sintesa, menghubungkan dan atau menggabungkan informasi yang ada, hingga melakukan evaluasi dan menciptakan pemikiran dan hal baru (berpikir dan berperilaku kiritis).

Artinya, kita gagal memupuk ‘kesarjanaan’ dalam pendidikan kita. Seperti diskusi di awal tulisan ini, scholarship atau kesarjanaan adalah ‘informasi dan pemahaman yang diperoleh dari keterdidikan’. Kesarjanaan menyangkut ‘studi yang detil dan serius’ atau ‘kualitas, metode, atau kinerja seorang pembelajar’.

Di negeri kita banyak sekali sekolah, tapi belum tentu menawarkan pendidikan. Karena ketersekolahan ternyata tidak sama dengan keterdidikan. Bukti ketersekolahan adalah ijazah. Bukti keterdidikan adalah kesarjanaan.

Bahkan profesor dan doktor pun belum tentu mempunyai kesarjanaan (scholarship). Walaupun mereka telah melampaui sekolah sarjana dan pascasarjana. Sayang sekali, sarjana tidak selalu identik dengan kesarjanaan.

Banyak sarjana, minus kesarjanaan?

*Pembelajar di International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Banda Aceh. Isi artikel adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU