Sunday, December 1, 2024
spot_img

Kisah Relawan Melawan Asap

BEBERAPA hari lalu, kita membaca di media-media online, para mahasiswa di Riau mengancam Jokowi, jika dalam 3 X 24 jam asap tak lenyap, sila mundur dari kursi kepresidenan. Berita semacam itu banyak ragamnya. Termasuk yang hendak memisahkan dari NKRI, menunggu Jokowi lempar handuk dan baru ngomong; ‘serahkan pada kami’. Itu konon semua berita luar biasa.

Media online jarang menampilkan berita-berita biasa saja, mengenai orang-orang atau anak-anak muda yang bekerja diam-diam, seperti Prof. Wenten dengan air-purifliernya, atau anak-anak muda di Sekolah Relawan dan Jumpun Pambelom di Kalimantan Tengah. Dan kita terbiasa dengan berita-berita yang ingar-bingar itu, sampai imun rasanya, dan tidak peka penting tidaknya.

Di kawasan hutan Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kita bisa temui anak-anak muda sedang sibuk membikin sumur-sumur bor. Mereka bertekad membangun 100 titik sumur bor. Ini kumpulan anak muda yang beragam. Ada guru, mahasiswa S1, S2, fasilitator outbound, karyawan, pemilik toko outdoor, mantan guru SLB, dan masih banyak lagi.

Anak-anak muda yang tergabung dalam Sekolah Relawan (yang di-inisiasi Gaw Bayu Gawtama) dan komunitas Jumbun Pambelon ini meyakini; Sumur bor di wilayah hutan sangat bermanfaat untuk antisipasi meluasnya kebakaran. Mereka sedang membuat sumur-sumur bor baru di tengah hutan dan kawasan hutan lainnya. Sumur bor inilah salah satu cara warga lokal menghadapi kebakaran hutan.

Mereka juga korban pembakaran hutan dan asap, tapi mereka lebih memilih bertindak daripada mengeluh dan menghujat. Seperti Hendra (17) dan Daniel (15), dua remaja kakak-beradik yang sudah dua bulan bersama relawan lokal Jumpun Pambelom bekerja keras angkat selang, pipa, mesin untuk membuat sumur bor di hutan-hutan wilayah Kalimantan Tengah. Ada juga Yanto, kelahiran 1995, drop out dari SMP kelas 2, karena tak ada biaya. Ia anak Dayak yang membantu menjadi penerjemah para relawan yang datang dari berbagai daerah.

facebook.com/sunardian.wirodonoii
facebook.com/sunardian.wirodonoii

Ada juga orang-orang yang tak terlihat di lapangan seperti Roel Mustafa, pengusaha keturunan Betawi yang tinggal di Depok (Jabar). Dukungannya atas tim sangat luar biasa. Waktu, tenaga, koneksi, dan juga dananya. Ia mengantar belanja perlengkapan pemadaman, juga berbagai kebutuhan anak-anak di lapangan, termasuk memprovokasi teman-temannya untuk mau membantu tim.

Ada juga Eko Subiyantoro, Forest Ranger di Banjarbaru yang masih dalam proses penyembuhan pasca kecelakaan. Ia menyambungkan tim lapangan dengan pihak-pihak di Kalteng. Rumahnya juga jadi tempat transit semua relawan dan barang-barang anak-anak Sekolah Relawan dan Sedekah Oksigen.

Belum lagi Hunggul Prihono, mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, mantan guru SLB, rela berkubang lumpur kotor air hitam. Sudah hampir sebulan ia bergulang di tengah hutan. Tak peduli badannya yang kerempeng, melakukan aktivitas pemadaman dan membuat sumur bor. Ia sanggup kerja keras memadamkan api sampai larut malam, jam 02 dini hari bahkan, selain kepiawaiannya menggunakan drone untuk pemetaan. Dia datang menjadi relawan setelah membaca aktivitas Sekolah Relawan di medsos. Jadi, medsos tak hanya untuk caci-maki ‘kan? Kan!

Namanya juga relawan, mereka bergerak suka-rela, atas dasar bantuan darimana saja, untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan asap. Mereka butuh donasi untuk menunjang kebutuhan lapangan, baik berupa uang, barang, akomodasi. Untuk memulai pembuatan sumur bor, relawan menancapkan meter demi meter pipa besi berukuran 1inci dengan kedalaman pipa bisa mencapai 30 meter.

Pipa besi akan dihentikan ketika pipa telah menembus lapisan pasir kasar. Lapisan pasir kasar merupakan indikator lapisan yang banyak mengandung air. Itu kearifan lokal untuk mengetahui lapisan air di tanah gambut.

Kelelahan terbayarkan saat air mengucur dengan deras. Itulah kerja keras relawan Jumpun Pambelom dan Sekolah Relawan untuk mendukung perlawanan api dan asap. Inisiasi masyarakat ini, layak diapresiasi. Termasuk oleh pemerintah dan fesbuker tentunya. Karena keduanya sering terlihat terlalu cerewet.

Pasti cerita semacam di Kalimantan Tengah ini, juga bisa kita temui di beberapa daerah, di Riau, Palembang, Pontianak, Papua dan lain sebagaimana di mana terjadi bencana. Hanya sering kita tidak membacanya, karena memang tidak dituliskan. []

SUNARDIAN WIRODONO, dikutip dari laman Facebook atas seizin yang bersangkutan.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
25,100SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU