Menteri Agraria Didesak Bentuk Komisi Independen Selesaikan Konflik Tanah

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, segera membentuk komisi independen untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa pertanahan antara perusahaan dan masyarakat yang terjadi di Aceh.

“Pembentukan komisi independen yang melibatkan berbagai pihak sangat penting karena maraknya konflik agraria di sejumlah daerah di Aceh akibat lemahnya peranan tim fasilitasi penyelesaian sengketa yang selama ini dibentuk pemerintah,” ujar koordinator tim advokasi masyarakat dari LBH Banda Aceh, Chandra Darusman, dalam siaran pers, Selasa (3/3/2015).

Dengan adanya komisi independen yang terbebas dari kepentingan seseorang, institusi dan kelompok manapun, peluang konflik agraria yang terjadi di Aceh dapat diselesaikan sesuai aturan hukum dengan menjunjung tinggi keadilan dan perlindungan hak rakyat atas tanah.

Ia mengharapkan kebijakan untuk penanganan sengketa pertanahan harus dilakukan secara sistematis dan terpadu, di antaranya dengan cara mengelompokkan permasalahan menurut tipologinya dan kemudian dilakukan pengkajian mendalam untuk mencari akar masalahnya.

Selain itu, tambahnya, komisi independen tersebut dapat mendorong upaya perbaikan serta perubahan sistem birokrasi pertanahan, karena yang ada selama ini cenderung membuka peluang munculnya sengketa pertanahan.

“Evaluasi perizinan di bidang pertanahan juga sangat penting dilakukan, terutama perizinan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) bagi perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, potensi konflik pertanahan terus terjadi dan masyarakat selalu menjadi korban,” katanya.

Menurut dia, tim fasilitasi penyelesaian sengketa pertanahan yang selama ini dibentuk baik di level provinsi maupun kabupaten/kota tak mampu menyelesaikan masalah. Tim terkesan hanya mendengarkan dan mencatat kasus tanpa membuahkan hasil yang berkeadilan, kata Chandra.

“Dampak tak terselesaikan kasus-kasus konflik tanah mengakibatkan munculnya kiminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan hak mereka atas tanah,” katanya.

Chandra menyontohkan konflik pertanahan yang terjadi antara PT. Rapala dan warga empat desa di dua kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang. 11 petani miskin yang memperjuangkan hak atas tanah ditangkap polisi dan sempat ditahan di Markas Polisi Daerah Aceh selama 10 hari sejak 15 Februari lalu.

“Meski ke-11 petani telah ditangguhkan penahanannya, namun proses hukum dalam aspek pidana akan terus berjalan,” katanya seraya menambahkan bahwa LBH Banda Aceh menjadi kuasa hukum masyarakat petani empat desa tersebut.

LBH Banda Aceh menyayangkan tindakan polisi karena warga miskin yang mempertahankan hak mereka atas tanah justru diproses hukum dengan dugaan melakukan serangkaian tindak pidana.

“Kriminalisasi terhadap masyarakat membuktikan bahwa penyelesaian konflik pertanahan di negeri ini belum berpihak kepada rakyat miskin dan kebijakan di bidang pertanahan masih saja berkiblat pada kepentingan pemilik modal,” ujar Chandra.

Selain kasus yang dialami warga Aceh Tamiang, masih banyak konflik agraria yang terjadi di Aceh belum terselesaikan. Dia memberi contoh PT. Bumi Flora yang bersengketa dengan masyarakat di lima kecamatan di Aceh Timur, kasus masyarakat Desa Padang Seurahet di Kabupaten Aceh Barat dengan pemerintah setempat, kasus PT Ubertraco/Nafasindo dengan masyarakat di Singkil, dan masih banyak kasus lain yang terjadi di Aceh.

“Setiap konflik pertanahan harus ditangani segera agar tidak meluas menjadi masalah yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat sehingga berdampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan,” tegasnya.[]

RILIS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.