PUASA kali adalah pertama sekali kujalani jauh dari rumah, meski sudah beberapa tahun ini berada di negeri rantau. Tahun-tahun sebelumnya, saya selalu berkesempatan pulang berpuasa dan berlebaran bersama suami, anak, dan sanak keluarga lainnya. Tahun-tahun kemarin, liburan musim panas (summer) selalu bertepatan dengan puasa hingga lebaran.

Musim libur tahun ini tak bisa saya gunakan untuk pulang, merayakan puasa dan lebaran di tengah-tengah keluarga. Tahun ini, saya harus berkorban dan memilih tidak mudik. Pasalnya, tenggat tesis semakin mepet. Saya harus segera merampungkan tesis pendidikan magister di bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi di National Chung Hsing Universty Taichung, Taiwan.

Awalnya, ini keputusan yang sedikit berat saya ambil, mengingat saya belum pernah berpuasa atau berlebaran di tanah rantau. Perasaan haru-biru melingkupi saya –tidak menemani suami dan anak pada hari suci dan mulia. Saya merasa berat karena tidak bisa menyediakan santap sahur dan menu berbuka bagi sang suami, atau tidak bisa mengajak putri semata wayang kami keliling kota berburu takjil. Saya juga gelisah tak bisa menikmati kekhusukan tarawih di masjid-masjid yang ramai, sembari melanjutkan menikmati secangkir kopi hitam di kotaku.

Saya berpikir akan mengalami homesick saat berpuasa di Taichung, tanah rantau yang sudah saya diami dalam beberapa tahun terakhir ini.

Nyatanya, puasa di Taichung tak sepahit yang saya bayangkan. Meski jauh dari keluarga, saya tak benar-benar merasa terasing. Banyak teman-teman seiman dari pelbagai belahan dunia memutuskan untuk tak pulang ke kampung halaman mereka. Kesimpulannya saya tak sendiri. Di samping itu, Alhamdulillah, sudah menjadi ciri khas masjid utama Taichung menyediakan menu berbuka dan menu sahur secara gratis, dengan hidangan beraneka ragam.

Rata-rata semua pekerja dan mahasiswa menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul selama Ramadan untuk berbuka, bersilaturrahmi dan menunaikan ibadah tarawih yang berjumlah 11 rakaat. Jemaah pun berasal dari berbagai belahan dunia, mulai dari Timur-Tengah, Afrika, India, Pakistan, Eropa, Indonesia dll. Saya sendiri selalu mendapat tumpangan gratis antar-jemput dari teman satu kampus atau si ummi mualaf –ibu dari satu anak—yang menikah dengan orang Mesir. Bahkan si ummi selalu menghubungi saya untuk mengecek apakah ada yang antar atau tidak, terkadang saya sendiri tak enak hati karena kebaikannya.

Ada hal yang menarik selama berbuka puasa di masjid utama Taichung yang terletak di Dadun South Road, Nantun District, Taichung City. Berbuka puasa dibagi menjadi dua tahap. Tahap awal, para jemaah disuguhkan minuman dingin dan beraneka ragam buah-buahan termasuk kurma, dan kue tepung pedas sumbangan rutin dari warga Pakistan. Rasa kue tepung ini terbilang unik hampir mirip bakwan tapi rempah-rempahnya lebih terasa dan rasa pedas lada bercampur cabai menjadi ciri khasnya. Setiap hari laku keras dan tak pernah bersisa. Kemudian para jemaah melakukan salat Magrib bersama.

Tahap kedua saatnya makan bersama. Yang menarik adalah untuk hari Senin hingga Kamis biasanya makanan yang disediakan adalah masakan Tiongkok/Taiwan. Hari Jumat masakan khas Pakistan dengan menu andalannya Nasi putih, nasi kuning Briyani, roti sejenis canai dan kari ayam plus daging yang tak jauh seperti masakan India pada umumnya, rasanya pun dijamin nikmat karena penyumbang adalah pemilik restaurant halal Pakistan atau India Muslim yg usahanya tebilang sukses.

Kalau saya mengunjungi restorannya langsung tak kurang dari 150 ribu harus saya keluarkan dari kantong jajan untuk satu porsi makanan saja. Untuk hari Sabtu dan Ahad merupakan makanan Indonesia, mengingat weekend banyak pekerja TKI/TKW yang libur dan datang ke masjid. Biasanya pada weekend dapur masjid dikendalikan oleh warga Indonesia, mulai dari menyiapakan masakan, minuman dll. Jadi apabila rindu makan makanan tanah air, Ahad adalah hari yang kita tunggu-tunggu selaku mahasiswa Indonesia. Weekend merupakan hari yang sesak dan penuh dengan jemaah mengingat pekerja Indonesia rata-rata libur pada waktu tersebut.

Hal unik lainya adanya program khusus bagi anak-anak sekolah dasar, kalau di Aceh lebih dikenal dengan pesantren kilat. Anak-anak muslim yang tinggal di Taiwan diikutsertakan dalam kegiatan ini. Mereka harus menginap di masjid, kegiatan yang dilaksanakan pun berupa praktik ibadah bersama, mulai dari salat jemaah bersama, puasa bersama, sahur bersama, mengaji bersama dan kelas tambahan seperti kelas agama Islam serta kelas bahasa Arab.

Tujuan kegiatan diharapakan agar anak-anak muslim minoritas di Taiwan dapat lebih menganal Islam secara mendalam dan memanfaatkan liburan selama Ramadan untuk belajar beribadah dengan lebih khusuk. Anak-anak yang ikut tergabung dalam kegiatan ini biasanya memakai papan nama dan ketika berbuka puasa meja pun telah disediakan secara terpisah. Tabiat mereka pun tak jauh berbeda seperti anak-anaknya seusianya, pola tingkah yang lucu, ribut dan tak henti-hentinya berguyon terkadang membuat jamaah lainya ikut tertawa.

Walaupun Ramadan kali ini saya jauh dari kelurga tapi tak sedikitpun berkurang nikmat-Nya ang saya rasakan. Perasaan sendiri tak lagi menjadi bumerang, karna banyak sahabat-sahabat dari pelbagai suku yang selalu membuat saya merasa seperti keluarga ketika berada di tanah rantau. []

ZIKRAYANTI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.