FOTO: Ekspedisi Indonesia Biru

KAMI tak ada janji dengan Melanie Subono. Pekerja seni yang juga menjadi aktivis sosial, siang itu bertepatan sedang berada di Jawa Tengah. Ia melihat lusinan ibu-ibu yang bertahan di tenda di jalan masuk pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Lalu ia singgah di komunitas Sedulur Sikep atau pengikut Samin di Sukolilo.

Melanie tak kenal kami secara pribadi, begitu pula sebaliknya.

Kamera kami merekam dan mengikuti aktivitasnya. Itu terjadi di hari pertama kedatangan saya di pegunungan Kendeng. Suparta ‘Ucok’ Arz terpaksa ke Yogyakarta karena alat pengisi baterai drone (kamera terbang) tiba-tiba ngadat, tak mau mengisi daya.

Semarang, kota besar terdekat, sudah menyerah. Terpaksa saya menghubungi jaringan kawan-kawan komunitas drone yang pernah bergotong-royong memproduksi dokumenter ‘Belakang Hotel’ di Yogyakarta.

Jadilah saya berjalan ke Pati sendiri, dan Ucok ke Yogyakarta. Baru keesokan harinya, Ucok kembali bergabung dengan kabar yang mengembirakan sekaligus mengharukan: urusan drone beres dan kawan-kawan Yogya tak mau diberi imbalan sepeser pun atas jasanya.

***

Gunretno (46) mengarahkan kamera telepon genggamnya ke wajah seorang pria yang menuntun sepeda tua. Pria itu sama sekali tak terganggu. Ia langsung terlibat obralan bersama Gun dan tiga orang lainnya. Lokasinya di tapal batas areal penambangan sebuah pabrik semen, di Desa Koro, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

“Dilarang Masuk Area Tambang PT Semen Indonesia Tanpa Izin,” tulis sebuah peringatan yang dipahat di tugu bersemen setinggi dua meter.

Siang itu, diakhir Januari 2015, kami diajak Gunretno dan Joko Prianto (32) berkunjung ke Tuban. Gunretno adalah petani asal Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sedangkan Prin adalah petani asal Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Keduanya pernah dan dan sedang bersengketa dengan pabrik semen.

Mereka menempuh tiga jam perjalanan untuk sampai di Desa Koro, Tuban. Di sini, 20 tahun lalu, sebuah pabrik semen dari Gresik mulai beroperasi.

Tahun 1984, pria 70-an tahun itu mengaku telah melepas tanahnya seluas 1,5 hektar untuk penambangan semen.

“Waktu itu ya sebenarnya saya terpaksa, karena ditakut-takuti tidak akan dikasih jalan menuju lahan. Lha kalau tidak ada jalan, terus mau lewat mana. Ya, sudah akhirnya semua dijual,” katanya dalam bahasa Jawa,mengenang peristiwa 30 tahun silam.

Saat itu, tanahnya dihargai 600 rupiah per meter persegi.

Pria kedua adalah seorang pemuda lulusan SD yang baru selesai mengumpulkan daun jagung untuk pakan ternak.

“Dulu dijanjikan kerja, tapi nyatanya kami sekarang tidak bisa bekerja karena alasan ijazah. Zaman itu (Orde Baru) siapa yang berani bilang tidak, Mas,” tuturnya.

Gunretno dan Prin tekun menyimak. Kamera video di teleponnya tetap merekam.

Pria ketiga yang baru bergabung, memperkenalkan diri bernama Gunomat. Ia tak lebih muda dari pria pertama. Ia pernah punya tanah tiga hektar dan dijual dengan harga yang sama, 30 tahun lalu ke pabrik semen.

“Tanah saya sudah habis. Pelan-pelan dijual oleh sembilan anak saya. Sekarang sudah tidak punya apa-apa. Uangnya dibelikan sepeda motor. Barang seperti itu, ya cepat rusak. Sekarang tidak jadi apa-apa,” paparnya dalam Jawa.

Ketiga pria itu makin panjang bertutur. Termasuk dampak ledakan dinamit yang merusak genting dan lantai rumah warga. Baru beberapa waktu lalu Gunomat diberi tugas menjaga tanaman dan portal dengan gaji 750 ribu rupiah per bulan.

“Janji mendapat pekerjaan tidak ditepati. Tanah pertanian sudah kadung dijual. Belum lagi polusi dan rumah-rumah yang retak akibat ledakan dan tidak mendapat kompensasi. Kami tidak ingin semua itu terjadi di Pati dan Rembang,” kata Gun menyimpulkan.

GERAKAN SAMIN
Sejak 2006, Gunretno dan komunitas Sedulur Sikep menolak rencana pembangunan pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Areal yang akan ditambang mencapai 2.000 hektar. Padahal, di areal itu terdapat sekitar 1.400 hektar lahan pertanian produktif yang menjadi tulang punggung ekonomi warga.

Sedulur Sikep sendiri adalah penganut ajaran Samin Surosentiko alias Raden Kohar, seorang tokoh asal Blora yang tercatat pernah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890. Samin menolak pajak tanah yang dianggap terlalu membebani petani.

Sejak itu ,istilah ‘Samin’ identik dengan pembangkangan atau karakter keras kepala. Mereka menolak disebut Kejawen, dan bila diizinkan pemerintah, lebih memilih menulis kolom agama di KTP: Adam.

Gunretno dan adik perempuannya, Gunarti (40), adalah keluarga petani yang memelopori penolakan terhadap rencana ekspansi PT Semen Indonesia di Kabupaten Pati antara 2006 sampai 2009, ketika memenangi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung.

Kemenangan 200-an kepala keluarga Sedulur Sikep di Sukolilo, digenapi dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. Namun setelah mundur dari Pati, pada tahun 2012, PT Semen Indonesia justru mendapatkan izin di Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Tempat di mana Joko Prianto alias Prin menggantungkan hidupnya dari pertanian.

Sejak itu, Prin kerap mondar-mandir dari Rembang ke Pati untuk mempelajari gerakan sosial dari komunitas Sedulur Sikep. Mereka lalu melakukan studi banding ke Gresik atau Tuban untuk melihat bagaimana kehidupan para petani setalah beberapa dekade penambangan.

“Sedulur Sikep itu tidak boleh berdagang. Jadi kami hanya hidup dari hasil pertanian. Kalau satu-satunya sumber penghidupan kami berubah menjadi pabrik semen, lalu bagaimana kami hidup?” ujar Gunarti dalam Jawa ‘kasar’ (ngoko).

Sejarah Samin adalah sejarah perlawanan. Bahkan hingga ke bahasa. Mereka menolak menggunakan bahasa Jawa halus (krama) yang mencerminkan stratifikasi sosial.

Selain melarang berdagang atau jual beli, ajaran Samin juga menolak sistem pendidikan sekolah formal. Tiga anak Gunarti, tak ada yang bersekolah. Sebagai gantinya, ia mengajarkan baca tulis di rumah.

“Sekolah anak-anak kami itu ya di sawah. Belajar pertanian,” pungkasnya.

Tak hanya membantu warga Rembang, Gunretno dan Gunarti juga membantu warga kecamatan tetangga yang sedang berhadapan dengan pabrik semen yang lain: PT Sahabat Mulia Sakti (SMS). Anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa itu sedang menjajaki penambangan di Kecamatan Tambakromo dan Kayen.

Di perkampungan, warga memasang bambu runcing dan aneka poster yang menolak kehadiran pabrik semen. Tulisan “Tolak Semen” juga ditempel di setiap pintu rumah yang sebagia nbesar terbuat dari kayu dan berwujud Joglo (rumah tradisional Jawa).

Pengaruh gerakan Sedulur Sikep telah merasuk ke warga Tambakromo dan Kayen. Pada suatu siang, di pertengahan Januari 2015, Gunretno hanya membutuhkan setidaknya dua jam untuk mengumpulkan seribuan massa.

Mereka yang sedang bekerja ladang atau memasak di rumah, langsung menghentikan aktivitasnya begitu pengeras suara di masjid, mengimbau warga berkumpul di tengah sawah.

Di sana, Gunretno dan kawan-kawannya telah menyiapkan spanduk hitam sepanjang 20 meter yang ditempeli kertas bekas membentuk sebuah kalimat. Dari ketinggian 30 meter, barulah tulisan itu lebih mudah terbaca: “Tolak Pabrik Semen di Jawa”.

“Silakan membangun pabrik semen di tempat lain yang harga semennya mahal. Agar lebih dekat ke konsumen dan harganya murah. Jawa ini lumbung pangan. Kalau negara krisis semen, bukan masalah. Kalau krisis pangan?” tanya Gunretno diplomatis.

Sementara itu di Rembang, Prin didapuk berbicara di hadapan seratusan warga yang setiap Jumat malam melakukan pertemuan rutin selama proses persidangan di PTUN. Kaum pria dan perempuan membawa anak-anak mereka dalam pertemuan hingga larut malam.

“Kita harus saling menguatkan. Perjuangan ini sudah tinggal sejengkal lagi,” katanya.

Joko Prianto, lelaki 32 tahun itu sendiri mengaku sedang berpisah dengan istrinya karena mertuanya termasuk kelompok warga yang mendukung kehadiran semen, dan telah menjual tanah seluas 1,5 hektar.

Ketika artikel ini ditulis untuk The Geo Times, 5 Februari 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara di Semarang sedang bersidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

Pada hari itu, kami juga tengah mempersiapkan perjalanan berikutnya: Tengger. (bersambung)

DANDHY D. LAKSONO | SUPARTA ARZ | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.