Friday, April 19, 2024
spot_img

Saat Ikhlas Tak Lagi Tertawa

“KAK IMAH, Ikhlas pukul aku terus dari tadi,” sambil berusaha berhindar, Alex memikik tertahan. Ia berlari ke arah saya. Sesaat, Alex terus mengeluh, suaranya mulai meninggi. Dentuman pukulan botol air mineral kosong yang menyentuh tangan dan kaki Alex,terdengar keras.

“Ah, kamu kan sudah besar, mengalah sedikit,” saya mencoba menyela, sambil beranjak ke arah mereka, “jangan direspon, pasti dia berhenti.”

Suasana di TPM Tanyoe. | Dok TPM Tanyoe
Keributan antara Ikhlas dan Alex tak berkesudahan. Meski saya berusaha melerai, Ikhlas makin menjadi-jadi menghujamkan botol plastik kosong itu ke tubuh Alex. Ia berusaha menhindar. Mukanya memerah. Alex tetap berusaha tak membalas aksi Ikhlas.

Saya mencoba kembali melerai dua anak ini. Ikhlas memberontak. Kakinya terus menendang Alex. Sambi menggenggam dua tangan Ikhlas, saya memisahkan mereka. Setelah lepas, Ikhlas merapat ke dinding. Kedua tangannya menutup wajah. Hanya isak kecil yang sekarang terdengar.

“Ikhlas kenapa, dek?” Tak ada respons, ia diam seribu bahasa. “Ingin bermain dengan teman-teman?” Ia tetap diam. Gerakan kecil dilakukan tangannya, ia masih menutupi wajahnya. Sesekali tampak menyeka air mata.

“Enggak ada yang mau berkawan dengannya kak, karena dia jorok,” pekik Alex dari dalam ruangan Taman Pendidikan Masyarakat (TPM) Tanyoe, pekan lalu.

Setelah itu, bulir bening membasahi wajah kumal dan berdebunya itu. Gigi kuning sesekali menunjukkan diri, saat Ikhlas berusaha menahan tangis. Ia menangis tanpa suara, betul-betul tanpa suara.

Saya begitu iba. Sambil sedikit berjongkok, menyamakan ketinggian dengan ketinggiannnya yang hanya sepinggangku, saya menenangkan bocah ini.

“Ikhlas puasa?” Ia menggeleng.

“Sudah makan?” Ia menggeleng lagi.

“Mamak Ikhlas mana?”

“Jak u blang…. (pergi ke sawah)” Ikhlas akhirnya bersuara.

Sekilas, Ikhlas bak bocah tak terurus. Kakinya penuh parutan, bekas luka. Celananya, agak miring ke kanan: tampak seperti rok dari depan. Baunya menyengat. Sesekali ia menghirup ingusnya agar tak keluar.

Baju orange yang dikenakannya kumal. Jahitan tampak jelas karena ia memakainya terbalik. Tonjolan ke dua tulang selangka tampak jelas, karena bajunya bolong di kedua bagian itu. Kakinya penuh dengan lumpur yang telah mengering. Kuku, baik di tangan maupun di kaki, panjang dan sehitam tanah.

Lama ia berhenti di luar, di bawah panggangan sinar mentari. Saya berusaha meredakan tangisnya dan membujuknya masuk kembali ke gedung TPM. Hingga akhirnya ia patuh, melangkah manut, meski dengan muka yang masih ditutup. Ia menurut saja diajak masuk, dengan satu penawaran.

“Masuk, yuk! Kakak bacain cerita. Keren-keren loh ceritanya!”

Ia manut, tapi memberontak untuk diajak duduk. Jadinya, sebuah cerita mengalir untuknya sambil berdiri.

Ikhlas, murid kelas satu SD yang secara perawakan dan tingkah polah yang masih seperti anak-anak yang belum bersekolah. Ia tak tahu cara bergaul, hingga sering dimarahi dan tak jarang dipukuli teman-temannya. Tak ada teman yang mau bermain dengannya.

Kepalanya nyaris botak. Belang-belang gundul tampak jelas di antara gumpalan rambutnya yang terancam rontok. Ibunya berujar kalau ia terinfeksi jamur. Jamur itu menyebabkan rambutnya terlalu mudah rontok saat dicabut, tak ada rasa sakit ketika dicabut. Belang tempat rambut itu dicabut akan terus plontos, tak ada lagi rambut yang tumbuh.

Selain jorok, ia juga memiliki sedikit masalah dengan kesehatan. Ia selalu membuang air besar di dalam celana, sedikit demi sedikit, seolah katupnya tidak beres, hingga setiap waktu bagian celananya selalu berisi.

Rumor yang beredar di masyarakat pun begitu menyayat hati.

“Sayang si Ikhlas, ibunya terlalu sibuk di sawah, hingga tak sempat mengurusnya,” kata Kartini (62), seorang tetangganya. Begitu juga dengan tetangganya yang lain, rata-rata mereka semua mengatakan kalau kelainan Ikhlas adalah hasil dari ketidakacuhan orang tuanya.

Namun, Ajirna (40), ibunya, menyangkal tuduhan itu.

“Tidak, enggak benar itu. Orang memang suka sekali mengatakan yang bukan-bukan. Di rumah selalu ada si Ani (adiknya/bibi Ikhlas). Ikhlas selalu bermain dan dimandikan olehnya. Terkadang meski telah mandi, dia maunya memakai baju yang tadi dipakainya, baju yang dia suka. Kalau dilarang, ia akan menangis, karena sayang, ya kakak tak melarangnya.” Ujar perempuan itu panjang lebar.

“Dulu, bahkan ia selalu berak di celana, karena takut melihat “uuk,” sekarang kebiasaan buruknya sudah mendingan hilang. Setelah sering dimarahi dan diancam akan dipukul jika ia selalu berak dicelana oleh ayahnya. Sekarang, ia sudah mau berak di tempat yang seharusnya.”

Magrib telah tiba. Kumandang azan mulai menggema. Ikhlas masih dalam balutan baju orange yang sama dan dalam kondisi jorok yang sama. Ibunya hanya menyuruhnya pulang. Ia duduk di teras Dayah Lambirah, sementara teman-temannya yang lain berbondong-bondong belajar salat berjamaah di Dayah. Tak ada raut senyum di bibir mungil Ikhlas. []

Husnul Khatimah, tengah bersekolah jurnalistik di Muharram Journalism College. Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry mengabdikan hari-harinya untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak di Desa Lambirah, Sibreh, Aceh Besar. Bersama kawan-kawannya, ia mendirikan TPM Tanyoe.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU