Friday, March 29, 2024
spot_img

OPINI | Siapa Main Hakim Sendiri?

SAAT darurat militer ditetapkan di Aceh, tahun 2003, pemberitaan media massa baik lokal maupun nasional memberikan porsi sangat kecil pada suara masyarakat. Mayoritas narasumber media berasal dari pihak-pihak resmi seperti penguasa darurat militer atau TNI. Suara masyarakat terpinggirkan karena kebenaran seolah-olah hanya datang dari otoritas berwenang saat itu.

Media mainstream cenderung menurunkan berita-berita tak kritis, tanpa cover-both sides, dan minim verifikasi atau cek dan ricek. Pembenarannya: dalam status darurat militer ruang gerak media dibatasi, pemberitaan dipantau otoritas, media kehilangan independesi.

Saat itu pula, tidak sedikit warga sipil dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau partisannya. Label separatis pun disematkan. Ada yang ditangkap hidup-hidup, ada pula yang tinggal nama. Tanpa pengadilan mereka langsung dihakimi, tanpa hakim mereka langsung divonis bersalah.

Salah satu yang sempat menarik perhatian media massa adalah kasus penembakan Ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) Aceh Utara, Teuku Adnansyah. Beberapa media meliput kasus ini dengan cara berbeda. Harian Kompas, 4 Oktober 2003, yang mengutip pernyataan pihak kepolisian cenderung membenarkan penembakan tersebut. Beliau memang sempat ditangkap polisi karena dituduh terlibat sebagai penyandang dana pihak GAM, tetapi saat akan dibawa ke kantor polisi disebutkan dia coba melarikan diri dengan melompat dari mobil, akibatnya polisi terpaksa menembak Adnansyah. Sementara majalah Gatra, punya cerita lain. Media ini menganggap alasan penembakan tersebut adalah janggal. Alasannya bagaimana mungkin korban bisa melompat dan lari dari mobil sementara ia saat itu juga diapit oleh dua petugas. Plus beberapa hal lain yang dianggap media ini sebagai keanehan.

Contoh lain yaitu pemberitaan tentang terorisme. Ada masyarakat yang tidak tahu apa-apa, karena pernah punya hubungan dengan pelaku teror langsung dituduh media sebagai anggota jaringan teroris. Tanpa pengadilan, media memvonis mereka sebagai teroris. Serta masih banyak contoh kasus lainnya, seperti kasus korupsi dan kriminalitas lain.

Dalam kajian jurnalisme dinamika seperti itu dikenal dengan nama trial by the media, atau penghakiman oleh media atau pers. Media mengkonstruksikan persepsi baik bersalah atau tidak terhadap seseorang atau kasus sebelum adanya putusan pengadilan. Media seolah-olah menjadi hakim yang tanpa sadar telah terjebak dalam memutuskan kebenaran suatu perkara. Dampaknya jelas, terbentuknya opini publik baik itu maupun buruk terhadap seseorang, pencemaran nama baik hingga pembunuhan karakter.

Dinamika seperti ini marak terjadi pada pemberitaan tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dengan menghadirkan judul sensasional dan bombastis, media sering memakai kata-kata seakan-akan pihak yang diberitakan telah terbukti melanggar syariat. Parahnya, selain menemukan berita antara judul dan isinya tidak konsisten, saya juga menemukan judul berita yang telah menegaskan terduga pelaku pelanggaran, seperti pelaku mesum.

Parahnya saat ditelusuri isi beritanya lebih lanjut, tak ada satu bukti pun yang menjelaskan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar syariat. Bahkan para saksi yang diwawancarai juga tidak dapat membuktikannya. Berita-berita seperti ini jelas tidak ada verifikasi atau cek dan ricek langsung ke lapangan. Artinya berita yang kita baca tersebut, hanyalah berasal dari keterangan dengan para saksi, pelaku penggerebekan, atau aparatur pemerintah seperti WH dan Dinas Syariat Islam.

Mengutip Entman – dengan menggunakan pisau analisis framing – media sering menyeleksi sumber berita, memanipulasi pernyataannya, tidak menampilkan fakta secara apa adanya namun diberi bingkai yang akan menghasilkan makna yang spesifik.

Saya sering membayangkan bagaimana perasaan keluarga, anak, istri, suami, atau orang tua seseorang yang dituduh media telah melakukan tindak asusila atau kriminal, padahal dia belum terbukti bersalah. Atau mungkin tidak bersalah.

Sadar atau tidak, media telah “terjebak” dan ikut dalam memberitakan penghakiman ala massa serta terkesan membenarkan tindakan-tindakan massa dan menulisnya dengan cara menghakimi pula. Kalau sudah begini siapa yang main hakim sendiri?

Akhirnya, saban hari kita disuguhkan oleh pemberitaan syariat yang selalu menempatkan masyarakat sebagai pelaku pelanggaran, dan masyarakat adalah pihak yang paling mudah untuk disalahkan. Kondisi ini, kampir tak ada bedanya dengan pemberitaan di era darurat militer.[]

FAHMI YUNUS, pengamat media.
Tulisan ini pernah dimuat di Sharia News Watch edisi 02/2012

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU