Wednesday, April 24, 2024
spot_img

Mulut Dikunci, Jempol Bersaksi

Sore, selepas menuntaskan tugas-tugas di kampus, saya bergegas dan dengan terburu-buru menuju warkop Cek Pan. Biasanya selepas mengajar saya pulang dulu ke rumah untuk sejenak rebahan, mandi atau bercengkrama dengan anak-anak. Namun sore itu beda, karena saya mendapat berita tidak enak dari salah satu grup percakapan WhatsApp yang mengutip salah satu media online, dengan judul, “Terbongkar! Kopi di Warkop Cek Pan Diduga Mengandung Formalin.”

“Brrruumm….” Sepeda motor yang biasa disebut kereta milik saya meluncur di jalan raya. Kami bersama menuju ke kedai Cek Pan.

Pembaca mana yang tidak terkejut dan terpancing emosinya membaca judul bombastis seperti itu. Sebagai pelanggan saya sempat berburuk sangka kepada pemilik warung yang juga sahabat saya. Kok tega-teganya ia memasukkan zat kimia yang biasanya dipakai sebagai pengawet mayat atau pembasmi serangga itu ke dalam barang dagangannya. Bukan hanya tega tapi kejam, pikir saya saat itu.

Dalam perjalanan, saya terus dibayangi ribuan gelas sanger atau kopi yang telah saya konsumsi, jika benar mengandung formalin. Namun saya juga mulai curiga atas tulisan yang telah tersebar secara viral itu.

Saya jadi teringat pada isi buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya jurnalis hebat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang menjadi salah satu “kitab” dan rujukan penting bagi wartawan. Bukan hanya untuk kepentingan jurnalisme, tapi buku itu juga penting bagi publik untuk memahami bagaimana sebuah karya jurnalistik yang baik dan bermutu sehingga mampu membedakannya dengan berita sampah.

Salah satu elemen yang penting yang dibahas Kovach dan Rosenstiel adalah tentang disiplin verifikasi. Para wartawan dituntut untuk dapat menyaring isu, gosip atau desas-desus, bahkan manipulasi agar memperoleh informasi yang akurat. Disiplin verifikasi ini menjadi pembeda antara karya jurnalistik dengan propaganda, infotaiment, fiksi atau gosip murahan lainnya.

Saya tidak menemukan tanda-tanda diterapkannya disiplin verifikasi pada berita formalin di warkop Cek Pan. Sang penulis absen dalam melakukan cek dan ricek terhadap beritanya, apalagi membuktikan kopi berformalin melalui uji laboratorium atau setidaknya pernyataan dari lembaga yang berwenang. Semuanya tidak ada.

Keganjilan lain yang saya dapatkan, narasumber yang digunakan pada berita tersebut adalah nama inisial, bukan nama lengkap, serta tidak jelas siapa. Kemudian, tidak ada konfirmasi kepada pemilik warung yang dituduh atau tidak ada secuil pun konfirmasi dari Cek Pan. Dengan hanya mengutip seorang narasumber yang tidak jelas identitasnya plus “bumbu-bumbu”, saya mencurigai berita ini menjurus ke fitnah dan pembunuhan karakter seorang pria lulusan SMA pemilik warkop.

Sesampai di warkop, saya melihat dampak nyata dari suatu berita. Biasanya pada waktu sore seperti ini jumlah meja yang terisi mencapai 80 hingga 90 persen. Namun hari ini hanya 10 persen. Warkop Cek Pan sepi, tanpa pembeli. Saat melihat saya masuk ke warung, Cek Pan dengan senyum ramah seperti biasa menyapa saya, sambil berkata,

“Sanger, kan?”

Sebenarnya tanpa perlu bertanya dia sudah paham betul selera saya berdasarkan pembagian waktu. Karena ini “bulan muda” maka ia tahu bahwa saya pesan sanger. Namun, sepertinya ia belum paham tentang apa yang terjadi, sampai saya sodorkan smartphone saya, menunjukkan berita itu. Entah mengapa sampai saat ini Cek Pan belum tergerak hatinya untuk menggunakan ponsel yang multifungsi, itu. Dia masih setia menggunakan gadget yang memiliki tiga fungsi, yaitu telepon, SMS, dan senter.

Selepas membaca berita, Cek Pan tertegun sejenak. Terlihat raut sedih di wajahnya. Sambil memandang ke atas plafon warkop yang, ia mulai mengenang dan bercerita.

“Lon teuingat dilee watee konflik, almarhum ayah juga sempat dituduh GAM. Lalu beliau diinterogasi aparat, na keunong sipak bacut.

“Alasannya sederhana, karena warkop ayah dituduh sebagai pemasok logistik untuk GAM. Padahal, saat itu mungkin ada anggota GAM yang kebetulan ngopi, lalu ada yang melaporkannya. Hana ta teupeu sapeu, ka difitnah ayah lon.”

Peristiwa itu memang sempat menjadi cerita orang-orang di kampung kami. Karena semua orang tahu, Cek Pon, ayahnya Cek Pan, adalah seorang penjual kopi biasa yang tak ada sangkut-paut dengan urusan politik, apalagi terlibat GAM. Ternyata motifnya hanya karena kepentingan bisnis belaka. Fitnah itu dikembangkan oleh pesaing sesama warkop yang tidak senang dengan larisnya warkop ayah Cek Pan saat itu.

Syukur, masa pahit itu cepat berlalu.

“Jinoe, lon ka difitnah ngon formalin. Na saja udeep nyoe.”

Cek Pan mulai tersenyum dan paham mengapa hari ini keudee ini begitu sepi.

“Tanyoe hana tusoe, soe nyang fitnah. Tapi saya sayang kalau warkop ini terus sepi, saya membayangkan nasib dua orang karyawannya saya, istri dan anak-anak mereka yang masih kecil.”

“Belum bagaimana nasib janda-janda yang setiap hari menitipkan kue-kue buatan mereka di warung ini.”

“Saya takut membayangkan multiplier effect dari fitnah ini.”

Bukan hal aneh lagi sekarang ini berita-berita yang tidak jelas bahkan menjurus fitnah semakin digemari. Baik disengaja atau karena tanpa sadar, pengguna ponsel membagikan konten yang mereka sendiri tak paham konsekuensi yang akan ditimbulkan.

“Sekarang hanya dengan jempol, segala macam berita tersebar dan dibaca publik. Bahaya that, kalo berita-berita bohong terus diproduksi dan direproduksi.

“Nyang gawat jih, banyak dari masyarakat kita menelan mentah-mentah dan percaya. Lalu berujung pada permusuhan dan tindak kekerasan.”

“Lee that ureung nyang jeut keu musoh dan meupakee gara-gara berita lagee nyan.”

Saya kagum Cek Pan sangat tenang merespon musibah yang diterimanya. Dia sadar konsekuensi segala profesi, termasuk penjual kopi. Bahkan, ia berharap semoga orang yang memfitnahnya segera sadar.

“Di uroe akhee, enteuk tanyoe ditanyong tentang segala perbuatan di donya. Tapi saat itu mulut kita tidak bisa berbicara lagi. Tak ada yang bisa berbohong saat itu. Jempol-jempol yang sewaktu di dunia mengirimkan berita bohong akan bersaksi. Mereka akan bercerita apa yang telah diperbuatnya.”

Sayup-sayup terdengar suara almarhum Chrisye, dari radio:

“Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi..

Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita…”[]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU