Raymon di studio Radio Max FM. | FOTO: Suparta Arz/ACEHKITA.COM

SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR — “Bouh hai jak meutuwah, tapuesaboh hate… He la lai lai lai...” Bait lagu yang dinyanyikan Kurniatun Z ini saya dengar dari Radio Max FM. Siaran ini bukan dari radio yang dipancarkan di Banda Aceh, tapi jauh di Timur Indonesia sana; Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Saat itu, sang penyiar, Reymon, tengah membawakan program ‘Rundug Mandir’ atau ‘Selamat Malam’. Ini sebuah program bincang-bincang interaktif dalam bahasa daerah.

Si penelepon dapat menyapa dan mengirim ucapan apapun ke orang yang diinginkan dalam bahasa daerah asalnya. Para penelepon tak hanya penduduk asli di Sumba Timur, tapi juga beragam etnis di nusantara yang bermukim di sana.

Setiap ada telepon masuk, Raymon terlebih dahulu menyapa dengan ‘selamat malam’ lalu lawan bicaranya akan menyahut dengan bahasa daerahnya.

“Nah dari situ, baru saya tahu penelepon dari daerah mana. Maka obrolan dimulai dengan bahasa daerah tersebut,” kata Raymon kepada saya, Jumat (17/4/2015).

“Kalau kemudian saya tidak paham bahasa lawan bicara, maka saya akan ketawa-ketawa saja, sambil mempersilakan dia menyapa orang yang ingin disapanya,” lanjut Raymon.

Untuk membawa program ini, Raymon dituntut banyak tahu bahasa lokal dari tiap daerah. Minimal sapaan atau ucapan salam. Masa mudanya sebagai perantau, sedikitnya membantu dia banyak mengenal ragam bahasa daerah.

Sejauh ini, dia ‘menguasai’ bahasa-bahasa lokal daerah di bagian Timur Indonesia. Sedang dari bagian lain, hanya sepatah dua kata.

Di radio tempatnya bekerja, persediaan lagu-lagu daerah dari paling timur hingga paling barat Indonesia tersedia, yang diputar selama tiga jam saban Jumat malam.

“Termasuk lagu dari Aceh,” terang dia di sela-sela membawa programnya.

Wow. Setengah keget dan gembira, lalu saya memperkenalkan diri sebagai orang Aceh yang baru tiba di Pulau Sumba.

Raymon melanjutkan, “Dulu sering orang minta diputar lagu-lagu Aceh, mungkin dia kangen daerahnya, tapi sekarang tidak pernah lagi. Mungkin orangnya sudah pindah.”

Menurut dia, bila ada penelepon ingin lagu daerah tertentu diputar, dan lagu tersebut tidak ada di studionya. Maka dia akan meminta pada penelepon untuk menghubunginya kembali pekan depan. “Kami akan berusaha cari, lagu dari Aceh ini salah satunya.”

Dengan rasa gembira, dia kemudian menunjukkan lagu-lagu Aceh yang dulu sering diminta putar oleh peneleponnya, seperti Bungong Jeumpa, Seulanga, dan Aneuk Yatim untuk menyebut beberapa.

Malam ini, dia memutar dua judul lagu sekaligus untuk saya: “Jak Peutimang” dan “Wasiet Mak“. Kedua lagu itu didendangkan Kurniatun Z, seorang penyanyi Aceh yang menelurkan album “Spirit Inong Aceh“.

Malam pertama di pulau yang dikenal dengan musim kemarau paling ekstrem ini,
saya dan Dandhy Dwi Laksono larut dengan lagu-lagu lokal nusantara yang kadang punya iringan musik yang khas. Candaan Raymon dalam beragam bahasa daerah benar-benar menghibur kami yang baru tiba di Tanah Sumba. []

SUPARTA ARZ (@ucokparta)

Suparta Arz (@ucokparta) berada di Nusa Tenggara Timur dalam Ekspedisi Indonesia Biru bersama Dandhy Dwi Laksono (@dandhy_laksono). Mereka berangkat dari Pondok Gede, Bekasi, pada 1 Januari 2015. Selama setahun ini, mereka akan mengunjungi pelbagai daerah di Indonesia –termasuk Aceh yang diperkirakan pada Oktober atau November, dan dijadwalkan tiba kembali di Jakarta pada sore 31 Desember 2015.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.