Friday, April 19, 2024
spot_img

Petaka Usai Pembalakan

PENGANTAR: “Petaka Usai Pembalakan” merupakan tulisan yang dihasilkan Suparta setelah meraih beasiswa peliputan (fellowship) yang didanai The Society of Indonesian Environmental Journalists, lembaga yang berbasis di Jakarta, akhir 2009 lalu. Redaksi acehkita.com tidak mengedit lagi tulisan ini, karena sudah melalui mekanisme penilaian oleh juri yang terdiri atas Harry Surjadi, IGG Maha Adi, dan Oren Murphy.

Selamat membaca!

Redaksi

DIPAYUNGI duan pisang, Idris bergegas ke balai desa, mengikuti rapat rutin yang dilaksanakan saban Jumat pekan ke empat. Usai menunaikan Asar, 50 kepala keluarga berkumpul di balai desa, membahas berbagai persoalan di kampung mereka.

Sore itu, hujan deras yang mengguyur desa tak menyurutkan niat warga bertandang ke balai untuk bermusyawarah. Dalam perjalanan, Idris bertemu Geusyik Jafar, yang baru saja keluar dari warung Jaleman. Belum sampai ke balai desa, mereka dikejutkan suara gemuruh yang datang dari arah gunung. Dari kejauhan, air dari bukit tumpah ke perkampungan.

Air keruh yang datang tiba-tiba itu ikut menyeret ratusan batang kayu bulat (log) bekas tebangan di bukit itu. Air bah melumat apa saja yang ada di lintasannya. Seketika, perkempungan yang tadinya adem ayem saja, berubah gaduh. “Warga yang sudah berkumpul di balai panik,” kata Idris menceritakan awal petaka di kampungnya.

Tak menghiraukan hujan deras, warga yang tengah berkumpul di balai desa, berhamburan. Mereka segera pulang untuk menyelamatkan keluarga yang ditinggalkan di rumah. Perkampungan itu menjadi lautan yang dipenuhi gelondongan kayu beragam ukuran dan jenis. Sejumlah rumah warga rusak diterjang bah. Kalaupun ada yang berdiri kokoh, kondisinya rusak berat.

Peristiwa 13 tahun lalu itu belum lekang dari ingatan lelaki berusia 32 tahun itu. Pada Jumat di tahun 1997, Kampung Teupin Hasan, Kecamatan Sampoiniet, yang berjarak 38 kilometer sebelah timur Aceh Jaya, itu tenggelam diamuk air ‘bah’.

Walau tidak ada korban jiwa namun harta, ternak, tanaman palawija penduduk dikuras bandang. “Selama sepekan kami bermalam di bukit, dalam tenda beratap dedaunan. Sedangkan rumah kami semua terendam,” jelasnya.

Pascabanjir warga kembali berbenah, rumah yang hancur dibangun kembali. Belum sebulan ‘bah’ datang lagi, memporak-porandakan kampung. Tak tahan dengan kondisi ini, warga yang rumahnya di dataran rendah, dipindahkan secara gotong royong ke tempat yang lebih tinggi.

Banjir juga menyeret lumpur ke kebun kopi yang merupakan lapak warga menyambung hidup. Aceh Jaya dulu terkenal dengan produksi kopi Arabica. Desa Teupin Hasan salah satu lumbungnya. Kopi produksi mereka bahkan diekspor ke mancanegara. Kopi Ulee Kareng yang kesohor juga berasal dari Aceh Jaya.

Pada 1998 banjir kembali melanda Teupin Hasan: pada pada Juli, Agustus, November, dan Desember. Ini artinya, banjir menjadi langganan warga di sini saban musim penghujan. Setahun kemudian banjir kembali menyapa warga. “Lahan-lahan kami sudah digenangi lumpur dan sebagian menjadi rawa,” kenang Idris.

Banjir yang datang saban tahun membuat Teupin Hasan bukan lagi hunian asri di balik pegunungan Ulu Masen. Puncak kegelisahan warga terjadi pada 2001. Di tahun ini, banjir bandang yang mengangkut kayu-kayu log ke perkampungan merusak perkampungan.

Usai banjir ini, Teupin Hasan perlahan-lahan dijauhi penduduknya. Ia dibiarkan tak terurus lagi. Perkebunan kopi yang menjanjikan rupiah dibiarkan begitu saja, tak terurus. Ladang tempat bercocok tanam palawija, juga diabaikan. Teupin Hasan berubah menjadi rawa-rawa yang menakutkan.

“Warga kehilangan rumah dan lahan pekerjaan. Pohon kopi banyak yang mati. Tidak ada harapan lagi bermukim di Teupin Hasan,” kata Idris, menunjuk beberapa alasan warga memilih menjauh dari perkampungan, untuk selamanya.

Konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dengan orang GAM memperburuk keadaan.

Sebelum petaka itu datang, biji kopi membuat roda ekonomi Teupin Hasan berputar kencang. Simak saja pengakuan Mahdi, seorang pedagang cum penampung kopi warga. Dalam sehari, Mahdi harus menyediakan sedikitnya Rp12 juta untuk membeli kopi warga. Saat itu, harga tebus kopi mencapai Rp12.000 per kilogram. Bisa dibilang, warga di lembah Ulu Masen itu tergolong makmur.

Menurut Mahdi, awal 80-an, warga Aceh Jaya sempat menikmati tingginya harga kopi. Walau banyak kampung terisolasi, namun penduduknya mempunyai banyak uang dan perhiasan. “Rata-rata perempuan di kampung-kampung saat itu memakai emas di leher dan tangan,” kenang lelaki yang lahir 45 tahun lalu itu.

“Sekarang beginilah bekas kampung kami,” kata Mahdi saat menemani ACEHKITA.COM bertandang ke perkampungan Teupin Hasan yang telah berubah menjadi rawa. Rawa-rawa itu dijubeli dengan tumbuhan liar, tanaman rambat, hingga ilalang.

“Di sini dulunya perumahan penduduk,” tunjuk Mahdi. Tanah yang ditunjuk itu sama sekali tak menunjukkan bahwa di sana, warga Teupin Hasan pernah merajut hidup, bertetangga dengan hutan nan tentram.

“Di sekitar sana kebun warga,” tunjuk Mahdi ke arah selatan. Tanaman liar menguasai tempat berair itu.

Untuk mencapai Teupin Hasan tidaklah mudah. Di kiri-kanan jalan telah dijalari belukar. Di beberapa titik longsor juga mempersempit badan jalan. “Sangat jarang ada orang yang melintasi jalan ini, kecuali para pencari rotan dan pencari ikan. Dulu kendaraan hilir mudik di jalanan ini,” jelas Idris.

Menurut Idris, jalan ke Teupin Hasan dibangun oleh perusahaan HPH. Sejak tahun 1975, PT. Aceh Inti Timber mendapatkan hak untuk merambah hutan Aceh Jaya. Banyak akses jalan dan jembatan ke pedesaan mereka bangun, terutama jalan yang mempunyai akses jalan langsung ke kawasan hutan. “Dulunya jalan ini setapak,” jelasnya.

Masyarakat saat itu menerima dengan baik kehadiran HPH tersebut, bahkan pada tahun 1992, PT. Lamuri Timber yang mendapatkan hak konsesi yang sama di penggunungan Ulu Masen.

Fadli Syah, geuchik Gampong Masen, mengungkap, kampungnya kini juga turut menerima banjir kiriman. Sebelum tahun 1995, banjir tak pernah singah di Masen.

Sejak sejumlah HPH beropersi, hutan di pedalaman Ulu Masen gundul. “Desa kami yang langsung berbatasan dengan hutan, menerima dampak, selain banjir, gajah juga sering turun kampung, dua bulan lalu, seorang warga saya tewas diamuk gajah,” kata dia.

***

Fauna dan Flora Internasional (FFI) mencatat pada 1980, hutan Aceh masih memiliki luas sekitar 4,2 juta hektar. Pada tahun 2006 ditaksir hanya tinggal 3,3 juta hektar saja. Pengurangan luas hutan terbesar terjadi di kawasan Hutan Ulu Masen. Sekitar 30 sampai 40 persen dari luas hutan di Kabupaten tersebut hancur antara tahun 1980 sampai 2006.

”Dalam kurun waktu 26 tahun tersebut, 910 ribu hektar hutan Aceh terdegradasi akibat konsesi yang bersifat komersil ini,” kata Dewa Gumay, manager komunikasi FFI Aceh.

Saat ini Ulu Masen masih mempunyai luas tutupan hutan mencapai 738.856 hektar, setara dengan luas kepulauan Riau, atau setara 0,67 persen dari total luas kawasan hutan Indonesia. Kerusakan hutan Ulu Masen juga telah merusak sekitar 41 persen wilayah habitat gajah. “Konflik antara satwa dan manusia akan terus meningkat,” kata Dewa.

Ulu Masen merupakan sumber air bagi lebih dari 2 juta penduduk di 5 kabupaten di Aceh: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Penduduknya bergantung dari 17 daerah aliran sungai (DAS) dari Ulu Masen.

“Hutan ini tergolong unik, yang mengkombinasi hutan dataran rendah dan hutan dataran tinggi, “di dalamnya terdapat berbagai tumbuhan dan sejumlah spesies hewan yang dilindungi,” jelasnya

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008), luas hutan di Aceh berkurang hingga 914.222 hektare. “Dalam setahun hutan di Aceh berkurang rata-rata sekitar 32.657 hektare,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar.

Berkurangnya luas kawasan hutan di Aceh, Menurut Zulfikar berdampak pada bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat. Pada 2007 peristiwa banjir dalam setahun baru sekitar 46 kejadian, tahun 2008 naik menjadi 100 kejadian, dan naik lagi menjadi 134 kejadian pada 2009.

Selain banjir, peristiwa tanah longsor juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007 masih delapan kejadian namun pada 2008 naik drastis menjadi 37 kejadian, dan 2009 40 kejadian. “Bencana alam itu menjadi bukti bahwa pengurangan luas kawasan hutan setiap tahun telah berdampak lingkungan dan manusia,”

***

Sejak 6 Juni 2007 Pemerintah Aceh menerapkan program jeda tebang Hutan (Moratorium Logging). Tujuannya menekan angka kerusakan hutan di Aceh, termasuk mengevaluasi praktik HPH dan menginventarisasi ulang semua perijinan hak konsesi lain seperti pertambangan dan perkebunan yang bermasalah secara ekologis.

Kenyataannya, kebijakan Irwandi Yusuf, sang Gubernur Aceh itu, belum juga mampu mencegah aksi pembalakan liar. Penebangan hutan masih terus berlangsung. Alasanya masyarakat yang selama ini bergantung pada hutan tidak punya ketrampilan serta modal untuk beralih profesi.

“Program pemerintah itu hanya lips service belaka, karena tidak didukung dengan pengawasan yang serius di lapangan,” kata aktivis lingkungan M Oki Kurniawan.

Menurut dia, disejumlah kabupaten di Aceh masih saja terjadi pembalakan. Parahnya lagi, pemerintah juga mendanai pembukaan sejumlah ruas jalan baru, yang melintasi hutan lindung.

“Saya melihat ada kepentingan lain dari pembukaan jalan-jalan baru itu. Jika untuk kepentingan penduduk kita bisa memaklumi, tapi seperti di Jantho (Aceh Besar) tidak ada pemukiman di sana. Bahkan jalan tersebut digunakan pihak tertentu untuk mengangkut kayu,” kata Oki memberi contoh pembukaan jalan sepanajang 30 KM yang melintasi Penggunungan Jantho (Aceh Besar)- Lamno (Aceh Jaya).

Di kawasan yang dikatakan Oki tersebut, sejumlah truk pengangkut kayu hilir mudik mengangkut balok-balok kayu yang baru saja dibelah. Balok-balok kayu serupa juga terlihat ditumpuk disejumlah persimpangan jalan baru tersebut.

Udin, cukong kayu di Aceh Besar, menyatakan, tidak mudah mengeluarkan kayu dari hutan untuk diangkut ke panglong (kilang kayu) yang berada di kota. Untuk menghindari pemeriksaan, mereka mengangkut kayu tersebut pada dini hari.

”Kalau kena tangkap saat membawa, cukup dengan membayar komisi, langsung dilepas di tempat, jumlah komisi tergantung negosiasi,” jelas pria 40 tahun tersebut.

Walau Polisi Hutan (Polhut) sering merazia pembalakan liar sampai ke hutan, namun tidak pernah menyentuh dirinya juga toke (cukong) besar lainnya. Udin mengaku memasang ’kaki’ di instansi tersebut,

”Ketika menjelang razia, kami sudah dapat informasi, jadi kayu duluan kami pindahkan ke tempat aman, aktivitas penebangan juga kami hentikan sementara,” akunya.

Jalil, seorang penebang di pedalaman Pidie mengaku, hanya menerima upah dari para cukong. Sekubik, dia hanya mendapatkan 500 ribu rupiah saja.

Profesi penebang telah dia geluti sejak 17 tahun lalu. Jalil sadar kerjanya itu akan berdampak terhadap lingkungan. Namun tak ada pilihan lain, hanya menebang keahlian yang dia miliki. Dari sini, asap dapurnya bisa terus mengepul untuk menghidupi istri dan empat anaknya.

“Menebang pekerjaan yang berat dan berisiko, kalau ketahuan aparat pasti ditangkap dan tebusannya tidak sepadan setahun menebang,” ungkap pria 40 tahun itu. “Saya ingin beralih profesi, seandainya ada pekerjaan lain.”

Dia mengaku tak sembarang menebang. Ia membabat hutan hanya bila ada pesanan. Paling banter, dalam sehari, “hanya” mengolah sekubik kayu jadi. Dari satu kubik kayu yang berhasil ditebang, ia hanya kebagian Rp 300.000. Jali juga mempekerjakan 3 tenaga pengakut dengan imbalan Rp 200.000 perkubik.

Data yang dilansir Greenomics Indonesia, sedikitnya 200.329 hektar hutan di Aceh telah rusak sejak 2005 dengan alasan untuk kebutuhan rekosntruksi pascatsunami. Padahal, Pemerintah Aceh sedang giat-giatnya mengampanyekan pelestarian hutan. Sebab, Aceh telah menandatangani pakta penjualan karbon ke sejumlah negara penghasil emisi.

Nyatanya, hutan Aceh terus tergerus saban hari. Greenomics Indonesia juga mendata, kerusakan hutan paling parah terjadi di kawasan barat Aceh seluas 56.539 hektar, disusul wilayah selatan (48.906 hektar), pantai timur (30.893 hektar), dan kawasan tengah (19.516 hektar). Akibatnya, 47 daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan karena berada di areal illegal logging. “Kerusakan ini mengancam fungsi ekologi,” kata Vanda Mutia Dewi, Koordinator Program Nasional Greenomics Indonesia.

Belakangan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan program moratorium logging (jeda tebang) yang dicanangkannya pada 2007 lalu, bukan untuk mencegah pelaku illegal logging, namun untuk mencegah legal logging oleh pemegang HPH yang mengantongi izin dari pemerintah sebelumnya.

”Ada anggapan program jeda tebang gagal, padahal yang saya cegah itu legal logging bukan illegal logging. Pemberlakuan jeda tebang, berhasil menghentikan perambahan hutan dilakukan oleh pengusaha secara legal. Halusnya mereka disebut pengusaha padahal mereka perambah hutan.”

Menurutnya, saat itu Meteri Kehutanan bermaksud memperbarui izin baru bagi lima HPH untuk beropresi di Aceh, ”Itu yang ingin kita cegah, melalui jeda tebang.”. Jika tidak dicegah, kata dia, ada 500 ribu hektar hutan Aceh yang akan rusak akibat pemberian izinnya.”Kalau sekarang ada hutan Aceh yang sompel-sompel (dirambah), itu punya rakyat.”

Jelas Irwadi, lebih 1,6 juta hektar hutan Aceh hancur akibat dirambah oleh para pengusaha di masa lalu, yang mengantongi izin dari pemerintah Orde Baru. Ulah mereka juga merusak 715 ribu hektar Daerah Aliran Sungai (DAS) di provinsi ini.

Aceh, kata Irwandi, memiliki kawasan hutan terbesar di Sumatera. “80 persen hutan di Pulau Sumatera berada di Aceh,” katanya. Menurutnya, luas hutan Aceh mencapai 3,3 juta hektar. 2,7 juta hektar di antaranya merupakan kawasan hutan konservasi, 640 ribu hektar lagi kawasan hutan budidaya.

Namun, kerusakannya yang kian mengkhawatir dalam 30 tahun terakhir, mengancam kehidupan ekosistem bumi dan hutan diambang kepunahan. “Bencana demi bencana mulai kita rasakan sekarang,” ujar Irwandi. Seluas 715 ribu hektar DAS di Aceh juga sudah rusak, karena seringnya terjadi banjir dan longsor akibat dari dampak hancurnya hutan. ”Selama 2009 saja Aceh telah mengalami banjir sebanyak 40 kali banjir,” tukasnya

Data kepolisian daerah Aceh meyebutkan, pascapenerapan Moratorium Logging, terjadi penurunan secara drastis intensitas penabangan liar di Aceh. Dimana sebelum pembeelakuan jeda tebang polisi menangani 500-600 kasus illegal logging dalam setahun.

”Pada 2008 terjadi 160 kasus, dan pada 2009 hanya 120 kasus illegal logging, yang ditangani polisi,” ungkap kepala Kepolisian Aceh Irjen Pol Adityawarman.

***
Atas jasanya menjaga kawasan hutan, Aceh disebut-sebut akan menerima kuncuran dana dari negara-negara penghasil emisi melalui mekanisme karbon credit atau REDD (Reduction Emision Deforestrasi dan Degradasi), dengan Skema Voluentary Market.

Salah satu kesepakatan Protokol Kyoto 1997, Negara-negara industrilalisasi penghasil emisi terbesar diwajibkan untuk menurunkan emisi gas karbon penyebab utama pemanasan global.

Bila tidak mempu menurunkan emisinya, negara-negara tersebut harus menebus dosa dengan membayar kompensasi pada negera-negara yang masih menjaga hutannya malalui sistem perdagangan karbon.

Baru-baru ini Merrill Lynch International, salah satu bank di Inggris berkomitmen membeli karbon hutan Ulu Masen senilai 10 juta dollar AS dengan catatan Aceh mampu mempertahankan hutannya. Merrill Lynch baru akan membayar jika kawasan hutan Ulu Masen sudah memiliki sertifikat kredit. ”Hal itu juga masih komitmen, pembelian karbon baru akan berlaku pada 2012 setelah kesepakatan Protokol Kyoto berkahir,” kata aktivis FFI Aceh Dewa Gumay.

Menurutnya, Aceh yang masih memiliki tutupan hutan yang cukup baik, akan sangat menarik bagi pembeli karbon, karena sangat memungkinkan untuk diberikan pendanaan. agar tutupan hutan yang diclaim kepasar karbon dapat terus dipertahankan, pemerintah Aceh harus mempertahankan wilayah tutupan hutan dari kerusakan, juga harus menanam kembali hutan yang telah gundul, agar petaka Teupin Hasan tak menimpa penduduk di kawasan lain. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU