ISENG pagi tadi kami mencoba Trans Kutaraja, dari depan Masjid Raya Baiturrahman ke Kampus Darussalam. Niatnya hendak mengenang sensasi berdesakan di sebuah angkutan umum, saat sebagai pelajar dan mahasiswa, dimulai sejak 19 tahun silam.
Berdesak, berhimpitan, dalam angkutan umum asal Jerman Timur, pabrikan Volkseigener Betrieb VEB Robur-Werke Zittau, atau lazim disebut Bus Robur, menjadi kenangan tersendiri bagi warga kota.
Dari ongkos 50 rupiah sampai selesai kuliah (2005), masih sering menggunakan jasa bus ini. Saingannya, labi-Labi dan Bus DAMRI. Kini, entah sejak dari kapan, dia telah hilang dari jalanan.

Di masa SMA, bersama genk selalu memilih Robur yang sudah berdesak, bersorak riuh ketika bertumpuk mengikuti irama rem mendadak Pak Supir. Akan jadi bahan cerita bila dapat tempat berdiri di samping kakak-kakak berseragam PDPK, dipuja-puji bila berhasil kenalan, disanjung jika dapat nomor telepon rumahnya.
Sangat jauh beda dengan Trans Kutaraja, walau gratis tak ada desak-desakan. Sepertinya kurang diminati, terutama remaja laki-laki, atau mungkin modus, tempat dan cara nakalnya yang sudah berubah? []
SUPARTA ARZ