Thursday, April 25, 2024
spot_img

Qanun KKR Harus Akomodasi Hak Korban

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Korban pelanggaran hak asasi manusia pada masa konflik Aceh berharap agar legislatif yang tengah membahas Rancangan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk lebih memperhatikan hak-hak para korban. Selama ini negara dinilai absen dalam pemenuhan hak dan keadilan bagi korban konflik.

Hal itu terungkap dalam diskusi publik yang menghadirkan korban pemberlakuan daerah operasi militer pada 1989-1998 dan darurat militer (2003-2005) di Rodya Cafe Banda Aceh, Kamis, 24 Oktober 2013.

Mukhlis, korban konflik asal Bireuen, mengharapkan agar Qanun KKR yang tengah digodok DPRA mengakomodasi hak-hak ribuan korban konflik di Aceh.

“Kalau keluhan dan hak-hak kami tidak diperhatikan dalam Qanun KKR, kami tidak tahu harus mengadu ke mana,” kata Mukhlis dalam diskusi tersebut.

Bersama korban konflik lain, Mukhlis mengaku pernah mengadukan nasib mereka kepada bupati. Namun, ia terhenyak ketika mendapati jawaban dari sang kepala daerah tersebut. “Saat kami ngadu ke bupati dibilang, alah lupain saja,” ujar Mukhlis.

Untuk itu, ia berharap agar Komisi A yang tengah membahas Qanun KKR menjadi salah satu tumpuan harapan para korban konflik. “Ini harus menjadi perhatian serius oleh Komisi A, minimal hak-hak korban terpenuhi,” pinta Mukhlis.

Mur, korban konflik asal Aceh Utara, berharap anak-anaknya bisa mengetahui nasib ayah mereka yang diculik pada 22 Agustus 1990 lalu. “Kalau suami saya sudah meninggal, kami perlu tahu di mana pusaranya. Anak-anak selalu bertanya di mana makam ayah mereka,” kata Mur.

Diskusi publik yang menghadirkan tiga korban konflik dari Aceh Utara dan Bireuen itu juga dihadiri Ketua Komisi A DPRA Adnan Beuransah, aktivis sipil, dan mahasiswa.

Direktur Flower Aceh Suraiya Kamaruzzaman meminta agar Qanun KKR mengakomodasi hak-hak korban, terutama dari kalangan perempuan. Sebab, selama ini Badan Reintegrasi Damai Aceh tidak memasukkan perempuan yang diperkosa oleh para pihak yang bertikai sebagai korban.

“Pengakuan terhadap korban perkosaan tidak pernah ada,” kata dia.

Ia bercerita, saat mendampingi korban kekerasan seksual mengurus kompensasi, Badan Reintegrasi Aceh meminta agar korban memberikan bukti telah mengalami tindak kekerasan seksual.

“Mereka minta bukti foto korban perkosaan,” ujarnya. Ia menilai, penanganan korban konflik di Aceh tidak memperhatikan gender.

Direktur LBH Banda Aceh Mustiqal Syahputra menilai selama ini negara absen dalam penanganan kasus korban kejahatan pada masa konflik.

“Delapan tahun negara absen,” kata dia.

Menurut Mustiqal, Undang-undang No 11/2006 mengamanatkan agar pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menangani korban konflik Aceh.

“Tapi dari tahun 2006 sampai sekarang, KKR belum terbentuk,” ujarnya.

Legislatif berjanji akan segera merampungkan pembahasan Qanun KKR dan memperhatikan suara-suara korban. Ketua Komisi A DPRA Adnan Beuransah menyebutkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk di Aceh bersifat permanen.

“Kini ini KKR ini permanen, bukan adhoc,” kata Adnan.

KKR, kata dia, nanti akan mendata korban dan memberikan keadilan bagi para korban. “Mencari data yang benar. (Untuk korban penghilangan paksa) itu harus ada pengakuan dari pelaku bahwa itu penghilangan secara paksa,” ujarnya. “Komisi ini harus menjadi solusi dan mengungkapkan kebenaran.” []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU