Tuesday, April 23, 2024
spot_img

Menjaga Bakau Usai Donor Pergi

BANDA ACEH|ACEHKITA.COM — Lima tahun tsunami berlalu, wilayah pesisir Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, lumayan hijau. Bakau-bakau tumbuh di sekitar tambak warga dan di pantai yang berbatasan langsung dengan laut.

Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
Mangrove (bakau) di sana masih muda, juga tampak tak rata. Sebagian tumbuh setinggi dada, ada yang sepinggang orang dewasa ada juga yang lapang. Tinggi tak sama, karena saat penanaman awal setelah tsunami menggada, banyak yang mati terendam pasang. Hingga perlu ditambal ulang.

Di Lamnga, warga aktif mengawal reboisasi bakau. “Kami memulai tanam sejak April 2005, empat bulan setelah tsunami,” kata Muhammad, warga Lam Nga.

Menurutnya, saat tsunami akhir 2004 silam, Desa Lam Nga tenggelam. Selain menelan banyak korban jiwa, bakau-bakau yang tumbuh subur juga lenyap. Gersang, tiada pepohonan tersisa.

Sejak awal penanaman kembali, Muhammad yang saat itu masih di barak bersama warga korban lainnya terpanggil, untuk merehab bakau. Penanaman dilakukan setelah Menteri Kehutanan saat itu, MS Kaban, memerintahkan agar pesisir yang gersang akibat tsunami harus dihijaukan kembali.

Penanaman bakau di wilayah itu masuk dalam pengawasan Departemen Kehutanan, melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh. Desa Lam Nga, Kecamatan Masjid Raya, masuk blok empat aksi penanaman tahun 2005.

Awal penanaman bakau pada akhir 2005 silam, hanya ratusan yang hidup. Kemudian direhabilitasi kembali, artinya dimana ada yang mati, di situ ditanam lagi. Proses tersebut terus berlangsung. Pada desa tetangga, Lambada dan Kajhu juga sama.

Bibit datang dari berbagai penjuru. “Saya tidak ingat jumlahnya, karena banyak pihak yang menyumbang. Perkiraannya sampai ratusan ribu bibit,” sebut Muhammad.
Pascatsunami, banyak juga lembaga donor yang aktif terlibat dalam menfasilitasi penanam bakau.

Di Kecamatan Masjid Raya, luas area penanaman mencapai 140 hektar. Selanjutnya, jika ditambah dengan pesisir sekitar, yang mencakup area dari Kecamatan Baitussalam hingga Kreung Raya, Aceh Besar, luas totalnya sekitar 350 hektar.

Selain BPDAS, lembaga World Wildlife Fund (WWF) dan Wetlands International Indonesia Programme (WIIP) ikut membantu. Dua lembaga internasional yang bergerak di bidang lingkungan ambil bagian dalam program penanaman bakau di Aceh.

Area dalam pengawasan mereka lebih luas. Mencakup sepanjang pantai timur hingga barat Aceh. Mulai Aceh Timur, Sabang hingga Simeulu. “Luasnya sekitar seribu hektar,” kata Huzer Apriansyah, Communication Officer WWF Aceh, akhir tahun lalu.

Menurutnya, jelang lima tahun tsunami berlalu, kondisi bakau yang ditanam masih butuh perawatan rutin. “Memang tak semua yang kita tanam tumbuh, jika 100 batang kita tanam, mungkin hanya sekitar 70 batang yang tumbuh,” ujar Huzer.

Tapi Huzer tak bisa menunjukkan data konkrit tentang keberhasilan rehabilitasi bakau. WWF memperkirakan, dari keseluruhan bakau ditanam, sekitar 75 persen tumbuh. Ada beberapa sebab bakau tak tumbuh. Di antaranya, beberapa kawasan di Aceh, kadar tanahnya sudah dipenuhi pasir. Sedang bakau, tumbuhnya di tanah liat. “Partisipasi masyarakat di beberpa tempat juga kurang,” ujar Huzer.

Ia mencontohkan di pantai barat Aceh, banyak ternak warga seperti kerbau, yang leluasa memakan bakau. Ada juga dipesisir timur Aceh seperti Aceh Timur dan sebagian Lhokseumawe, warga merambah bakau yang telah ada, untuk dijadikan arang.

Tapi tak semua warga apatis. Di sejumlah tempat yang pernah diamuk tsunami, kepedulian warga terhadap tanaman mangrove cukup tinggi. Program yang difasilitasi oleh WWF sendiri telah berakhir pada Maret 2009 lalu. Kini semuanya dikembalikan kepada warga. Artinya, wargalah yang yang berperan penting terhadap kelanjutan kerja menghijaukan pesisir.

***
Beberapa daerah pesisir, seperti di Aceh Besar misalnya, warga dikenal aktif dalam penghijauan pantai. Sebutlah warga Lam Nga, yang telah melahirkan sebuah ikatan, Forum Masyarakat Peduli Mangrove. Forum itu konsentrasi pada mengawasi lingkungan, termasuk perawatan bakau. “Kami juga akan menjaga pohon-pohon di hutan agar tidak leluasa di tebang,” kata Muhammad, sang kordinator.

Di Kahju, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar juga sama. Warga juga sudah mempunyai forum untuk menjaga kerusakan pesisir. Lembaga ini baru dibentuk dengan ketuanya, Mahmud. Sebelumnya di Kajhu, warga terkenal aktif merawat bakau. Saban enam bulan sekali, tiap bakau yang ditanam tak tumbuh, mereka merehabilitasi kembali dengan bibit baru. “Sekarang bibit sudah kami semai sendiri, tidak perlu beli lagi atau tergantung pada bantuan,” ujar Muhammad.

Katanya, warga antusias dikarenakan bakau membawa keberuntungan bagi mereka. Selain mengasrikan lingkungan, mangrove juga bisa meningkatkan hasil tambak. Dengan adanya bakau, tanah tambak semakin liat dan menghasilkan banyak nutrisi. Batang bakau di air juga bisa membuat kalakap (lumut akar-red) yang bisa menjadi makanan tambahan bagi ekosistem di dalamnya.

Hasil tambakpun meningkat. “Kalau secara persentase ada sekitar 40 persen meningkat dibanding tahun lalu,” katanya. Ia punya tambak, peliharaannya ikan bandeng.

Di Desa Lamteungoh, Peukan Bada, Aceh Besar, warga juga bahu-bahu membahu merawat bakau yang telah ditanam di sana. Kepala Desa setempat, Baharuddin mengatakan ada dua lokasi penanaman di wilayahnya; satu di belakang perumahan warga dan satu lagi di ujung desa, pada sisi jalan yang sempat tergerus laut.

Penanamannya juga melibatkan masyarakat. Hasilnya, meski tak semua tumbuh baik tapi telah membuat kampung makin asri. “Di belakang perkampungan, bahkan warga juga menanam cemara dan sudah tumbuh,” ujarnya.

Setelah banyak program bantuan berakhir, warga pesisir harus lebih mandiri. Menjaga bakau bukan hanya untuk pemagar laut, pencegah erosi dan peredam gelombang raya, tapi bakau mampu meningkatkan hasil ikan di tambak-tambak warga.

Tercatat sebelum tsunami datang, kawasan pesisir sudah mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Pada tahun 2003, kurang lebih 288.000 hektar hutan pesisir sudah terdegradasi, terutama Aceh Timur. Sebanyak 26.000 hektar lahan hutan pantai gundul, dan hanya sekitar 31.500 hektar saja yang masih dalam kondisi yang baik. Tsunami kemudian telah mengakibatkan Aceh kehilangan lagi sekitar 33.000 hektar areal tanaman bakau.

Gambaran kondisi itu mencegangkan. Rehabilitasi bakau dirancang. Penanaman bibit manggrove terus digenjot untuk menghijaukan pantai setelah ombak gergasi datang menghantam. Program hutan pantai itu ditangani langung di bawah koordinasi Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) dengan melibatkan beberapa kalangan NGO/LSM.

Target awal dipasang. Dalam rencana induk Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang rehab rekon, pemerintah memasang angka target, 164.000 hektar kawasan pesisir harus ditanami bakau.

Program tahap pertama diluncurkan pada 2005, merangsang masyarakat menanam bakau. Sekitar 25.000 batang bakau disebarkan ke lokasi paling parah seperti Banda Aceh dan sebagian pesisir Aceh Besar. Tak maksimal karena banyak yang mati, program kedua dijalankan dengan jumlah bibit lebih besar lagi. Begitu seterusnya.

Wetlands International Indonesia Programme (WIIP) bersama WWF Indonesia, adalah dua lembaga yang terjun langsung dalam program penghijauan kembali pantai Aceh. Tahun 2005, mereka bersama BRR dan BPDAS Krueng Aceh, meluncurkan Program Green Coast. Program itu merupakan bagian dari upaya rehabilitasi ekosistem pesisir yang dilaksanakan pada lima negara terkena tsunami, yakni Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia dan Thailand.

Awal 2009, Representatif WIIP Aceh dan Nias, Eko Budi P mengatakan, dalam program itu selain menanam dan mengawasi sendiri, mereka ikut memfasilitasi sekitar 31 LSM lokal dan 29 kelompok masyarakat korban tsunami dalam melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat dalam merehabilitasi lahan mulai dari tahap perencanaan, penyiapan, penanaman dan perawatan bibit.

Menurutnya, tidak semua lokasi pesisir di Aceh masuk dalam program mereka. Sebagian ditangani lembaga lain. Program Green Coast kurang maksimal sehingga dilanjutkan pada dengan Green Coast II, yang dimulai sejak akhir 2007 lalu. Program ini lebih diperhatikan secara intensif belajar dari kegagalan lalu. Program berakhir pada Maret 2009.

Eko mengatakan, pihaknya kebagian lahan untuk direhabilitasi sebesar 953 hektar. Semuannya sudah dikerjakan, tapi jumlah tanaman hidup rata-rata hanya 73 persen atau sekitar 1,38 juta batang bakau. “Itu jumlah rata-rata, ada lokasi yang mencapai 90 persen, ada juga lokasi yang hanya 50 persen,” ujarnya.

Setelah lima tahun tsunami, target 164.000 hektar sesuai rencana awal masih jauh harapan. Dari data pemerintah Aceh, saat ini sekitar 26.130 hektar kawasan hutan bakau telah direhabilitasi oleh berbagai lembaga swadaya maupun pemerintah. Di luar itu, sekitar 28.900 hektar pantai berpasir juga sudah ditanami kembali. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU