BANDA ACEH | ACEHKITA.COM. Penyelenggaraan tsunami drill kembali dikecam. Sejumlah korban selamat dari bencana dahsyat akhir 2004 silam mengaku, simulasi itu hanya membangkit kembali luka hati mereka.
“Hati saya rasanya beku melihat ini (simulasi). Sangat sedih,” kata Hamiah (58), dengan suara sesak dan mata berkaca-kaca, Rabu (14/10).
Korban tsunami di Ulee Lheue, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh ini bergetar saat menceritakan kisah pilunya empat tahun lalu.
Kala ombak pembunuh melanda, ia ikut terseret. “Satu jari saya hilang,” katanya sambil menunjuk sebelah tangannya yang tak berkelingking lagi.
Selain itu, 12 belas anggota keluarga dan sanak saudaranya meninggal. “Saya sebenarnya sudah melupakan dan mengikhlaskan semua ini. Tapi, melihat orang lari-lari seperti ini saya kembali teringat mereka,” tutur Hamiah.
Hal serupa diungkap Sri Mulyani (39), korban lainnya. Warga Ulee Lheue ini mengaku, seorang anaknya hilang terseret gelombang tsunami.
Simulasi tsunami, kata dia, tak perlu lagi dilakukan. Karena, selain bisa membuka luka korban, juga terkesan hanya menghamburkan uang.
“Kita sudah paham cara menyelamatkan diri. Tanpa latihan saja, kita sudah bisa melakukannya,” ungkap Mulyani.
Menurutnya, pengalaman sudah cukup mengajari warga Aceh dalam tata cara menyelamatkan diri dari tsunami. “Kita juga tahu, kalau gempa besar, tidak perlu disuruh. Sudah tahu harus menyelamatkan diri ketempat yang tinggi,” tukasnya.
Maisara, korban tsunami di Kahju, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, juga beranggapan sama. “Lebih baik uang simulasi itu diberi kepada anak yatim tsunami saja,” kata perempuan yang kehilangan empat anggota keluarganya saat tsunami.
Sementara itu, insiden kecil mewarnai simulasi tsunami. Seorang warga mengalami benturan di kepala saat mobil yang dikendarai tim Search and Rescue sedang mundur, di kawasan Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. []