Saturday, April 20, 2024
spot_img

Papua, Kisah Cengkeraman Garuda di Bumi Cenderawasih

PETRUS REFFASIE MIKE tampak bersemangat. Meski seorang diri, ia terus bertepuk tangan, tanpa ada dukungan. Ketika jeda diskusi, ia segera berpendapat. “Baru kali ini ada diskusi yang berbicara jujur sekali tentang bangsa Papua,” ujarnya, disambut tepuk tangan peserta lain. Beberapa orang terlihat mengangguk setuju.

Menanggapi perihal konflik Papua, nada suaranya tiba-tiba meninggi. “Sebetulnya, ada hal mendasar sebuah akar persoalan yang terjadi antara Papua dan Indonesia. Indonesia ini berasal dari bangsa Melayu, sedangkan kami adalah bangsa Melanesia,” ujarnya berapi-api.

Raut wajah Petrus bertambah tegang. Ia bangun dari duduknya dan melihat ke semua peserta diskusi. “Yang perlu diketahui, sejak TNI dikirimkan tahun 1961 ke Papua, bukan Belanda yang dibunuh, tapi kami orang Papua,” ujarnya bergetar.

Petrus, memberi nilai A plus atas pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan Indonesia di tanah Papua. Ibarat sebuah cerita, cenderawasih dicengkeram garuda di sarangnya sendiri.

Adegan itu bukanlah debat kusir, melainkan sebuah dialog nasional bertajuk “Membingkai Kebhinnekaan Kekitaan di Ufuk Timur”. Diskusi ini membedah pemikiran Viktor Kaisiepo Msn, tokoh Papua. Semua pemikiran itu, tertuang dalam buku yang dicatat orang Belanda, Willem Campschreuer. Oleh mahasiswa Psikologi Fakultas Humaniora, Bina Nusantara (Binus) University, buku tersebut dibedah Selasa, pertengahan Juli lalu.

Menurut Johanne Riberu, penerjemah buku berjudul “Satu Perspektif Untuk Papua – Cerita Kehidupan dan Perjuanganku”, Papua sebenarnya ingin merdeka dan bebas mengatur nasibnya sendiri. Namun, Viktor menjadi tokoh yang sangat bijaksana. Dalam bukunya, lelaki yang tutup usia di Amerspfoot, Belanda, dua tahun lalu ini menegaskan, apakah Papua akan sanggup mengatur diri sebagai sebuah Negara! Sedangkan di Bumi Cenderawasih ini, ada puluhan suku, layaknya Indonesia.

Lelaki yang mangkat di usia 62 tahun ini, seperti disampaikan Riberu, pernah ditawarkan menjadi gubernur. Namun, jawaban Viktor membuat masyarakat Papua terengah. “Kalau kita memang mau, masing-masing suku di Papua haruslah mempunyai gubernur. Kita terlalu banyak suku,” ujar Viktor seperti dituturkan Riberu.

Viktor, dalam bukunya merumuskan, Papua adalah bangsa, maka Papua juga harus mendapatkan hak-haknya sebagai sebuah bangsa. Baginya, kemerdekaan adalah tujuan ideal dari setiap bangsa. Namun, ia menyadari, untuk mencapainya tentu sulit, butuh perjalanan yang panjang.

Doktor Psikologi Universitas Indonesia, Ichsan Malik, yang juga menjadi tokoh perdamaian di Maluku, dan Poso menjelaskan, persoalan Papua seharusnya diselesaikan melalui sebuah dialog.

“Dalam konteks psikologi perdamaian, kekitaan Indonesia ini belum tercipta. Di mana, bangsa Papua masih menyebutkan ‘kami bangsa Papua, sedang kalian bangsa Indonesia’,” jelas Ichsan.

Kekitaan yang dimaksud adalah kebhinnekaan dan kemajemukan Indonesia. Namun, ada jarak yang sangat jauh, yang oleh Ichsan, diibaratkan sebagai kekitaan yang retak.

“Jadi yang selalu muncul, Papua adalah dan hitam dan bodoh. Sedangkan Indonesia adalah sang musuh. Kalau begini, penyelesaian tidak akan tercipta,” ujarnya.

Konflik Papua sudah terjadi sejak tahun 1960-an. Ketika itu Belanda memberi kemerdekaan bagi Papua. Setelahnya Indonesia mulai masuk dengan melancarkan Operasi Mandala. Di tahun 1967, Freeport, sebuah perusahaan tambang emas mulai ‘menjamah’ kekayaan Papua. Suharto memberikan izin puluhan tahun bagi perusahaan asal Amerika ini untuk mengeruk hasil alam Papua. Bisnis besar mulai terendus sejak saat itu.

“Keruwetan mulai terjadi sejak saat itu. Papua tetap pada perspektif Belanda, yaitu mereka adalah bangsa yang merdeka. Sedangkan Indonesia tetap dengan perspektif sendiri,” jelas Ichsan.

Freeport oleh sebagian bangsa Papua dianggap sebagai perusahaan yang amat merugikan. Tidak heran, hampir setiap pekan terjadi kontak senjata antara pasukan Papua merdeka, dengan pasukan republik. Sebagai perusahaan tambang emas terbesar di dunia, Freeport sampai mengeluarkan anggaran miliaran Rupiah untuk biaya kemanaan dari aparat RI.

Selain beroperasi di Indonesia, Freeport juga menguras hasil bumi di Tanke Fungurame (Kongo), El Abra (Chile), Arizona, Cerru Verde (Peru), dan di Terron, New Mexico. Izin Freeport di Papua, Indonesia berlaku hingga tahun 2021.

Dalam film dokumenter tentang Papua yang berjudul Alkinemokiye, garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono, diungkapkan, dalam sepuluh tahun terakhir ini, Freeport membiayai keamanan Indonesia sebanyak Rp711 miliar. Hal itu disanyalir sebagai sebab banyaknya penembakan di Papua yang kasusnya buntu. Tidak jelas siapa yang melakukan penembakan.

“Dalam laporan keuangannya, Freeport menyatakan telah mengeluarkan jutaan dolar per tahun untuk aparat keamanan Indonesia. Tahun 2001, tercatat sebanyak US $ 4,5 juta, terus menanjak di 2010, menjadi US $ 17 juta,” bahas film tersebut.

Gaji pekerja di Freeport McMorran pun, betul-betul miring. Per jam para buruh tersebut dibayar 3,5 dolar. Bandingkan dengan pimpinannya, Jamers R. Moffett, yang digaji 1,8 miliar per bulannya. Apabila disamaratakan, gaji Moffett berbanding dengan 545 karyawan lainnya. Tidak heran jika 8.000 pekerja melakukan aksi mogok pada 2011. Hal yang sama terjadi di Peru. 1.400 pekerja mangkir dari dinas, mereka menuntut kenaikan upah.

Dalam tulisannya yang berjudul “Dasar-Dasar Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat”, Ottis Simopiaref, orang Papua asli yang kini tinggal di Belanda, menyebutkan, ada empat faktor yang membuat rakyat Papua ingin negara sendiri, yang berdaulat dan lepas dari ‘penjajahan’ Indonesia. Empat faktor tersebut berkaitan dengan hak, budaya, latar belakang sejarah, dan realitas yang terjadi sekarang.

Seperti yang diatur dalam Deklarasi Universal HAM, yang menjamin hak individu berdasarkan konvenant internasional, hak-hak sipil dan politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam penentuan nasib sendiri.

Sedangkan budaya Papua, merupakan mereka yang berasal dari rumpun bangsa Melanesia yang mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropolog, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan Indonesia berasal dari ras Melayu, yang terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan beberapa wilayah lainnya.

Kedua wilayah – Indonesia dan Papua – memang sama-sama dijajah oleh Belanda. Namun, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, pada tahun 1949, diatur sebuah perjanjian, bahwa Papua Barat tidaklah termasuk dalam bagian negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Papua baru jelas setahun kemudian, dengan mereka sendiri yang memilih, atau voting yang dikenal dengan Pepera: memilih merdeka atau tetap bersama Indonesia.

Seperti pemikiran Victor, lewat buku tersebut, Papua mengklaim telah merdeka sejak 1 Desember 1961. Saat itu, posisi Belanda di PBB, lemah. Gejolak terus terjadi di timur Indonesia itu. Hingga pada 1968, Papua setahun berada di bawah PBB. Dalam setahun tersebut dilakukan musyawarah-mufakat, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Riberu menyebutkan, Pepera melibatkan 2.000 pemilih. Namun, di luar dugaan, hanya satu orang saja yang memilih Papua menjadi negara yang merdeka. Padahal, sebelumnya rakyat Papua sungguh yakin, saat itu, mereka akan benar-benar merdeka. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

“Semua telah diatur. Mengenai siapa pemilihnya dan siapa yang harus dipilih,” ujar Riberu, menjelaskan fakta sejarah yang dituangkan dalam buku pemikiran Viktor tersebut.

Riberu mengatakan, semuanya telah diatur. “Ini yang dinamakan intervensi rekayasa. Mereka menang mutlak dengan cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata dia.

Mulai sejak itu, konflik Papua-Indonesia, yang gerakannya dimulai tahun 1965, mulai terus memanas. Padahal, Sebagai bangsa yang bermartabat, seharusnya kedua pihak harus membuka pembicaraan untuk menuju meja perundingan.

“Kedua belah pihak sekarang seperti takut berunding. Yang perlu dicatat, dialog menjadi penting. Sebagai manusia, dialog merupakan salah satu cara untuk berhubungan, yaitu komunikasi,” kata Ichsan.

Ichsan menambahkan, ada beberapa komponen untuk bisa membangun kekitaan Indonesia, khususnya di tanah Papua. Seharusnya, kedua belah pihak, baik Jakarta maupun Papua, haruslah mempunyai sebuah harapan. Kemudian, harus dibangun identitas bersama sebagai sebuah bangsa.

“Saat ini, kekitaan tersebut adalah palsu. Kekitaan yang sejati, adalah ketika sejarah telah lurus dan bisa sama-sama membangun masa depan. Dengan itu, akan muncul empati, sehingga terbangun kata kita, bukan kami dan kalian.”

Namun, Petrus menyangsikan hal itu. Selama masih ada anggapan orang kulit hitam yang tinggal di tanah Papua bukanlah mereka yang layak dihormati, maka azas kekitaan tersebut tidaklah tercipta.

“Tolong terima kami sebagai manusia,” ucap Petrus dengan mata berlinang. Bulir kecil mengembang dari balik bingkai kacamata yang ia kenakan.

Petrus mengungkapkan, Ali Murtopo (asisten pribadi Presiden Suharto) pernah bilang ‘Silakan Amerika cari tanah di benua lain untuk memindahkan masyarakat Papua, tapi jangan kalian pindahkan kekayaan Papua’.”

Pada akhirnya, sebuah pertanyaan menyentak tiba-tiba disampaikan bapak tiga anak ini. “Apa benar Papua bagian dari Indonesia?” []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU