Anggota Kongres Filipina Rufus B. Rodriguez di DPRA. | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM

MANILA — Sabtu (15 Agustus), ribuan masyarakat Aceh memperingati 10 tahun penandatanganan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Pusat Filipina berharap bisa mengakhiri konflik di Mindanao seperti berakhirnya konflik antara Jakarta dan Aceh.

Lebih empat dekade pertempuran dan serangkaian proses perdamaian telah dilakukan di Pulau Mindanao, Filipina selatan.

Konflik telah menewaskan sekitar 120 ribu orang dan menelantarkan lebih dari dua juta orang akibat kaum Mislim Mindanao mengangkat senjata untuk meraih kemerdekaan dari nusantara.

Sekarang, Filipina dan Mindanao menghadapi kesepakatan damai –melalui Undang-Undang Dasar Bangsamoro– yang diharapkan bisa mengakhiri konflik selama empat dekade ini.

Situasi di Mindanao mirip dengan kondisi Aceh sebelum penandatanganan perjanjian damai dengan Jakarta pada 15 Agustus 2005 lalu. Kesepakatan di Helsinki itu mengakhiri tiga dekade konflik bersenjata di Tanah Seulanga.

Prospek perdamaian di Mindanao telah membawa harapan bahwa model penyelesaian konflik Aceh dapat digunakan untuk mengakhiri pemberontakan yang telah lama berlangsung di sejumlah kawasan di Asia Tenggara, seperti di Aceh.

Di Thailand selatan, kekerasan juga terjadi setelah kelompok Muslim di sana mengangkat senjata untuk memerdekakan diri selama beberapa dekade. Di Myanmar, kelompok suku seperti Karen dan Kachin juga berjuang untuk sebuah kemerdekaan dari Pusat.

Rencana perdamaian Filifina membayangi pembentukan daerah otonomi bagi Muslim Mindanao, yang disebut Bangsamoro.

Situasi yang Berbeda
Meski beberapa ahli menunjukkan bahwa ada kesamaan antara situasi di Mindanao dan Aceh sebelum kesepakatan damai, namun sejumlah kalangan menyatakan ada perbedaan.

Salah satu perbedaan adalah secara geografis. “Dalam kasus Aceh, titik referensi selalu Provinsi Aceh,” kata Miriam Coronel-Ferrer, kepala negosiator dari Panel Perdamaian Pemerintah Filipina.

“Dalam kasus Bangsamoro, kita sedang berbicara sekitar seratus tahun di mana ada pergeseran demografis secara signifikan di daerah yang didominasi oleh Muslim dan masyarakat adat lainnya. Akhirnya menjadi tempat untuk migrasi bagi orang-orang yang datang dari Luzon dan Visayas. Jadi ruang yang sebenarnya di mana pemerintah otonom akan berdiri harus dididefinisikan.”

Perbedaan lain adalah tantangan Filipina menyatukan kelompok-kelompok separatis yang memisahkan diri dan membuat mereka menempel dalam proses perundingan. Satu faksi sempalan, Bangsamoro Islamic Freedom Movement, telah menolak perundingan damai. Indonesia beruntung, karena kelompok bersenjata bersatu, tidak terpecah.

Tantangan besar lain adalah pada dukungan dari Senat. Sementara ada dukungan dari eksekutif, nasib perjanjian damai yang komprehensif sekarang terletak pada Senat, yang sedang berjuang untuk keluar dari proses damai, sbeelum pemerintahan berikutnya dimulai. (Baca: Parlemen Filipina Pelajari Perdamaian Aceh)

Meskipun berbeda, ada pelajaran yang bisa dipetik dari Aceh.

“Orang-orang dalam negosiasi MILF, baik pada pemerintah dan sisi MILF, telah berusaha sangat keras untuk belajar dari proses damai sebelumnya,” kata Steve Rood, wakil The Asia Foundation Filipina.

“Mereka melatih orang-orang untuk masuk ke posisi pemerintah, mereka datang dengan rencana ekonomi sebelumnya dan mereka sudah melatih orang-orang untuk menjalankan partai politik, partai politik sipil. Mereka mencoba untuk belajar pelajaran; mereka berusaha untuk menjadi lebih siap.”

Ini adalah proses yang lambat yang akan memakan waktu beberapa lama untuk bisa diimplementasikan. Kemajuan Aceh, sementara tanpa perjuangan sendiri, akan memberikan wawasan metode terbaik pelaksanaan dan perjuangan ke depan. []

CHANNEL NEWS ASIA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.