MEDAN | ACEHKITA.COM – Tutur bahasanya lembut. Sesekali pemuda 30 tahun itu tersenyum merekah. Di balik wajahnya, terpancar ketenangan jiwa meski perjalanan hidupnya penuh nestapa. Dua tahun, dia dipaksa bekerja sebagai budak di Thailand.

Postur tubuhnya kekar. Setiap hari, dia rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran. Kumis, jenggot dan jambang baru saja dicukur. Rambutnya disisir rapi seperti bintang sepakbola ternama Portugal yang bermain di klub Real Madrid, Cristiano Ronaldo.

Muhammad Arif adalah seorang pengungsi Muslim Rohingya yang sudah hampir tiga tahun menetap sementara di Hotel Pelangi, Medan. Dia termasuk seorang dari tujuh pengungsi Rohingya di ibukota Provinsi Sumatera Utara itu, yang mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an. Arif telah menghafal kitab suci umat Islam sejak berusia 14 tahun.

Hotel Pelangi disewa Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) guna menampung hampir 100 pengungsi Rohingya. Sebagian mereka ada yang sudah lima tahun tinggal di hotel itu, sambil menunggu proses penempatan ke negara ketiga. Tapi, hingga kini tak ada seorang pun Rohingya di Medan mendapat suaka politik di negara ketiga.

Para pengungsi Rohingya di Medan sangat menghormati Arif. Mereka memanggilnya “ustadz” karena dia seorang ahli agama Islam. Sehari-hari, Arif menjadi imam shalat. Dia juga memberikan ceramah kepada pengungsi Rohingya.

Ditangkap tentara

Ketika berusia 19 tahun, Arif ditangkap tentara Myanmar karena dia tidak bersedia menyerahkan rumah dan tanah milik keluarganya di Maungdaw, kawasan Rakhine, ke pemerintah junta militer. Selama dua pekan, dia ditahan dan disiksa.

“Setiap hari dan malam, saya dipukul dan dianiaya. Satu gigi saya patah. Tangan saya disulut api rokok,” ujarnya sambil memperlihatkan tanda hitam bekas dibakar rokok.

Arif dibebaskan. Kepadanya diberi waktu lima hari untuk berpikir agar dia bersedia menyerahkan rumah dan tanah kepada pemerintah. Ibunya sambil menangis bilang pada Arif untuk merelakan rumah dan tanah diambil tentara karena jika tidak, maka dia akan kembali dijebloskan ke dalam penjara.

“Setelah rumah dan tanah kami diserahkan kepada orang Budha, setiap hari tentara datang kendati kami sudah tinggal di rumah paman saya. Ibu merasa jiwa saya tidak aman lagi sehingga saya memutuskan pergi dari Maungdaw,” jelas Arif.

Arif memutuskan pergi ke Bangladesh. Selama di Kota Chittagong, dia memperdalam ilmu agama Islam sambil belajar Al-Qur’an. Empat tahun, dia belajar pada madrasah di kota tersebut. Tahun 2008 setelah Arif tamat dari madrasah, hendak bekerja tapi tidak bisa karena dia bukan warga Bangladesh.

“Suatu hari, saya diajak naik boat. Saya tak membayar karena saya tidak punya uang. Mereka bilang naik saja karena saya bisa menjadi berkah dalam perjalanan,” ujarnya, mengenang perjalanan tujuh hari bersama 11 warga Rohingya dengan boat kayu.

Dipaksa jadi budak

Boat yang mereka tumpangi bersandar di Thailand. Arif dibawa agen ke pemilik kapal nelayan. Dia dipaksa bekerja membersihkan kapal itu siang dan malam, tanpa digaji. Jatah makanan sangat sedikit. Arif merasa sendiri di kapal itu karena ia tidak mampu berbicara bahasa Thailand.

“Kalau saya minta makanan, mereka pukul. Kalau saya tertidur, mereka suntik agar saya kuat. Saya tidak tahu apa yang mereka suntik ke tubuh saya,” tutur Arif kepada acehkita.com yang menemuinya, belum lama ini.

Setelah setahun bekerja paksa di kapal, Arif dijual ke perkebunan. Nasib tetap tidak berubah. Dia dipekerjakan sebagai budak. Tidak ada pekerja yang mampu berbicara bahasa Rohingya. JIka Arif bertanya sesuatu, pemilik kebun segera memukulnya.

“Saya bekerja mulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 8 malam. Jika saya malas bekerja, mereka suntik agar saya kuat. Saya tidur sendiri di gudang. Saya tidak tahu apa nama tempat itu,” ujarnya.

Suatu hari setelah setahun bekerja di perkebunan, seorang etnis Rohingya dibawa ke situ. Arif merasa senang karena ia sudah punya teman. Dua bulan kemudian, mereka memutuskan untuk melarikan diri. Di tengah malam buta saat para penjaga terlelap, mereka berhasil kabur.

“Kami terus berlari, tanpa tahu kemana. Saya hanya berdoa kepada Allah agar kami diselamatkan. Kami makan apa saja yang dapat dimakan untuk bertahan hidup. Dua hari dua malam, kami berlari sampai akhirnya menemukan sebuah sungai,” katanya.

Arif dan rekannya menyusuri sungai sampai akhirnya mereka melihat masjid. Mereka bertemu beberapa warga. Ternyata keduanya telah masuk ke wilayah Malaysia. Lalu, berkat bantuan warga setempat mereka menghubungi abang kawannya di Penang.

Kemudian mereka pergi ke Penang. Di sini, Arif mengajar Al-Qur’an untuk anak-anak dari enam keluarga Melayu. Dia hanya mengambil sedikit gaji, cukup untuk makan. Sisanya disimpan pada sebuah keluarga.

Selama di Penang, Arif bergaul dengan banyak pekerja ilegal Rohingya. Dari mereka, Arif mendengar ada harapan untuk memulai hidup baru di Australia. Berkat bantuan keluarga tempat dia titipkan uang hasil mengajar, Arif diperkenalkan dengan seorang agen perjalanan ilegal dari Indonesia.

“Saya tak tahu berapa keluarga itu kasih uang kepada agen karena saya tidak pernah bertanya,” jelasnya seraya menambahkan perjalanan dari Penang ke Kuala Lumpur menggunakan bus.

Selanjutnya dengan menumpang sebuah boat bersama enam pengungsi Rohingya, ia dibawa ke Belawan di Sumatera Utara. Dari Belawan, ketujuhnya diantar ke Bandara Polonia. Mereka pergi ke Kendari setelah transit di Jakarta. Dari Bandara Haluoleo Kendari, mereka dibawa ke Baubau di Pulau Buton.

Diselamatkan ikan paus

Setelah 15 hari berada di gudang yang disewa agen perjalanan di Baubau, Arif naik boat bersama 56 pengungsi Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, dengan tujuan Australia. Kepada mereka dibilang perjalanan ke Australia ditempuh empat hari.

Setelah perjalanan selama dua hari, mesin boat mati. Kapten dan tiga anak buahnya mengontak rekannya, yang datang menjemput dengan speed boat. Para penyeludup manusia itu kabur dan meninggalkan pengungsi Rohingya di tengah lautan.

“Dua hari dua malam kami terkatung-katung di tengah laut. Semua orang dalam boat menangis. Anak-anak dan perempuan terus menangis karena kami tak ada makanan. Semua orang lemas kelaparan,” tutur Arif, dengan mata berkaca-kaca.

“Tiba-tiba ketika tengah malam seorang tua bilang pada saya, ‘Ustadz, tolong berdoa kepada Allah agar kita diselamatkan.’ Lalu, saya berdiri dan bilang pada semua orang untuk berdoa bersama dan membaca Al-Qur’an.”

Keajaiban datang. Arif mengaku melihat beberapa ekor ikan paus mengipas ekornya untuk membentuk ombak sehingga boat yang mereka tumpangi terseret ke sebuah pulau kecil. Menjelang subuh, boat mereka terdampar di pulau itu.

“Saya tidak tahu berapa jumlah ikan paus yang telah menolong kami. Tetapi, nelayan yang menyelamatkan kami bilang mereka lihat ada empat ekor. Saya sangat yakin ini pertolongan Allah untuk menyelamatkan kami dari laut karena dalam boat ada anak-anak,” ujar Arif.

Saat pagi, polisi dan petugas imigrasi datang. Mereka ditangkap. 23 lelaki dijebloskan ke penjara, sedangkan anak-anak dan perempuan dibiarkan bebas. Arif ditahan 1,4 tahun di Manado. Akhirnya petugas IOM menjemput dan membawanya ke Medan.

Sejak September 2013, Arif menjadi seorang penghuni Hotel Pelangi bersama hampir 100 pengungsi Rohingya. Setiap hari, Arif menjalani rutinitas tanpa diizinkan bekerja. Dia lebih memperdalam ilmu agama Islam, berolahraga, berinteraksi dengan sesama pengungsi, menjadi imam shalat dan kadang-kadang berjalan di sekitar hotel.

Arif punya mimpi dan harapan. Dia ingin segera mendapat negara ketiga untuk bisa bekerja dan selanjutnya membina rumah tangga. Arif mengaku takut apabila sampai menikah dengan kondisi tidak bekerja seperti dijalaninya selama ini.

“Saya juga selalu berdoa kepada Allah supaya Muslim Rohingya diakui sebagai warga negara Myanmar, sehingga kami dapat pulang ke kampung halaman,” ujarnya. “Saya tidak tahu apakah ibu dan adik-adik saya masih hidup di Myanmar.”[]

NH

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.