Friday, March 29, 2024
spot_img

Mengapa Saya Menolak Todung Jadi Jaksa Agung? (1)

Saya sendiri banyak kerjaan dan tak akan celometan mengomentari urusan kabinet begini rupa, andai sepekan lalu majalah Tempo tak menelepon untuk sebuah sesi wawancara.

—-

Bila Pak SBY membaca judul ini tentu beliau merasa geli sendiri. Sebab hak prerogatif menunjuk anggota kabinet ada di tangannya; dan tak ada urusan dengan apa pendapat saya, Anda, atau Pak Bejo yang jual bensin eceran di pinggir jalan.

Saya sendiri banyak kerjaan dan tak akan celometan mengomentari urusan kabinet begini rupa, andai sepekan lalu majalah Tempo tak menelepon untuk sebuah sesi wawancara. Tempo edisi 19 Oktober 2009, katanya mau memasang nama Todung Mulya Lubis dalam daftar calon Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dan benar saja, pada “Edisi Khusus Menteri Pilihan” (yang terbit hari ini 19/10), Tempo memasukkan namanya sebagai salah satu calon “Kabinet Impian Proklamasi 72”. Jalan Proklamasi nomor 72 adalah alamat kantor redaksi majalah itu di Jakarta. Nama Todung dipasang sebagai calon Jaksa Agung yang dijagokan majalah tersebut, dengan menyertakan sekira dua paragraf hasil wawancara dengan saya (halaman 76).

Seperti biasa, media perlu mencantumkan rekam jejak nama-nama yang diusung, baik sisi positif maupun negatif. Nah, saya diminta memberi catatan sisi negatif, karena kawan-kawan Tempo punya ingatan yang cukup baik bagaimana Todung sebagai pengurus Yayasan Acehkita, pernah bermasalah dengan transparansi penggunaan dana kemanusiaan di masa tsunami. Dia juga menutup media alternatif, mem-PHK wartawan secara sepihak, dan aneka tindakan lain yang selama ini justru diperanginya sebagai seorang pegiat LSM.

Saya tidak berkompeten memberikan catatan ihwal track record aktivitasnya yang lain, semisal pemecatannya dari organisasi advokat Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), Mei 2008 dan sebuah peringatan keras dari Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia) karena tuduhan menyalahi kode etik pengacara (Juni 2004). Hari-harinya pasti berat, meski saya tak paham seluk beluk dunia pengacara. Saya hanya bisa membayangkan bila ada seorang wartawan bermasalah di dua organisasi profesi seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), pastilah dia melakukan pelanggaran kode etik yang sangat serius.

Ingin rasanya saya menyodorkan catatan kepada kawan-kawan Tempo bahwa sebagai pengacara yang pernah ditunjuk pemerintah untuk menelaah kepatuhan hukum para obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), beberapa waktu kemudian Todung justru “berbalik” menjadi pengacara keluarga Salim (yang juga penerima kucuran BLBI). Inilah salah satu yang dianggap sebagai konflik kepentingan dalam putusan Peradi yang memecatnya secara permanen. Vonis ini dikuatkan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) pada Desember 2008, meski KAI meringankan sanksi terhadapnya. Namun esensi keputusannya sama: Todung terbukti melanggar kode etik. Tentu saja kawan-kawan Tempo punya catatan yang sangat rapi ihwal kasus ini. Makanya saya tak berniat mengingatkan mereka lagi.

Dus, catatan yang saya sodorkan kepada kawan-kawan di Tempo tentang Todung hanya terkait posisinya sebagai Ketua Dewan Pendiri Yayasan Acehkita, sebuah yayasan yang mengelola media alternatif acehkita.com dan menerbitkan majalah dengan nama yang sama, di masa pemberlakuan Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh (2003-2005). Catatan yang saya susun ini berdasarkan kronologi yang pernah buat kawan-kawan wartawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Acehkita (SePAK).

Ini bukan kampanye hitam untuk menjegal rezeki jabatan seseorang. Bukan pula karena saya mendukung calon Jaksa Agung lain. Sebab, kandidat yang saya jagokan sudah lama wafat: Baharuddin Lopa, namanya.

Catatan-catatan seperti ini adalah hal biasa dalam demokrasi, terlebih ketika menjelang Pemilu 2004, saya juga membantu kawan-kawan di Cetro (di mana Todung duduk sebagai board), menerbitkan selebaran berbentuk koran yang isinya mengudar rekam jejak para politisi. Ada tersangka koruptor, pelanggar HAM, pemain kayu hutan (illegal logging), hingga pelaku KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Menerbitkan media alternatif macam begini kami lakukan karena media mainstream malu-malu menjalankan tugasnya. Entah karena tak punya data, terikat kontrak iklan, tak enak dengan kawan, atau takut digugat.

Catatan tentang Todung ini juga bukan sentimen pribadi, karena media sekelas Tempo tentu punya news-judgement dan pertimbangan sendiri bila menyelipkan kasus ini dalam rekam jejak Mulya Lubis. Mereka mustahil menghabiskan setengah jam wawancara, hanya untuk memberikan ruang bagi saya melampiaskan “dendam lama”.

Masa Darurat Militer, Sebelum Tsunami
Situs acehkita.com didirikan pada 19 Juli 2003 oleh empat orang: Risman A Rachman (mantan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh), saya (mantan Producer Liputan 6 SCTV), Smita Notosusanto (Direktur Eksekutif Cetro – Center for Electoral Reform) dan J Kamal Farza (Koordinator SAMAK – Solidaritas Aksi Masyarakat Anti-Korupsi). Tujuannya adalah menerbitkan media alternatif tentang kondisi Darurat Militer di Aceh, terutama setelah media-media mainstream kami anggap gagal memberikan informasi yang sejujur-jujurnya tentang situasi di lapangan, karena takut tekanan tentara.

Selanjutnya keempat orang ini berbagi tugas: saya dan Kamal mengurus redaksi, sedangkan Risman dan Smita mencari dana. Smita pernah mengusulkan agar situs ini dikelola secara underground (anonim), tapi usul ini saya tolak karena kredibilitas informasinya akan diragukan orang. Di masa-masa Darurat Militer (2003-2005), memang banyak wartawan yang memakai nama samaran. Tapi susunan redaksi, alamat kantor, nomor telepon, dan penanggungjawabnya selalu jelas dan transparan. Semula saya dikritik para wartawan senior karena menerapkan jurnalisme yang tak transparan dengan menyembunyikan nama-nama wartawannya (meski nama penanggung jawab dan alamat kantor jelas). Tapi setelah mereka sendiri berkesempatan meliput status darurat di Aceh, belakangan mereka bergabung dalam jaringan kontributor yang jumlahnya mencapai 40 orang lebih.

Beberapa pentolan di dunia LSM seperti Debra Yatim, Binny Buchori, Otto Syamsuddin Ishak, dan Todung Mulya Lubis adalah orang-orang yang kami undang bergabung ketika acehkita merasa perlu dipayungi sebuah lembaga berbentuk yayasan. Otto, misalnya, dicantumkan namanya oleh Smita dan Risman karena pertimbangan “harus ada orang Aceh-nya” karena nama yayasan kami menggunakan nama “Acehkita”. Dari empat pendiri, hanya Smita yang menjadi board di yayasan. Saya, Kamal, dan Risman tak terlalu tertarik (juga tak merasa pantas) duduk sebagai petinggi dan lebih memfokuskan pada pekerjaan-pekerjaan lapangan sebagai wartawan.

Saat itulah Todung Mulya Lubis kami daulat sebagai Ketua Dewan Pendiri. Sebuah jabatan yang berlaku surut, bila ditilik dari aspek historis. Sementara nama-nama lain dipasang sebagai ‘selling point’ untuk menarik minat para calon funding, mengingat nama-nama tersebut adalah kampiun LSM dan konon urusan duit akan lancar bila nama mereka tercantum di proposal.

Selain menerbitkan acehkita.com, untuk menjangkau publik yang tak bisa mengakses internet, akhirnya diputuskan untuk menerbitkan majalah acehkita, Agustus 2003.

Saat itu, dana donatur dikendalikan hanya oleh tiga orang yang dipercaya untuk menandatangani cek. Mereka adalah Risman A Rachman (Pemimpin Umum), saya sendiri (Pemimpin Redaksi) dan Yan Aryanto (Manager IT). Duit kami tak banyak. Saldo rata-rata di tabungan tak pernah lebih dari kisaran Rp 100-an juta. Kantor pun numpang di kantor Cetro, berbarengan dengan Denny Indrayana (sekarang staf khusus presiden bidang hukum) yang juga numpang tempat untuk menyusun desertasi.

Jadi jangan membayangkan organisasi ini padat pundi-pundi seperti organisasi yang bergerak di Aceh setelah tsunami. Meski, kami mempunyai sistem gaji dan honor yang bisa disebut bersaing—bahkan di level lapangan mengungguli—media umum. (bersambung)

(Bagian 1 dari 5 tulisan. Silahkan lihat di NOTES untuk artikel selengkapnya)

Dandhy Dwi Laksono, wartawan lepas, mantan Pemimpin Redaksi ACEHKITA.COM.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU