PELUH membasahi wajah Mustawa kala hujan baru saja membasahi pemukiman warga. Derap langkahnya pelan. Membawa seikat tebu di pundaknya, lelaki itu menuju tempat penggilingan. Di sana, sejumlah perempuan dan lelaki lintas usia sudah menunggu. Tebu yang dibawa Mustawa berpindah tangan, lalu diraut hingga bersih. Sejurus kemudian, dua lelaki berdiri di depan dan belakang mesin penggiling. Satu per satu tebu dimasukkan ke mesin.
“Beginilah cara pertama membuat manisan dari tebu,” kata Mustawa, bendahara kelompok pengolah tebu kepada acehkita.com saat ditemui di tempat pembuatan manisan di Desa Lamgeuriheu, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Sabtu (4/5/2013).
Sembari mengaduk, api di perapian juga harus dijaga agar tak terlalu besar atau kecil. “Kalau apinya terlalu besar, manisan akan hangus, gosong,” ujar Mustawa. “Kalau terlalu kecil, manisannya tidak akan masak.”
Bersama 20 temannya, sejak setahun lalu Mustawa sudah memproduksi manisan. Dalam sekali panen tebu di areal seluas dua hektar, mereka bisa menghasilkan manisan antara satu hingga dua ton. “Ini merupakan kali kedua. Karena sekali panen tebu itu berkisar antara delapan hingga 13 bulan,” jelasnya.
Untuk kali ini, kebun tebu yang dikelola oleh anggota kelompok “Pengolah tebu” itu harus dipanen lebih awal. Pasalnya, mereka harus “rebutan” tebu-tebu yang telah ditanam itu dengan tikus sejak sebelum masa panen tiba. Akibatnya, dari dua hektar tebu yang ditanam, hanya lebih kurang satu hektar yang bisa dipanen.
“Itu pun panennya saat umur delapan bulan. Tahun ini hasilnya mungkin tidak banyak,” kata Mustawa.
***
SETAHUN lalu, produksi manisan Lhoong masih tradisional. Untuk menggiling tebu saja masih menggunakan tenaga kerbau. Dari penampungan, air tebu diangkut ke belanga untuk dimasak. Proses memasaknya pun membutuhkan waktu yang relatif lama. Dalam sehari, mereka hanya mampu memasak empat belanga. Hasil panen dua hektar, dibutuhkan waktu hingga sebulan lamanya untuk mengolah tebu menjadi manisan.
“Sekarang dua hektar hanya satu minggu. Dalam sehari kami mampu mengolah 10 tungku yaitu lima pagi dan lima waktu malam,” jelas Mustawa.
Panen tebu tahun kedua, mereka tak lagi menggunakan tenaga kerbau tapi sudah memiliki sebuah mesin penggilingan bantuan Menteri Pertanian setelah beberapa orang tim meninjau lokasi pembuatan manisan.
Bukan itu saja, mereka juga telah memiliki sepuluh dapur tempat memasak air yang dibangun di sebuah tempat di lokasi kebun tebu.
“Kita belum sanggup memenuhi permintaan pasar. Kita sekali panen kadang hanya dua ton. Padahal di Aceh Besar daya tampun manisan itu mencapai satu ton perminggu.”
Meski sudah menghasilkan manisan yang lumayan banyak untuk setiap panen tebu, namun mimpi Mustawa belum sepenuhnya terwujud. Ia berharap agar pemerintah memberi buku pedoman pengolahan ampas tebu kepada mereka.
Bukan tanpa alasan Mustawa mengharapkan itu. Selama memproduksi manisan, ampas tebu selalu mereka buang. “Padahal kalau ada buku pedoman, kami bisa mengolah lagi ampas tebu itu. Dan tidak harus kami buang sia-sia,” ungkap Mustawa.
Ia juga berharap pemerintah dapat memberi pelatihan kepada anggota kelompoknya itu agar manisan yang mereka hasilkan bukan manisan mentah, sehingga nilai ekonomis yang dihasilkan petani lebih besar.
“Setidaknya, manisan yang kami hasilkan itu dapat dibuat snack oleh perempuan anggota kelompok. Kalau sekarang, kami hanya memproduksi manisannya aja. Karena untuk lain belum ada ilmu,” aku Mustawa.
Meski begitu, ujar Mustawa, pemerintah telah membantu pengadaan mesin penggiling yang sangat membantu mereka. “Tapi sekarang kami membutuhkan pelatihan,” lanjutnya.
***
“Satu kaleng ini isinya 25 sampai 30 kilogram,” jelasnya.
Manisan-manisan yang telah jadi itu, akan dijual kepada para penampung di pasar Lambaro Kaphe, Aceh Besar. Manisan itu dijual dengan harga Rp6.500 per kilogram.
“Memang sudah ada yang tampung di sana. Mereka minta banyak. Tapi kami tidak belum sanggup untuk memasok ke wilayah tersebut,” ujarnya.
Pun demikian, kehidupan para pembuat manisan ini jauh sudah lebih bagus dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Nasib manis mereka mulai memancar dari setiap jengkal tebu yang diolah.
“Kami kadang sering meneteskan air mata saat mengenang masa-masa sulit yang kami alami,” kenangnya.[]