BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Komisi Independen Pemilihan Aceh menilai obyek gugatan yang dilayangkan Marzuki, warga Bener Meriah, terhadap tahapan pilkada sama sekali tidak berdasar dan kabur. Untuk itu, KIP meminta hakim menolak gugatan Marzuki.
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Dikdik Somantri dan Hakim Anggota Fajar Shiddiq Arfah serta Ade Mirza Kurniawan berlangsung pada pukul 12.25 WIB. Agenda sidang yaitu mendengarkan jawaban dari KIP Aceh. Penggugat diwakili oleh dua kuasa hukumnya, T. Iskandar Z.A. dan Lukman Hakim. Sementara KIP Aceh diwakili oleh kuasa hukumnya, Zainal Abidin.
Zainal Abidin menyebutkan, gugatan yang dilayangkan Marzuki sama sekali tidak berdasar. Kata Zainal, penggugat tidak pernah mendaftarkan diri sebagai pasangan bakal calon bupati/wakil bupati Bener Meriah, sehingga penggugat tidak memiliki hubungan, kepentingan, dan tidak pernah dirugikan dengan SK KIP Aceh No 26/2011.
“Dengan demikian obyek gugatan tidak jelas atau kabur,” kata Zainal Abidin yang juga seorang Komisioner KIP Aceh.
Marzuki, warga Desa Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, dalam gugatannya mengaku akan maju sebagai bakal calon bupati dari Partai Aceh, berdasarkan SK DPA Partai Aceh No. 011/KPTS-DPA/V/2011. Dalam gugatan bernomor 18/G/2011/PTUN-BNA tertanggal 29 November 2011, Marzuki, menggugat keabsahan SK KIP Aceh No 26/2011 tentang Tahapan Pilkada.
Marzuki melayangkan gugatannya karena menilai SK KIP Aceh No 26/2011 telah menyebabkan kerugian bagi dirinya yang merupakan bakal calon bupati di Bener Meriah. Marzuki juga menilai bahwa penetapan Tahapan pilkada oleh KIP tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Zainal Abidin menyebutkan, Marzuki sama sekali tidak pernah terdaftar sebagai bakal calon bupati atau wakil bupati di Bener Meriah.
“Penggugat menyatakan tidak mendaftarkan diri sebagai bakal calon karena belum adanya kepastian payung hukum dan tahapan melanggar peraturan perundang-undangan sehingga merugikan penggugat, adalah tidak berlasan,” ujar Zainal Abidin.
Sebab, kata Zainal, pengaturan pilkada di Aceh sangat jelas dan tegas. Pasal 66 ayat (1) UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dijelaskan tahapan dan jadwal pilkada ditetapkan oleh KIP. Selain itu, pilkada Aceh juga didasari pada Pasal 66 ayat (2), ayat (6), Pasal 73, Pasal 261 ayat (4) UU Pemerintahan Aceh, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 108/PHPU.D-IX/2011.
“Karena itu, permintaan pembatalan keputusan KIP adalah tidak tepat. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan KIP untuk melanjutkan tahapan, program, dan jadwal pilkada yang telah ditetapkan,” kata Zainal.
Zainal meminta Majelis Hakim PTUN Banda Aceh untuk menolak gugatan Marzuki untuk seluruhnya. “Kami juga meminta Majelis Hakim menyatakan sah SK KIP Aceh No 1/2011 junto SK No 11/2011 junto SK No 17/2011 junto SK No 26/2011 tentang Tahapan Pemilukada,” pinta Zainal Abidin.
Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat, Lukman Hakim, mengatakan, SK KIP Aceh No 26/2011 tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menyalahi SK KPU No 9/2010.
Lukman menambahkan, empat SK KIP Aceh yang mengatur tahapan pilkada cacat hukum. “Sehingga klien kami, sebagai warga negara yang taat hukum, tidak mungkin mendaftarkan diri. Kalau mendaftar berarti ikut melanggar hukum,” kata Lukman.
“Kami memohon kepada majelis hakim agar SK tahapan Pemilukada itu dibatalkan atau dinyatakan tidak sah,” kata Lukman kepada wartawan usai persidangan. “Jadi, tahapan pilkada harus dimulai dari awal.” []