Friday, March 29, 2024
spot_img

Kontroversi Gubernur Hijau di Rawa Tripa

MATA Ibduh berbinar ketika mengetahui kabar mengembirakan ini: izin PT Kallista Alam dicabut. Usahanya menggugat perusahaan kepala sawit itu tak sia-sia. Pada pertengahan 2011 lalu, bersama sejumlah warga, Ibduh menggugat PT Kallista Alam ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Ia meminta agar perusahaan tersebut menghentikan pembukaan lahan seluas 1.605 hektar di lahan gambut Rawa Tripa, Desa Pulo Kruet, Nagan Raya.

“Saya tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan kegembiraan atas keberhasilan ini,” kata Kepala Desa Sumber Bakti itu, kepada acehkita.com sehari setelah Gubernur Zaini Abdullah menadantangani Surat No 525/BP2T/5078/2012 tertanggal 27 September 2012, tentang pencabutan izin perkebunan 1.605 hektar milik PT Kallista Alam, Jumat, 28 September 2012.

Bagi Ibduh, surat Gubernur Zaini itu menjadi penentu nasib Rawa Tripa. Surat itu akan menyelamatkan kelestarian lahan gambut Rawa Tripa yang terletak di Kecamatan Darul Makmur, di bagian barat Aceh itu.

Ia tak lagi harus gelisah dengan nasib rawa yang menjadi tumpuan harapan masyarakat 12 desa di kawasan tersebut. Selain sebagai tempat mencari nafkah, lahan gambut Rawa Tripa juga menjadi daerah penyimpan air terbesar di kawasan itu. Saat acehkita.com menemuinya pada November 2011, Ibduh terlihat sangat resah melihat hutan Rawa Tripa ditebang untuk perkebunan kepala sawit. Padahal, Rawa Tripa punya segudang “jasa” bagi warga sekitar.

Ibduh melemparkan ingatannya pada suatu hari di tahun 1972. Ia ingat betul banjir besar yang menerjang Aceh Barat –dulu Nagan Raya masih bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Pusat Kecamatan Darul Makmur, Alue Bili, ikut terendam banjir besar itu. Namun, tidak bagi perkampungan Sumber Bakti.

“Warga yang mendiami Rawa Tripa tidak merasakan dampak dari banjir besar itu,” kata Ibduh.

Sejak itu, Ibduh berkeyakinan bahwa Rawa Tripa harus dijaga kelestariannya. Selain sebagai tempat tinggal aneka satwa yang dilindungi, seperti Orang Utan Sumatera (Pongo Abelii), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Burung Rangkong (Buceros sp), dan Beruang Madu (Helarctos malayanus), Rawa Tripa juga menjadi tempat warga mencari nafkah.

“Mata pencaharian kami di rawa Tripa terganggu akibat pembukaan lahan HGU (Hak Guna Usaha –red.) di sana,” kata Ibduh ketika dijumpai di Desa Pulo Kruet, Sabtu.

Pekan lalu, Ibduh bersama sejumlah warga yang mendiami desa di sekitar Rawa Gambut Tripa menggugat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Ia mempersoalkan izin HGU yang diberikan Gubernur Irwandi pada 25 Agustus 2011 kepada PT Kallista Alam. Izin seluas 1.605 hektare itu diberikan di kawasan rawa gambut yang masuk ke areal Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Rawa Gambut Tripa seluas 59.701 hektare menjadi daerah resapan air dan tempat berteduhnya aneka satwa. Bagi masyarakat di sekitar Rawa Tripa, lahan gambut itu adalah tempat mereka mencari nafkah menyambung kehidupan.

“Kami sering menangkap lele dalam ukuran besar di rawa,” kata Ibduh. “Dari hasil menangkap dan menjual lele saja, insya Allah kami bisa menunaikan ibadah Haji.”

Tak hanya lele yang menjadi sumber mata pencaharian warga. Menurut Ibduh, rawa Tripa menyimpan sumber pendapatan bagiwarga. Sebut saja misalnya, rotan, lebah madu, ikan gabus, dan keladi.

“Itu menjadi pokok mata pencaharian utama masyarakat,” kata Ibduh. Ia menjabat sebagai kepala Desa Sumber Bakti sejak 2007lalu.

Tak hanya merusak mata perekonomian warga, pembukaan lahan perkebunan sawit di Rawa Tripa juga menyebabkan debit air sumur warga menjadi tak menentu. “Airnya lebih mudah kering, walaupun tidak dalam musim kemarau panjang,” sebutnya.

Jika hujan mengguyur kawasan Rawa Tripa dalam jangka waktu dua jam saja, masyarakat di sekitar rawa harus siap-siap menerima kiriman banjir.

Aneka satwa juga bisa dengan mudah dijumpai di Rawa Tripa. Ada burung beo, lebah, rangkong, punai, sri gunting, raja udang, buaya. Ada juga satwa yang dilindungi yaitu Orang Utan dan Harimau sumatra.

“Orang Utan sekarang sudah sangat sulit dijumpai kalau kami ke Rawa Tripa. Beberapa tahun lalu, kami bisa lihat Orang Utan dengan mudah waktu pergi memancing atau mencari rotan,” kata Safari (32), warga Desa Pulo Kruet.

“Kami ingin Gubernur Irwandi mencabut izin HGU bagi PT Kallista Alam. Kalau lahan gambut terus digarap untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit, suatu saat kami akan kehilangan Rawa Gambut Tripa. Ini sama saja dengan kami kehilangan kehidupan,” kata Ibduh.

Pada Minggu (27/11/2011), saya menyusuri sungai Rawa Tripa sepanjang 10 kilometer dengan perahu kecil (robin) bermesin lima PK. Sore itu, saya dengan mudah bisa menjumpai kera, burung Punai, rangkong, dan burung raja udang (king fish).

Zakaria (32) yang ikut dengan sampan yang saya tumpangi berkali-kali menunjukkan sarang lebah madu dan aneka burung yang kami jumpai selama menyusuri sungai selebar 40 meter itu.

“Kami khawatir, jika Rawa Tripa ini terus digarap habitat satwa itu akan tenganggu,” kata Zakaria. Ia ikut menggugat Gubernur Irwandi bersama Ibduh.

Di sebuah kebun milik warga, saya mendapati dua sarang Orang Utan di dua pohon kayu terpisah. Itu adalah sarang bekas yang tak lagi dihuni Orang Utan.

Hutan di sepanjang sungai yang kami susuri itu terlihat masih lebat. Hanya di beberapa titik saja saya melihat adanya perkebunan sawit milik warga. Saya juga melihat dua kanal yang diduga dibangun PT Kallista Alam untuk mengeringkan air di kawasan lahan 1.605 hektare. Kanal itu tak tampak baru dibangun. “Itu kanal yang sudah lama dibangun, sebelum izin itu keluar,” kata Zakaria.

Menurut Zakaria, PT Kallista Alam sudah menggarap lahan perkebunan sawit di lahan 1.605 hektare jauh sebelum mereka mengantongi izin HGU pada 25 Agustus 2011 lalu.

Di Surat Izin Gubernur Aceh No 535/BP2T/5322/2011 yang ditandatangani Irwandi Yusuf terlihat PT Kallista Alam mengajukan izin pembukaan lahan untuk Perkebunan Budidaya pada 25 September 2010.

Kami juga mencoba melihat dari dekat areal perkebunan sawit milik PT Kallista Alam di lahan 1.605 hektare di Desa Pulo Kreut.Kami mendapai dua ekskavator yang tengah membersihkan lahan. Lima pekerja juga terlihat di sana. Suara chainsaw segera berhenti ketika kami tiba di lokasi itu.

Namun, kami tak bisa leluasa memantau lokasi perkebunan baru milik Kallista Alam itu. Sebab, di sebuah sudut, kami melihat pos penjagaan.

Seorang warga yang kami temui di sana menyebutkan, warga tak punya kuasa untuk melarang pembukaan lahan secara besar-besaran oleh perusahaan.

“Kalau kami melarang pekerja membuka lahan tidak mungkin, sebab mereka kan pekerja yang mencari rezeki,” kata pria yang tak mau disebutkan namanya itu.

Ia memagari lahan miliknya yang berbatasan dengan lahan HGU milik Kallista Alam. “Saya memagari kebun ini agar tak diambil oleh perusahaan,” kata dia.

***

PELBAGAI upaya dilakukan warga desa di sana untuk menjaga kelestarian Rawa Tripa. Ibduh bersama sejumlah warga melaporkan Kallista Alam ke Mabes Polri. Mereka meminta agar perusahaan tersebut menghentikan perambahan lahan gambut tersebut. Selain itu, Ibduh juga meminta agar gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf, mencabut izin lahan seluas 1.605 hektar yang diberikan kepada Kallista Alam itu.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh juga gencar melakukan kampanye pencabutan izin Kallista Alam. Mereka menggugat Gubernur Irwandi dan Kallista Alam ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh. Namun, pada Selasa, 3 April 2012, PTUN Banda Aceh memenangkan Pemerintah Aceh dan Kallista Alam.

“Gugatan Walhi tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim PTUN Banda Aceh Darmawi membacakan putusan. “Kami menyarankan kepada para pihak untuk menempuh upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan terlebih dahulu.”

Tentu saja, keputusan PTUN Banda Aceh ini mengecewakan Walhi. Namun, bagi Pemerintah Aceh dan Kallista Alam, keputusan ini menambah keyakinan mereka bahwa surat izin tersebut sama sekali tak bermasalah.

Kuasa Hukum PT Kallista Alam Firman Azwar Lubis menyebutkan, Kallista Alam sama sekali tidak merusak lingkungan seperti dituding Walhi. “Kita tidak merusak lingkungan dengan pembukaan areal perkebunan sawit ini.”

Atas putusan ini, Walhi mengajukan banding. Hingga pada akhir Agustus lalu, PT TUN Medan memenangkan gugatan Walhi dan memerintahkan Gubernur Aceh untuk segera mencabut izin perkebunan Kallista Alam yang kontroversi tersebut.

Irwandi Yusuf, yang meneken surat izin untuk Kallista Alam, menyebutkan izin tersebut diberikan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab, lahan yang akan digarap Kallista Alam berada di lahan dengan kedalaman kurang dari tiga meter. Kallista Alam juga berjanji akan membuka kebun plasma untuk rakyat di kawasan tersebut.

“Secara hukum tidak salah, tapi salah secara moral,” kata Irwandi Yusuf yang dijuluki “Gubernur Hijau” kepada Sydney Morning Herald, tujuh bulan setelah izin diteken.

***

KINI, izin lahan sawit itu telah dicabut. Ibduh dan warga di 12 desa berencana membuat syukuran untuk meluapkan suka-cita mereka atas “kemenangan” ini.

“Jangan ganggu lagi Rawa Tripa karena akan merusak habitat ikan, satwa dan mengganggu kehidupan kami,” kata Adnan, warga Desa Kuala Seumayam. []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU