TANGGAL 26 Juni 2003, awal babak baru dalam kehidupan Juha Christensen. Di sebuah hotel Kota Stockholm, Swedia, Juha menyiapkan presentasi di hadapan sejumlah petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Yang hadir: Malik Mahmud Al Haytar (perdana menteri), Zaini Abdullah (menteri kesehatan merangkap menteri luar negeri), dan Bakhtiar Abdullah (jurubicara), Muzakkir Abdul Hamid.

Setidaknya ada delapan tokoh GAM yang hadir dalam pertemuan di musim panas (summer) itu.Di hadapan petinggi GAM, bekas dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, menyampaikan presentasi.

“Saya siapkan presentasi siapa saya, apa hubungan saya dengan Indonesia, dan apa posisi saya,” kata Juha dalam satu wawancara khusus dengan ACEHKINI, akhir Juni 2008 lalu. Karena kesibukannya yang sering bolak-balik Indonesia dan sejumlah negara Eropa, wawancara berlangsung di samping kolam renang Hotel Sheraton, Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, saat Juha sedang transit.

Juha lega. Pertemuan 3,5 jam itu lancar. Itulah awal Juha bertemu pihak GAM untuk merintis perdamaian dengan Pemerintah Indonesia. Kedua pihak telah berulangkali duduk di meja perundingan dan melakukan gencatan senjata. Ujung-ujungnya, perdamaian gagal di tengah jalan. Sebulan sebelum Juha bertemu petinggi GAM di Stockholm, pemerintah baru saja memberlakukan Darurat Militer akibat gagalnya perjanjian penghentian permusuhan (CoHA) pada 18 Mei 2003.

Gagalnya perundingan yang difasilitasi Hendry Dunant Centre, sebuah lembaga swadaya masyarakat bermarkas di Jenewa, Swiss, membuat Juha tergerak untuk membawa dua musuh ini kembali ke meja perundingan.

Aceh tak asing lagi bagi Juha. Sejak awal 2000, Juha sibuk meneliti Aceh. Berbagai bahan mengenai Aceh yang diunduh via internet, seminar, makalah, koran, dilahapnya. Kunjungan pertamanya ke daerah perang Aceh terjadi pada Oktober 2002. Dia malah ikut konferensi pers yang digelar HDC, fasilitator perundingan, di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh.

Berbekal pengetahuan tentang Aceh, dia memberanikan diri menawarkan konsep perdamaian kepada pihak GAM. Sebenarnya, sejak berakhir CoHA, Juha telah berupaya mendekati tokoh GAM yang tinggal di negeri Skandinavia. Nah, saat koran Helsingin Sanomain, edisi 1 Juni 2003, menurunkan artikel tentang kondisi Aceh yang sedang berdarah-darah, Juha tak buang waktu. Dia langsung menghubungi editor koran besar Finlandia itu dan menanyakan nomor kontak Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah. Berbekal nomor kontak itu, Juha menghubungi Bakhtiar.

“Dia bilang ok dan mereka mau memberi jawaban empat hari kemudian. Saya kemudian dipersilakan datang ke Stockholm dan kita bertemu selama 3,5 jam,” ujar Juha.

Usai pertemuan, Juha tak langsung balik ke Helsinki. Ia terlebih dulu terbang ke Copenhagen Belanda untuk menghadiri satu konferensi medis. Kala itu, Juha memang sedang menggeluti bisnisnya di bidang medis. Dari Copenhagen, Juha kembali lagi ke Stockholm. “Kita ketemu lagi. Dari situ mulai (ada keinginan untuk berunding) lagi,” sebut Juha.

Lagi-lagi, Juha presentasi. Memperkenalkan diri dan konsep perundingan. “Saya bilang, saya dari sektor swasta dan tidak ada yang menyuruh saya bertemu tokoh GAM. Ini inisiatif saya,” ujarnya.

Kepada petinggi GAM di pengasingan, Juha menyampaikan siap memfasilitasi perundingan dengan Pemerintah Indonesia. Tak mudah meyakinkan GAM kembali ke meja perundingan. Pasalnya, saat itu baru sebulan Presiden Megawati Sukarnoputri mengakhiri proses damai, dan mengirim pasukan perang ke Aceh pada 19 Mei 2003, menyusul gagalnya pertemuan Tokyo yang direncanakan pada 1 Juni 2003.

Para jururunding GAM di Aceh ditangkap saat baru keluar dari Hotel Kuala Tripa, hendak ke Bandara Sultan Iskandarmuda, Blang Bintang, untuk menghadiri pertemuan tersebut. Mereka – Sofyan Ibrahim Tiba, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman, Nashiruddin bin Ahmed, dan Amni bin Ahmad Marzuki– diboyong ke Markas Polisi Daerah Aceh. Akhirnya, kelima orang itu divonis di atas 10 tahun penjara oleh pengadilan.

“Saya bilang saya percaya dialog harus kita lanjutkan. Tentu ini sangat sulit, karena tensi tinggi pendapat petinggi GAM terhadap Pemerintah Indonesia,” sebut Juha.

Proses untuk meyakinkan petinggi GAM berlangsung hingga enam bulan. Sepanjang kurun waktu Juni hingga Desember 2003, ada tujuh kali pertemuan antara Juha dan GAM. Hampir saban pekan, Juha berkomunikasi dengan Bakhtiar dan Zaini. Kadang-kadang melalui telepon atau berkirim surat elektronik. “Saya tanya apakah ada berita dari Aceh atau berita dunia lain yang penting. Kita bikin komunikasi,” kata dia.

Setelah terbangun komunikasi dengan GAM, Juha memutuskan untuk mendekati pemerintah. Desember 2003, Juha ke Jakarta. Indonesia tak asing baginya. Sejak 1985, dia menjadi dosen luar biasa di Universitas Hasanuddin Makassar dan tinggal di sana. Juha berteman baik dengan Ahmad Fauzi Gani, duta besar Indonesia untuk Finlandia. Kepada Fauzi Gani, Juha meminta agar difasilitasi bertemu Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Jusuf Kalla.

Tapi, Juha tak terbuka pada Fauzi Gani soal keinginannya bertemu Kalla. Juha hanya bilang mau berbisnis speed boat dengan Kalla, yang memang dikenal sebagai pengusaha sukses asal Makassar. “Kedatangannya agak dirahasiakan dan tidak terbuka untuk banyak orang,” kata Fauzi Gani pada ACEHKINI yang menemuinya di kawasan Bintaro, Jakarta, akhir Juni lalu. “Sama saya pun dia tidak terbuka. Dia hanya bilang mau jual kapal untuk Pak Jusuf Kalla.”

Fauzi Gani pun tak tahu banyak apa yang dibicarakan dalam pertemuan antara Juha dengan Kalla. “Mungkin juga bicarakan soal perdamaian Aceh dan Indonesia, karena Pak Jusuf Kalla kan dikenal sudah menyelesaikan konflik Poso dan Ambon,” kata dia.

Pertemuan dengan Kalla berlangsung di Kantor Menko Kesra di bilangan Medan Merdeka Barat Jakarta, medio Desember 2003. Sebelumnya, dia bertemu Farid Husain, saat itu deputi Menko Kesra, yang juga berasal dari Makassar. Juha mempresentasi tentang kapal teknologi tinggi produksi terbaru Finlandia, yang memiliki kecepatan lebih 50 knot atau 100 kilometer perjam. Menurut Juha, Indonesia yang merupakan negara kepulauan butuh kapal cepat untuk mengatasi “masalah illegal logging dan black market.”

Bisnis perkapalan bukan tujuan utama Juha. “Kita bicara soal kapal hanya 25 menit,” katanya seraya menyatakan bahwa pertemuannya dengan Farid diperantarai oleh seorang kenalannya di PT PAL, yang juga dari Makassar. Apalagi Farid terkesan tak tertarik dengan presentasi tentang bisnis kapal. “Itu hanya undercover untuk bertemu Jusuf Kalla,” kata Juha, tertawa.

Di akhir pertemuan yang berlangsung antara tanggal 9 dan 16 Desember 2003, Juha akhirnya buka-bukaan soal kedatangannya ke Indonesia. Gayung bersambut. Farid juga punya “tugas khusus” dari Kalla untuk mendekati GAM agar mau kembali ke meja perundingan.

“Saya bilang ke Farid bahwa saya banyak kenal pimpinan GAM. Dia terkejut dan langsung lihat bahwa ini serius, karena saya tahu semua,” kata managing director sebuah perusahaan farmasi di Finlandia. “Dia mengerti bahwa saya tak ada agenda lain. Ini untuk kemanusiaan.”

***

GEMPA yang meluluhlantakkan Bam, Iran, pada awal Februari 2004, membuat Farid harus terbang ke negeri Persia. Setelah menyelesaikan misi kemanusiaan di Bam, Farid singgah di Helsinki dan bertemu Juha. Saat itu, Juha mengajak Farid bertemu tokoh GAM di Stockholm. Tapi gagal.

Menurut Juha, pimpinan GAM tak mau menemui wakil pemerintah, apalagi pejabat setingkat deputi menteri. “Belum waktunya, belum bisa,” kata Juha, meniru ucapan seorang petinggi GAM yang menolak bertemu Farid Husain.

Farid jengkel bukan kepalang karena tak bisa bertemu petinggi GAM Swedia. Dia dan tokoh-tokoh GAM hanya saling pandang di lobi hotel. Usai pertemuan Juha dan pemimpin GAM, Farid menggebrak meja. Dia memarahi Juha. Padahal, pertemuan itu sangat diharapkan Farid. Sudah dua kali ia coba bertemu petinggi GAM. Tapi selalu gagal. “Dia tidak mau memanggil saya (hadir dalam pertemuan),” kata Farid pada ACEHKINI, awal Juli lalu di Jakarta. “Saya marahi Juha. Saya gebrak mejanya,” ungkap Farid mengenang saat-saat dia ditolak bertemu GAM.

Kemarahan Farid sempat membuat Juha gusar. Padahal, dia telah berencana mempertemukan bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dengan Pemerintah Indonesia, Februari 2004. Tapi, itu belum dikatakan baik kepada pemerintah maupun pihak GAM. Juha punya keinginan agar perundingan kali ini dimediasi Ahtisaari yang sudah dikenal mampu menyelesaikan sejumlah konflik di berbagai belahan dunia.

“Wah.. apa yang saya buat sekarang sudah membuat dia kecewa. Dia marah. Dia marah pada saya, dan marah pada situasi. Dia pukul meja,” ujar Juha. Tetapi, kemarahan Farid akhirnya bisa diredam setelah Juha mengeluarkan kartu terakhir, yaitu dia akan mempertemukan Farid dengan Presiden Ahtisaari.

Juha menelpon Tapani Ruokanen, pemimpin redaksi Suomen Kuvalehti, majalah berpengaruh di Finlandia. Ia punya hubungan dekat dengan Ahtisaari. Kepada Tapani, Juha mengutarakan bahwa dia sudah maju untuk mempertemukan dua musuh bebuyutan ini di meja perundingan dan meminta Ahtisaari memediasi perundingan ini.

“Juha bagus sekali. Kapan saja Anda perlu, saya akan bantu Anda,” timpal Tapani, seperti ditirukan Juha.

Pada hari Minggu, 15 Februari 2004, Tapani mempertemukan Juha dan Farid Husain dengan Presiden Ahtisaari. Ini tak lazim sebab Ahtisaari tidak pernah menerima tamu pada hari libur. Tapi waktu memang ada hari itu karena esoknya dia harus bertolak ke New York untuk satu urusan penting di kantor PBB. Farid melaporkan kondisi pertemuan Ahad di Helsinki itu pada Kalla. Akhir Februari, Kalla dan Farid menghubungi Juha dan meminta pendapatannya soal Martti Ahtisaari.

Pertemuan antara Kalla dan Juha di Jakarta berlangsung hampir dua jam. Ini pertemuan yang cukup lama dirasakan Juha. “Saya rasakan sendiri meskipun saya orang yang banyak bicara. Saya menyampaikan argumentasi mengapa menurut saya begini, begini, dan begini,” kata warga Lahti, Finlandia, ini.

Awal Desember 2004, Juha kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses perundingan. Jalan semakin terbuka. Apalagi, Jusuf Kalla sudah jadi wakil presiden. Sebelum ke Jakarta, Juha bertemu pimpinan GAM di Stockholm. Untuk menguji keseriusan pemerintah ingin berunding lagi, ada satu permintaan khusus dari mereka pada Juha, yaitu dia diizinkan bertemu perunding GAM yang ditahan di Penjara Suka Miskin, Jawa Barat.

Juha memberitahu Hamid Awaludin, yang telah jadi menteri hukum dan hak asasi manusia, dan Farid Husain. “Kaget semua pimpinan dan staf Suka Miskin. Kenapa tiba-tiba ada bule datang. Siapa orang ini, dari mana. Dan ada perintah: ‘harus sediakan kamar, tidak boleh ada rekam, tidak boleh ada orang lain, jangan mengganggu.’ Satu jam setengah dengan tiga orang ini,” kata Juha, tentang pertemuannya dengan Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman dan Amni bin Ahmad Marzuki. Esoknya, dia bertemu Muhammad Nazar (sekarang wakil gubernur) di Penjara Malang.

Saat itu, GAM belum tahu siapa yang bakal memediasi perundingan dengan Indonesia. Juha sama sekali belum memberikan nama mediator kepada mereka. Juha baru menyebut nama Ahtisaari pada pihak GAM tanggal 24 Desember, melalui selembar surat yang difax ke Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Pasalnya, Ahtisaari baru menyatakan kesediaannya menjadi mediator perundingan RI-GAM pada 23 Desember.

Menurut Juha, perundingan harus dilakukan pada Januari 2005 karena Ahtisaari tidak punya cukup waktu. Banyak tugas lain yang harus diselesaikannya. Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004, mempercepat proses perundingan. Kedua pihak yang bertikai akhirnya sepakat untuk memulai dialog damai pada Januari di Helsinki, ibukota Finlandia.

“Sekarang kita punya kesempatan untuk meningkatkan pendidikan dan ekonomi,” kata Juha. Yang lebih penting, tambahnya, orang Aceh kembali memperoleh kebanggaannya. “Orang Aceh punya akar sejarah panjang. Kini, akar sejarah itu dapat dirajut kembali,” ujar Juha, yang menjadi tangan kanan Ahtisaari selama proses perundingan berlangsung.

Saat implemetasi butir-butir perjanjian Helsinki, Juha ikut berperan aktif di Aceh Monitoring Mission (AMM). Lalu, apa yang membuatnya mau terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Aceh? Kepada ACEHKINI, Juha buka rahasia: “Saya mungkin punya otak untuk matematika dan bisnis. Dalam hati, untuk kemanusiaan. Ada orang suka main golf atau hobi lain. Jadi itu seperti hobi, tetapi akhirnya menjadi tugas.” [a]

FAKHRURRADZIE GADE dan NURDIN HASAN

Naskah ini pertama sekali dipublikasikan di Majalah ACEHKINI, edisi Agustus 2008

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.