BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Qanun Hukum Jinayat yang disahkan parlemen dua pekan lalu masih mengundang silang pendapat. Gubernur Aceh hingga kini belum menandatangani Qanun yang mengatur tindak pidana menurut Islam. Bila Gubernur Irwandi menolak menandatangi, Qanun itu batal demi hukum.
Demikian yang disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Mawardi Ismail. Menurut Mawardi, sesuai mekanisme dan aturan yang ada, setiap Qanun harus dibahas bersama oleh dewan dan pemerintah Aceh.
Jika salah satu pihak masih tidak setuju, kata dia, aturan tersebut tidak bisa dipaksakan diberlakukan dan cacat menurut hukum. Hal ini seperti diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf (a) Undang Undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal itu berbunyi “DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: (a) membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama”.
“Secara legal formal, jika suatu Qanun tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka Qanun tersebut tidak bisa diberlakukan,” kata Mawardi saat dihubungi acehkita.com, Selasa (29/9).
Menurut Mawardi, legislatif (DPRA) dan eksekutif (Pemerintah Aceh) harus duduk kembali untuk membahas dan menyempurnakan Qanun tersebut.
“Kalau salah satu pihak tidak menandatangani maka harus dibahas kembali. Aturan itu tidak dapat diberlakukan, harus ada kesepakatan bersama,” sebutnya.
Seperti diberitakan kemarin, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf belum menandatangani Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat yang disahkan parlemen Aceh pada 14 September lalu. Sejumlah anggota dewan menyebutkan bahwa Qanun otomatis akan berlaku setelah 30 hari sejak disahkan, ditandatangani atau tidak oleh Gubernur.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, Pemerintah Aceh menolak rajam dimasukkan dalam qanun tersebut. Saat diajukan kepada legislatif pada 6 November 2008 lalu, eksekutif tidak memasukkan klausul rajam bagi pelaku zina. Dalam draf dari eksekutif itu disebutkan bahwa sanski maksimal yaitu 100 kali cambuk. []